INTRODUKSI SPELEOLOGI
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
I. Pengertian Speleologi
Speleologi Adalah ilmu yang mempelajari tentang gua alam dan lingkungannya. Kata speleologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Spelaion yang berarti Gua dan Logos yang berarti Ilmu. Ilmu Speleologi bisa dikatakan ilmu yang cukup langka karna sampai saat ini pun banyak orang yang belum mengetahui tentang apa itu speleologi, bahkan dikalangan ilmuan dan akademisi masih tergolong jarang yang mengetahui. Ilmu Speleologi mulai berkembang sejak Abad 19 dibagian benua Eropa terutama Eropa Timur (Slovenia) dan Eropa Barat (Jerman, Inggris, Italia dan Prancis). Sedangkan di Indonesia Speleologi baru dikenal pada tahun 1979.
Di Negara-Negara Eropa Ilmu Speleologi sudah masuk dalam Kurikulum Pendidikan terutama ditingkat Perguruan Tinggi, sedangkan di Indonesia sendiri masih jarang sekali. Sampai saat ini masih banyak pemahaman yang berbeda tentang gua. Ada yang mengatakan semua lubang yang berada dibawah tanah baik yang terjadi secara alami maupun buatan manusia. Ada pula yang yang mengatakan kalau gua hanya lorong bawah tanah yang terbentuk secara alami sedangkan yang dibuat manusia (Bungker / Tunel) tidak dapat disebut gua, dan masih banyak pemahaman-pemahaman lain.
Menurut UIS (Internasional Union Of Speleology) Gua adalah setiap ruangan bawah tanah yang dapat dimasuki oleh manusia. memiliki sifat yang khas dalam mengatur suhu udara di dalamnya, yaitu pada saat udara di luar panas maka di dalam Goa akan terasa sejuk, begitu pula sebaliknya. Gua dibagi dalam beberapa jenis sesuai dengan kondisi batuan pembentuknya, yaitu :
1. Gua Karst
Gua yang terbentuk pada kawasan yang telah mengalami Karstifikasi atau pelarutan. Sekitar 70 % gua yang ada didunia terbentuk pada Kawasan Karst.
2. Gua Lava
Terbentuk akibat pergeseran permukaan tanah akibat gejala keaktifan Vulkanologi atau akibat aktifitas Gunung Api.
3. Gua Litoral
Gua yang terbentuk pada daerah pantai, adapun terjadinya yaitu akibat adanya proses erosi dan pengikisan dari air laut terhadap batuan yang berbeda di pantai yaitu pada tebing yang curam, akibat adanya gaya mekanis air laut maka lama kelamaan batuan tersebut akan membentuk celah maka terjadilah Gua.
Ada pula gua yang sangat jarang sekali kita temukan, seperti Gua Es dan gua pasir yang jumlahnya hanya sekitar 5 % dari jumlah gua yang ada diseluruh dunia. Ada beberapa proses yang menjadi penyebab terbentuknya Gua Karst yaitu : Akibat Pelarutan secara kimiawi, Pengikisan Air, Amblesan, Runtuhan. Pada umumnya terbentuknya gua-gua tersebut tergantung pada kondisi geologi, Hidrologi dan Litologi, seperti adanya Kekar, Sesar, Bedding Plane, Kontak Batuan dll.
II. Sejarah Penelusuran Gua Dan Ilmu Speleologi
Kegiatan penelusuran gua yang kita ketahui sudah dilakukan sejak jaman primitive dahulu, yang mana gua dijadikan sebagai tempat berlindung dan ritual adat atau pemujaan terhadap roh leluhur mereka. Ada beberapa sejarah tentang awal dari Ilmu Speleologi yaitu, pada tahun 1670 – 1680 Baron John Valsavor dari Slovenia yang pertama kali melakukan deskripsi terhadap 70 gua dalam bentuk laporan ilmiah lengkap dengan komentar, peta, dan sketsa sebanyak 4 jilid dengan total mencapai 2800 halaman, dan pada tahun 1674 seorang ahli Geologi amatir dari Somerset Inggris bernama John Beamont melakukan pencatatan laporan ilmiah penelusuran Gua sumuran (Potholing) yang pertama kali dan diakui oleh British Royal Society.
Pada tahun 1818 Kaisar Habsburg Francis I menjadi orang yang pertama kali melakukan kegiatan wisata di dalam Gua yaitu saat mengunjungi Gua Adelsberg (sekarang Gua Pastonja di eks Yugoslavia). Kemudian Josip Jersinovic yaitu seorang pejabat di daerah tersebut tercatat sebagai pengolola Gua professional yang pertama dan pada tahun 1838 seorang pengacara bernama Franklin Golin sebagai tuan tanah yang memiliki areal Mammoth Cave di Kentucky AS (Gua terbesar dan terpanjang didunia) dan mengkomersilkan gua tersebut. Ia memperkerjakan seorang mullato bernama Stephen Bishop yang masih berumur 17 tahun untuk dijadikan budak penjaga gua tersebut.
Dan karena tugasnya, Stephen Bishop dianggap Pemandu Wisata Professional pertama. Mammoth Cave sendiri terdiri dari ratusan lorong (Stephen Bishop menemukan sekitar 222 lorong) dengan panjang 300 mil hingga kini belum selesai ditelusuri dan diteliti. Tahun 1983 oleh usaha International Union of Speleology, Mammoth Cave diakui oleh PBB sebagai salah satu warisan Dunia (World Herritage).
Secara resmi Ilmu Speleologi lahir pada abad ke -19 berkat ketekunan Eduard Alfred Martel. Sewaktu kecil ia sudah mengunjungi Gua Hahn di Belgia dengan ayahnya, seorang ahli Palenteologi, kemudian mengunjungi Gua Pyrenee di Swiss dan Italia. Pada tahun 1888 ia mulai mengenalkan penelusuran Gua dengan peralatan, pada setiap musim panas ia dan teman-temannya mengunjungi Gua-Gua dengan membawa beberapa gerobak penuh peralatan, bahan makanan dan alat Fotografi. Martel membuat pakaian berkantung banyak yang sering disebut Coverall (Wearpack). Kantung itu diisi dengan peluit, batangan magnesium, beberapa lilin besar, korek api, batu api, martil, beberapa pisau, alat pengukur, thermometer, pensil, kompas, buku catatan, kotak P3K, beberapa permen coklat, sebotol rum dan sebuah telepon lapangan yang digendong. System penyelamatannya dengan mengikatkan dirinya kalau naik atau turun dengan tali.
Tahun 1889, Martel menginjakkan kakinya pada kedalaman 233 meter di Sumurun Ranabel, dekat Mersille, Perancis dan selama 45 menit tergantung kedalaman 90 meter. Ia mengukur ketinggian atap dengan balon dari kertas yang digantungi Spoon yang dibasahi Alcohol, begitu spoon dinyalakan balon akan naik ke atas sampai ke atap Gua. Hingga kini Edward Alfred Martel disebut Bapak Speleologi Dunia. Kemudian muncul seperti : Pornier, Jannel, Biret dan baru setelah Perang Dunia I Robert De Jolly Dan Nobert Casteret mampu mengimbangi Martel, Robert De jolly mampu menciptakan peralatan dari Alumanium Alloy, Nobert Casteret orang pertama melakukan Cave Diving pada tahun 1922, dengan menyelami Gua Monthespan yang di dalam Gua itu ditemukan patung-patung dan lukisan bison serta binatangbinatang lainnya dari tanah liat, yang menurut para ahli, itu sebagai acara ritual sebelum diadakan perburuan binatang ditandai adanya bekas-bekas tombak dan panah.
Pada Perang Dunia II, Gua-gua digunakan sebagai tempat pertahanan karena di Gua akan sulit ditembus walaupun menggunakan bom pada waktu itu. Di Indonesia Speleologi mulai berkembang sekitar tahun 1979 dengan berdirinya sebuah klub yang bernama SPECAPINA yang didirikan oleh R.K.T.Ko (Speleogiwan) dan Norman Edwin (Almarhum) bersama beberapa orang lainnya pada waktu itu. Namun karena adanya perbedaan prinsip dari keduanya maka terpecah dan masing-masing mendirikan himpunan / Club Speleologi. Pada tanggal 23 Mei 1983 dr. R.K.T. Ko Mendirikan Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI) / Federation of Indonesian Speleological Activities (FINSPAC) yang kemudian diakui dan tercatat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Organisasi Profesi Ilmiah yang menangani masalah gua dan lingkungannya (Surat Pernyataan LIPI No. 7530/SK/C.10/87) dan pada tahun 1985 menjadi anggota International Union of Speleology (IUS). Sedangkan Norman Edwin (Alm) Mendirikan Garba Bumi, beberapa tahun kemudian mulai bermunculan Club–Club Speleologi dibeberapa daerah di Indonesia.
III. Ruang Lingkup Speleologi
Para peneliti berkesimpulan bahwa hubungan antara lingkungan gelap abadi / dalam gua (disebut Endokarst) dengan dunia diatas permukaan tanah (Eksokarst) sangat erat sekali. Oleh karena itu Speleologi merupakan Ilmu yang didalamnya terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Diantaranya adalah :
Karstologi
Ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kawasan karst.
Geomorfologi Karst
Ilmu yang mempelajari tentang bentukan alam/ permukaan bumi didaerah kawasan karst khususnya.
Hidrologi Karst
Ilmu yang mempelajari tentang tata air/ system aliran bawah tanah/ gua.
Speleogenesis
Ilmu yang mempelajari tentang proses terbentuknya gua.
Biospeleologi
Ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup / Fauna / Biota yang ada didalam gua.
Arkeologi
Ilmu yang mempelajari tentang sejarah, kebudayaan dan peninggalan manusia pada masa lampau.
Mikroklimatologi
Ilmu yang mempelajari tentang fluktuasi suhu dalam gua yang sering minim sekali, baik konstan maupun tidak konstan.
Speleotourism
Ilmu yang mempelajari tentang wisata gua atau pada daerah karst.
IV. Karstologi Dan Geomorfologi Karst
Kurang lebih 70 % gua yang ada didunia terbentuk pada daerah batu gamping yang telah mengalami karstifikasi. Karst adalah daerah yang telah mengalami pelarutan secara kimiawi atau telah mengalami proses karstifikasi. Karst berasal dari kata Krs atau Kras yang berasal dari bahasa Yugoslavia, yang merupakan nama suatu daerah di perbatasan Italia utara dan Yugoslavia, sekitar Timur Laut Kota Trieste, saat ini terletak di Negara Slovenia. Arti Krs atau Kras adalah Bebatuan, karena didaerah itu adalah daerah kawasan batu gamping yang dipermukaannya sangat gersang tanpa ditumbuhi satu pohon sekalipun akibat habis dimakan oleh ternak domba yang dibebaskan berkeliaran tanpa dikandangkan.
Jadi pada awalnya pengertian karst merujuk pada bentang alam. Karst dalam bahasa Jerman dan Inggris disebut Karst, dalam Bahasa Italia disebut Carso dan dalam bahasa Slovenia disebut Kras. Dan sampai saat ini Karst menjadi sebuah istilah untuk daerah-daerah yang telah mengalami pelarutan.
Bentukan alam karst berbeda dengan bentuk alam lainnya (non karst), karena kawasan karst memiliki komponen diatas permukaan tanah atau disebut Eksokarst, dan komponen dibawah tanah yang disebut Endokarst. Fenomena endokarst adalah ruang lingkup ilmu speleologi, oleh karena itu para ilmuwan Karstologi tidak bisa terfokus pada eksokarst saja akan tetapi juga harus pada endokarst juga, karena antara eksokarst dan endokarst adalah dua fenomena yang saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan. Bentuk lahan kawasan karst memiliki karakteristik berupa bentukan negative yang tertutup dengan berbagai ukuran dan susunan, pola drainase yang terputus-putus, gua-gua dan aliran sungai bawah tanah. Bentukan alam permukaan kawasan karst sangat beragam dan tiap daerah memiliki ciri atau bentukan yang berbeda. Ada yang berbentuk seperti menara atau disebut Tower Karst, ada yang berbentuk Cawan Terbalik atau biasa disebut Conical Hill.
Antara bukit-bukit Karst Tower dan Conical bisa terlihat lembah-lembah yang lebar atau sempit. Bukit–bukit tersebut terkadang terpisah oleh suatu dataran yang luas akan tetapi terkadang juga ada yang saling berdempetan dengan bentuk yang simetris atau asimetris dengan tinggi yang relative hampir sama. Kawasan Karst yang belum dijamah oleh manusia (Agraris dan Pertambangan) biasanya masih tertutup Vegetasi yang lebat bahkan bisa tidak terlihat dari kejauhan bahwa daerah tersebut adalah daerah karst. Terkecuali Vegetasi tersebut telah dibabat oleh aktivitas manusia seperti, Pertanian, Pertambangan, Penebangan Liar. Vegetasi kawasan karst juga bisa habis akibat gerakan Gletser yang menerjang kawasan tersebut beberapa juta tahun yang lalu. Akibat dari aktivitas tersebut maka timbullah penggundulan dan pengikisan permukaan karst. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi topografi karst sehingga kawasan karst yang satu dengan yang lainnya bisa berbeda. Adapun perbedaan tersebut ditimbulkan oleh :
Perbedaan litologi atau susunan Batu Gamping. Ada yang tersusun 100 % dari mineral
Kalsit (CaCO3), adapula yang tercampur dengan mineral lain seperti Dolomit (CaMGCO3),
Gypsum (CaSO4.2H2O), Mangan, Aluminium atau kwarsa dll.
Perbedaan Ketebalan lapisan Batu Gamping.
Perbedaan Compactness (Kemampatan).
Perbedaan system celah rekah yang ada sejak terbentuknya lapisan Batu Gamping.
Pengaruh Intensitas curah hujan daerah sekitar.
Pengaruh Jenis Vegetasi yang berbeda.
Pengaruh Manusia yang membongkar Batu Gamping atau menanaminya setelah membabat habis Vegetasi Primer.
Pengaruh titik elevasi kawasan atau ketinggian dari permukaan air laut.
Pengaruh ketebalan lapisan tanah penutup (Top Soil) pada kawasan tersebut.
Pengaruh Tektonisme terhadap bentuk fisik dan system celah rekah.
Beberapa faktor diatas sangat berpengaruh terhadap Intensitas dan kecepatan karstifikasi yang nantinya menjadi suatu Bantuk Lahan Karst (Karst Landform). Bentuk Lahan Karst tersebut ada dua yaitu Bentuk Lahan Mikro dan Makro. Morfologi Makro permukaan Karst meliputi beberapa bentukan negative dengan ukuran meter bahkan sampai kilometer seperti Dolina, Swallow Hole, Sink Hole, Vertical Shaft, Collaps, Cocpit, Polje, Uvala, Dry Valley, dll.
Morfologi Mikro juga biasa disebut Karren (Bahasa Jerman) atau Lapies (Bahasa Prancis) atau juga Grike (Bahasa Inggris). Karren memiliki dimensi yang bervariasi antara 1 – 10 meter sedangkan Mikro Karren berdimensi kurang dari 1 Cm (Ford and William, 1996).
Para peneliti karst mencoba menjelaskan variasi Bentukan/ Type Karst, dan secara umum dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1) Klasifikasi berdasarkan perkembangan (Cvijic).
2) Berdasarkan Morfologi.
3) Klasifikasi berdasarkan Iklim (Sawicki, Lehman, Sweeting).
Cvijic (1914) membagi Topografi Karst dalam 3 kelompok yaitu : Holokarst yaitu dimana Karst dengan perkembangan paling sempurna, baik dari sudut pandang bentuk lahannya maupun Hidrologi bawah permukaannya. Merokarst yaitu Karst yang perkembangannya kurang sempurna, hanya mempunyai sebagian Bentukan Lahan Karst. Karst Transisi yang terbentuk pada Batuan Karbonat yang cukup tebal bahkan sampai Karst Bawah Tanah.
Secara umum bentukan alam Kawasan Karst yang terlihat mencuat keatas permukaan disebut Bentukan Karst Positif ( Positive Karst Landform). Begitu juga sebaliknya, bentuk yang terlihat kedalam bawah permukaan disebut Bentukan Karst Negative (Negative Karst Landform). Negative Karst Landform terlihat seperti cekungan–cekungan berdiamater kecil sampai berdiameter besar (ratusan meter bahkan sampai 1 km) yang disebut sebagai Dolina atau dalam bahasa Inggris disebut Sink Hole atau Closed Depression, bisa terbentuk akibat Runtuhan (Collapse) atau terbentuk akibat pengikisan.
Beberapa Dolina yang berdekatan bisa menyatu dan disebut sebagai Uvala. Tetapi bila Dolina yang saling berdekatan tersebut tidak menyatu dan diantara batas dolina tersebut membentuk bukit-bukit terjal dan sempit maka disebut Cockpit Karst. Dolina yang terbentuk akibat runtuhan dan dibawahnya terdapat aliran sungai yang cukup deras dinamakan Collapse Sinkhole tipe Cvijik, sedangkan yang dasarnya kering / tidak dialiri lagi oleh air dikarenakan berpindahnya lintasan aliran sungai bawah tanah tersebut, maka bentukan seperti itu disebut Collapse Sink Hole type Trebic.
Gambar Dolina / Sink Hole
V. Hidrologi Karst
Sampai saat ini sering terjadi perbedaan pendapat antara pakar Speleologi dengan Geologi dalam hal penyebutan air pada Kawasan Karst, ada yang mengatakan air tanah dan ada yang sepakat bila disebut sebagai Air Karst. Grund (1903) berpendapat bahwa air tanah pada Batu Gamping mempunyai permukaan yang teratur yang berarti didalam lapisan Batu Gamping terdapat adanya pipa-pipa yang saling berhubungan.
Pada fenomena bawah tanah sering kali kita jumpai adanya Aliran Sungai Bawah Tanah yang mengalir seperti halnya sungai-sungai yang ada dipermukaan bumi. Aliran sungai tersebut bisa berasal dari luar gua, yang dimana air permukaan yang berada di luar gua masuk kedalam Swallow Hole (Mulut Telan) dan muncul lagi ditempat yang lain bahkan biasanya sangat jauh dari lokasi Swallow Hole. Tempat keluarnya aliran sungai bawah tanah dikawasan Karst disebut Resurgence atau Karst Spring, jika kita interpretasi melalui Peta Topographi terlihat aliran sungai yang mengalir lalu menghilang/terputus. Aliran tersebut biasa disebut Vadose Stream / Arus Vadose / Sungai Vadose atau disebut juga aliran Allochthonous.
Gambar Swallow Hole
Aliran pada sungai bawah tanah juga bisa berasal dari gua itu sendiri, dimana air yang berada di permukaan Kawasan Karst meresap masuk kedalam Kawasan Karst dan ketika didalam gua menjadi ribuan tetesan yang kemudian tertampung lalu mengalir dan membentuk sebuah aliran sungai. Aliran tersebut biasa disebut Percolation Water atau disebut juga aliran Autochtonous.
Pada umumnya air yang mengalir didalam gua terdiri dari campuran Air Vadose dan Perkolasi. Air Perkolasi dan Air Vadose memiliki perbedaan dari segi kuantitas maupun kwalitas. Air Perkolasi pada umumnya banyak mengandung CaCO3, karena Air Perkolasi meresap dan merembes secara perlahan kedalam gua sehingga mineral pada batu gamping yang didominasi oleh Calsite (CaCO3) lebih banyak terbawa.
Sedangkan Aliran Vadose sangat sedikit mengandung Calsite karena bentuk aliran yang hanya numpang lewat pada sungai bawah tanah sehingga sangat singkat bersinggungan dengan mineral Batu Gamping.
Air Perkolasi juga dapat dilihat dari fluktuasi suhu yang konstan sepanjang hari bahkan sepanjang tahun, sedangkan Air Vadose berfluktuasi dengan suhu diluar gua. Air vadose juga pada umumnya keruh karena material yang berasal dari luar gua ikut hanyut kedalam alirannya seperti Lumpur, pasir dan kerikil. Sedangkan pada aliran Perkolasi cukup jernih karena proses perembesan tadi sehingga air tersebut tersaring pada pori-pori Batu Gamping (Lime Stone). Pada saat turun hujan, gua yang dialiri oleh Air Vadose akan lebih cepat bertambah debitnya dan ketika hujan berenti serentak debit airnya juga menurun sampai level air sebelum hujan. Berbeda dengan Air Perkolasi, ketika diluar gua terjadi hujan lebat, debit air bertambah secara perlahan–lahan tidak secepat aliran Vadose dan ketika hujan berehenti debit air juga akan turun secara perlahan–lahan. Kita dapat menentukan jenis lorong pada gua dari segi Hidrologi. Lorong tersebut dibagi dalam 3 jenis, yaitu : Lorong Fhareatik dimana pada Lorong Fhareatik ini kondisi lorong masih sepenuhnya ditutupi oleh air dan pada umumnya memiliki dinding gua yang relative halus. Pada kondisi lorong seperti ini hanya bisa ditelusuri dengan teknik Cave Diving. Lorong Vadose, yaitu Lorong yang sebagian dari lorong tersebut dialiri air, pada lorong ini pembentukan ornament biasanya baru terbentuk pada bagian atap gua. Lorong Fosile yaitu Lorong yang kering atau sudah tidak dialiri air lagi, kemungkinan adanya perubahan pola aliran air bawah tanah, pada lorong ini pembentukan ornament sudah mencapai nol.
PEMETAAN GUA (CAVE MAPPING)
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
Definisi Pemetaan Gua adalah gambaran perspektif gua yang diproyeksikan keatas bidang datar yang bersifat selektif dan dapat dipertanggung jawabkan secara visual dan matematis dengan menggunakan skala tertentu.
I. Manfaat Peta Gua
1) Merupakan bukti otentik bagi penelusur gua, sebagai penulusuran yang pertama kali menelusuri goa tersebut.
2) Membantu para ahli dalam mempelajari Biospeologi, Hidrologi, Arkeologi ataupun ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan Speleologi.
3) Untuk mencari korelasi dengan goa-goa disekitarnya atau System Perguaan yang ada disekitarnya
4) Untuk memudahkan dalam usaha pertolongan apabila terjadi kecelakaan di dalam gua / Cave Rescue.
5) Untuk kepentingan Pertahanan dan Keamanan Nasional ( HANKAMNAS ).
6) Sebagai data rekaman keadaan gua saat itu ( biasanya dilampiri foto ).
7) untuk memudahkan / menentukan dalam pengembangan obyek wisata gua di bidang pariwisata.
8) Sebagai sumber informasi dalam mendukung kegiatan penelitian ilmiah dan keperluan pelajaran penelusuran gua.
II. Jenis Peta Gua
Peta Gua ada beberapa jenis sesuai dengan metode penggambaran yang kita gunakan. Jenis–jenis peta gua merupakan faktor pendukung untuk memudahkan pembaca
dalam memahaminya. Adapun jenisnya adalah :
1. Plan View / Plan Section, yaitu Peta Gua yang digambarkan dalam bentuk tampak dari atas. Yang ditampilkan adalah bentukan arah lorong gua jika dilihat dari atas sesuai hasil pengukuran dari Kompas.
2. Extended Section, yaitu Peta Gua digambarkan dalam bentuk tampak samping gambar gua digambarkan dalam bentuk memanjang tanpa proyeksi, yang terlihat hanya perubahan sudut Elevasi Gua/Sudut Kemiringan/Keterjalan Lorong sesuai hasil pengukuran Klinometer.
3. Projected Section / Projected Elevation, yaitu Peta Gua yang digambar dalam bentuk tampak samping akan tetapi diproyeksikan dengan Plan Section/Tampak Atas.
4. Cross Section, yaitu Gambar Peta Gua yang digambar dalam bentuk tampak depan. Cross Section biasanya berupa sayatan dari Plan Section.
5. Peta Gua 3 Dimensi (3D) Perspektif, adalah Gambar Peta secara visual mendekati dengan kenyataan sesunguhnya. Stasiun dan detailnya mengunakan sumbu X, Y, dan Z. sumbu X dan Y, untuk menentukan koordinat stasiun pada bidang datar. Sumbu Z untuk menentukan posisi stasiun berdasarkan elevasinya terhadap titrik 0.
III. Peralatan Pemetaan Gua
1) Kompas
Untuk mengukur azimuth lorong gua atau mengukur besar derajat perbedaan antara lorong gua / jalan terhadap arah sumbu utara.
Gambar Kompas Suunto KB-14
2) Klinometer
Digunakan untuk mengukur beda tinggi elevasi lorong gua / kemiringan lorong gua pada tiap stasiun pemetaan.
Gambar Klinometer Suunto PM-5
3) Topofil
Topofil mempunyai fungsi yang sama dengan Pita Ukur, tapi topofil bekerja berdasarkan roda yang berputar dan menggerakkan angka-angka dalam satuan centimeter. Sedangkan berputarnya roda topofil dikarenakan benang yang dililitkan pada roda tersebut dan ditarik kemudian roda akan menggerakkan angka–angka penunjuk.
Gambar Konstruksi Topofil
4) Pita Ukur
Pita ukur digunakan untuk mengukur panjang lorong gua, biasanya terbuat dari plat baja tipis atau terbuat dari serat kaca (Fiber Glass).
Gambar Roll Meter
5) Alat Tulis Menulis
Berupa Kertas anti air (Kodaktris) atau bisa menggunakan transparant paper, pensil / ballpoint maker, papan pengalas (agar tidak menulitkan kita pada saat menulis), penghapus. Kesemuanya digunakan untuk mencatat hasil pengukuran di dalam gua, sketsa gua, diskripsi gua dan hal–hal lain yang perlu didata.
IV. Tingkat Keakuratan / Grade Pemetaan
Grade Pemetaan gua adalah tingkat keakuratan atau ketelitian peta. Yang sering digunakan adalah tingkat ketelitian menurut BCRA (British Cave Research Association) yang membagi beberapa tingkatan yaitu :
1. Grade 1
Gambar/Sketsa Kasar tanpa skala yang benar dan dibuat diluar gua dengan dasar ingatan dari sipembuat terhadap lorong–lorong yang digambar.
2. Grade 2
Peta dibuat dalam gua tanpa skala yang benar dan tanpa menggunakan alat ukur apapun, hanya bedasarkan perkiraan.
3. Grade 3
Sketsa dibuat dalam goa dengan menggunakan bantuan Kompas dan Tali yang ditandai tiap-tiap meternya memiliki ketelitian pengukuran satuan 2,5° posisi stasiun per 5 m, dilakukan jika waktu sangat terbatas, penggunaan Klinometer sangat dianjurkan.
4. Grade 4
Pengukuran telah menggunakan kompas serta Meteran atau Topofil. Dapat digunakan jika diperlukan, untuk menggambarkan survey tidak sampai ke Grade 5, tetapi lebih akurat dari Grade 3.
5. Grade 5
Pengukuran Dengan Kompas Prismatic dan Klinometer dengan kesalahan ukur 0,5°, pita ukur Fiber Glass dengan kesalahan ukur < dari 10 cm. Instrument dikalibrasikan terlebih dahulu, Centre Line dianjurkan disurvey menggunakan Leap Frog Methode.
6. Grade 6
Pada dasarnya sama dengan Grade 5 akan tetapi pada Grade ini Kompas dan Klinometernya menggunakan Tripod sehingga pada waktu melakukan pengukuran posisi alat tidak bergerak.
7. Grade X
Pada Grade ini menggunakan Pesawat Ukur Theodolit dan Pita Ukur Metallic. Akan tetapi grade ini sangat jarang digunakan dikarenakan peralatan yang kurang efisien jika menggunakan Theodolit dalam pemetaan gua karena kondisi lorong gua yang memiliki macam – macam variasi bentukan lorong sehingga alat ini juga cukup riskan jika digunakan didalam gua terutapa pada lorong–lorong yang sempit.
Selain membuat macam–macam tingkat ketelitian (Grade) peta gua, BCRA juga membuat klasifikasi perincian survey, yaitu :
Class A : Semua detail lorong dibuat diluar kepala
Class B : Detail lorong diestimasi dan dicatat dalam gua
Class C : Detail lorong diukur pada tiap stasiun survey
Class D : Detail lorong diukur pada tiap stasiun survey dan diantara stasiun survey.
V. Survey Dan Pengambilan Data
1. Methode Arah Survey
Dalam Pemetaan Gua ada macam Metode Arah Survey, Yaitu :
Forward Methode
Dimana pembaca alat dan pencatat berada pada stasiun 1 (pertama) dan pointer (target) berada pada stasiun 2 (kedua), setelah pembacaan alat selesai pointer maju ke stasiun selanjutnya yang telah ditentukan oleh leader dan pembaca alat maju tepat pada posisi pointer tanpa merubah titik stasiun tempat berdiri pointer sebelumnya, begitu seterusnya.
Gambar Metode Arah Survey Foward
Leap Frog Methode
Pada metode ini pembaca alat berada pada stasiun kedua sedangkan pointer pada stasiun pertama, setelah pembacaan alat selesai pointer maju langsung menuju stasiun ketiga sedang pembaca alat tetap pada stasiun kedua dan melakukan pembacaan alat lagi, setelah pembacaan selesai pembaca alat langsung menuju stasiun keempat dan melakukan pembacaan alat lagi dengan sasaran stasiun tiga, begitu seterusnya. Keuntungan menggunakan methode ini adalah lebih akurat dan cepat hanya saja dalam pengolahan datanya kita harus berhati–hati.
Pointer
Compassman
Gambar Metode Arah Survey Leap Frog
2. Arah Survey (Pengambilan Data)
Top to Bottom
Pengukuran dimulai dari Etrance gua dan berakhir pada ujung lorong gua atau akhir dari lorong gua tersebut.
Bottom to Top
Adalah kebalikan dari Top to Bottom yaitu pengukuran dimulai dari ujung lorong sampai pada entrance gua.
3. Metode Pengukuran Chamber
Dalam Melakukan Survey Pemetaan biasanya kita menemukan lorong–lorong yang besar atau biasa kita sebut aula gua atau Chamber. Karena ukuran chamber yang cukup luas biasanya membuat kita bingung atau kewalahan dalam melakukan pengukuran, untuk itu ada beberapa cara malakukan pengukuran pada chamber untuk mempermudah kinerja tim dan menghasilkan data yang akurat. Adapun cara–cara tersebut yaitu :
Polygon Tetutup
Polygon Terbuka
Offset Methode
Gambar Metode Pengukuran Chamber
4. Penentuan Titik Stasiun
Penentuan Titik Stasiun pada pemetaan gua sebenarnya merupakan salah satu faktor keakuratan peta gua tersebut. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan titik stasiun pemetaan, antara lain yaitu :
Perubahan Arah Lorong Gua.
Perubahan extrim bentuk lorong.
Batas Pengukuran < 30 m.
Perubahan Sudut Elevasi Lorong yang extrim misalkan : Pitch atau Slope.
Temuan-temuan Penting Seperti : Ornamen Khusus, Biota, Litologi Khusus, dan Sebagainya
5. Organisasi Tim Survey
Dalam kegiatan Pemetaan Gua idealnya terdiri dari 5 orang dalam tim pemetaan yang dimana masing-masing anggota memiliki tugas masing–masing, yaitu :
Orang Pertama : Sebagai pembaca alat ukur seperti Kompas, Klinometer, dan Meteran/Roll Meter.
Orang Kedua :
Sebagai Pointer / target yang dimana orang ini membawa ujung meteran dan memegang titik / point (biasanya berupa Senter/ Headlamp) yang nantinya menjadi sasaran bidikan Kompas dan Klinometer yang dipegang oleh orang pertama. Orang pertama dan orang kedua diharuskan memiliki tinggi badan yang sama guna mengurangi kesalahan pada pengukuran elevasi lorong gua.
Orang Ketiga : Sebagai pencatan data pengukuran.
Orang Keempat :
Sebagai Diskriptor, Pembuat sketsa lorong (Plan Section, Extended Section dan Cross Section).
Orang Kelima :
Sebagai Leader yang menentukan titik stasiun dan pemasang lintasan pada gua vertical.
Pekerjaan yang cukup sulit adalah menjadi diskriptor karena efesiensi waktu, segala detail data dan rekaman data terletak pada posisi ini. Seorang diskriptor yang berpengalaman dapat mengetahui apabila terjadi dalam pembacaan kompas dan klinometer. Oleh karena itu yang ditugaskan menjadi seorang diskriptor adalah orang yang mampu merekam dan menuangkan situasi gua yang disurvey dalamworksheet dengan jelas dan lengkap sehingga tidak menyulitkan anggota tim yang lain pada saat penggambaran peta gua.
6. Pengambilan Data Lapangan
Dalam pengambilan data dilapangan kita cukup mengisi table data yang telah kita siapkan sebelumnya.
Contoh Worksheet Pengambilan Data Lapangan
Keterangan :
From : Nama Stasiun Awal
To : Nama Stasiun Akhir
L ( m ) : Jarak Tiap Stasiun
@ ( ° ) : Besar Azimuth Lorong/Besar Sudut Kompas
B ( ° ) : Besar Sudut Elevasi/Besar Sudut Yang dihasilkan Oleh Klinometer
Kiri : Jarak Dari Stasiun Ke Dinding Kiri Gua
Kanan : Jarak Dari Stasiun Ke Dinding Kanan Gua
Atas : Jarak Dari Stasiun/Point Ke Plafon Gua
Bawah : Jarak Dari Stasiun/Point Ke Lantai Gua
Dalam pengambilan data dilapangan ada beberapa hal yang mempengaruhi keakuratan data yang kita ambil, seperti :
Adanya Medan Magnet atau benda lain yang mengandung unsur magnet yang ada didekat Compasmen Seperti : Headlamp yang menggunakan magnet pada bagian belakangnya, Jam Tangan, Carabiner dan unsur logam lainnya)
Kesalahan pada saat mengimput data Klinometer, biasanya penempatan positif dan negatifnya
Kesalahan Pembacaan Klinometer (pada klino Suunto terdapat dua satuan yang dapat digunakan yaitu Derajat dan Persen)
Kesalahan Pengimputan angka pada kolom (biasanya terjadi pengimputan data terbalik, data klinometer diimput dikolom Kompas sedangkan kompas di input kedalam kolom klinometer)
Posisi stasiun yang bergeser
Penggunaan satuan, biasanya pada pembacaan ukuran jarak sering terjadi perubahan pembacaan satuan seperti meter berubah menjadi centimeter akan tetapi tidak diberikan keterangan pada saat terjadi perubahan pembacaan.
Tidak Melakukan kalibrasi alat ukur sebelum melakukan pemetaan
VI. Pengolahan Data Lapangan Dan Penggambaran Peta Gua
1. Pengolahan Data
Dalam pengolahan data gua kita tinggal mengimput data-data yang kita ambil dilapangan kedalam tabel
Contoh Tabel Pengolahan Data Gua
Keterangan :
D=L*Cos : Jarak Miring
∑D : Hasil Penjumlahan Silang antara FD Awal dengan Jumlah D Pada Stasiun Sebelumnya
H=D*Sin : Beda Elevasi
∑H : Hasil Penjumlahan Silang Antara FH Awal dengan Jumlah H Pada Stasiun Sebelumnya
X=D*Sin : Absis
EX : Hasil Penjumlahan Silang Antara FX Awal dengan Jumlah X Pada Stasiun Sebelumnya
Y=D*Cos : Ordinat
EY : Hasil Penjumlahan Silang Antara FY Awal dengan Jumlah Y Pada Stasiun Sebelumnya
2. Penentuan Skala Dan Arah Utara Peta
Skala Peta
Skala adalah perbandingan antara jarak sebenarnya dengan jarak yang ada dipeta, dalam hal ini disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan survey. Untuk kepentingan exploitasi dan ilmiah yang digunakan adalah skala besar (biasanya kurang dari 1 : 250) agar tampilan detail peta dapat terlihat dengan jelas. Akan tetapi biasanya para surveyor menentukan skala sesuai dengan besar ukuran kertas yang mereka guanakan untuk pengambaran peta, biasanya ,maksimal ukuran A0 (1,189 x 0,841).
Orientasi Peta
Arah utara ada tiga macam :
1) Arah Utara Magnetic/ North Magnetic ( NM ) G Ditunjukkan oleh Utara Jarum Kompas.
2) Arah Utara Sebenarnya/ True North ( TN ) G Sesuai dengan sumbu bumi.
3) Arah Utara Pete/ Grid North ( GN ) G Sesuai dengan Sumbu Y.
Arah utara pada peta gua tidak harus selalu dibagian atas kertas akan tetapi dapat disesuaikan dengan efesiensi penggunaan kertas.
3. Penggambaran Peta
Dalam peta gua biasanya ada beberapa jenis peta gua yang digambar seperti Peta Gua Tampak Atas/ Plan Section, Peta Gua Tampak Samping/ Extended Section dan sebagainya. Adapun dalam penggambarannya sebagai berikut :
Penggambaran Plan Section
Dalam Penggambaran Plan Section atau Peta Gua tampak Atas kita lakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Penetuan Titik Koordinat Center Line
Mulanya kita tentukan dulu Center Line, Center Line adalah letak/ posisi tiap stasiun pemetaan sesuai dilapangan. Dalam penentuan stasiun kita menggunakan Diagram / Koordinat Polar atau Koordinat Cartesius
Koordinat Polar
Penggunaan Diagram Polar sangat sederhana dan cepat hanya saja apabila terjadi kesalahan adalah kesalahan akumulatif, kesalahan akan bertambah besar dengan bertambahnya stasiun. Dalam ploting Center Line pada ini kita membutuhkan busur derajat atau protactor dengan penggaris. Pada penggunaan diagram ini kita tentukan dulu arah utaranya. Dalam penentuan titik stasiun ditentukan oleh besar sudut kompas yang ada didata, dengan acuan 0 ° adalah utara yang telah kita buat sebelumnya. Disarankan untuk menggunakan millimeter block atau kertas grafik untuk meminimalisir kesalahan.
Gambar Dengan Menggunakan Koordinat Polar
Koordinat Cartesius
Penggambaran dengan menggunakan Koordinat Cartesius adalah yang direkomendasikan oleh BCRA untuk dipakai pada penggambaran Grade 5. Dalam penggambaran ini kita menggunakan hasil EX dan EY untuk menentukan plot stasiun pada Plan Section sedangkan ED dan EH untuk plot stasiun pada extended section. Dalam penggambarannya menggunakan kertas Grafik/ Milimeter Block untuk memudahkan dalam penggambaran. Contoh : pada stasiun 1 X = 2, Y = 1 ; Stasiun 2 X = 3, Y = 3 ; Stasiun 3 X = 4, Y = 4 ; Stasiun 4 X = 2, Y = 7 ; Stasiun 5 X = -1 Y = 9 ; Stasiun 6 X = -2, Y = 12.
Gambar Dengan Menggunakan Koordinat Cartesius
b. Penentuan Titik Jarak Dinding Kiri dan Kanan Gua
Setelah kita selesai memploting Center Line selanjutnya kita membuat dinding-dinding gua dengan cara memplot titik-titik dinding gua pada tiap stasiun dengan menggunakan hasil yang terdapat pada table dinding kiri dan kanan yang sudah diskalakan. Kemudian titik-plot dinding kiri kanan tersebut dihubungkan dengan mengikuti bentuk lekukan dinding gua yang ada pada sketsa gua.
c. Simbol Pada Peta
Setelah Peta selesai digambar kemudian kita memasukkan symbol-symbol pada peta (Ornamen, Litologi, Hidrologi, Biota Gua).
Penggambaran Extended Section
Penggambaran Extended Section dapat dilakukan dengan dua cara seperti pada penggambaran Plan Section. Untuk Koordinat Polar yang digunakan adalah hasil pengukuran Klinometer ( L ) dan jarak miring ( D ). Jika menggunakan Koordinat Kartesius maka yang digunakan adalah hasil dari ED dan EH dan hasil tersebut sudah kita skalakan. Untuk penggambaran atap gua yang diambil adalah angka/ukuran dari titik stasiun keatap gua (Atas) sedangkan lantai gua dari titik stasiun ke lantai gua (Bawah).
Penggambaran Cross Section
Adalah penampang melintang gua, penggambarannya dilakukan dengan menggunakan hasil dari pengukuran dinding kiri, kanan, atap dan lantai gua.
Penggambaran Project Section
Penggambaran Project Section dilakukan dengan memproyeksikan gambar plan section dengan elevasi sesuai hasil FH.
4. Kelengkapan Peta
Untuk memudahkan orang lain dalam memahami peta yang kita buat maka ada beberapa kelengkapan peta yang harus kita cantumkan pada peta tersebut, diantaranya :
1) Nama Gua
2) Letak Administratif Gua
3) Waktu Pembuatan/Pemetaan (Tanggal, Bulan Dan Tahun)
4) Tinggi Elevasi Mulut gua dari Permukaan Laut
5) Panjang Gua dan Kedalaman Gua
6) Lagenda
7) Skala Peta
8) Utara Peta
TEKNIK PENELUSURAN GOA HORIZONTAL
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
Teknik menelusuri Gua Horizontal sangat ditentukan oleh jenis lorong gua. Dibawah ini beberapa teknik menelusuri Gua Horizontal dengan berbagai jenis lorong yaitu :
I. Lorong Fosil
Lorong Gua Kering yang tidak ada lagi aliran air yang mengalir pada lorong gua. Pada jenis lorong ini bisa ditelusuri dengan berjalan kaki biasa, membungkuk, jalan jongkok, merayap, dan melata. Semua ini sangat tergantung dari kondisi lorongnya. Untuk kondisi lorong gua yang lumpurnya sangat tebal, dilewati dengan cara seperti berenang. Karena kalau berjalan biasa kaki akan tertahan dilumpur dan agak susah dilepaskan.
Gambar Lorong Fosil
Pada lorong gua yang terjal berhati hatilah melewatinya. Untuk kemiringan yang sangat terjal lakukan dengan memanjat bebas jika itu tidak begitu berbahaya. Untuk rekahan atau diantara dua dinding yang berdekatan dapat dipanjat dengan teknik Chimneying dan Bridging
Gambar Teknik Bridging dan Chimneying
II. Lorong Vadose
Lorong dimana sebahagian dari lorongnya dialiri oleh air. Hati hati memasuki gua yang berlorong Vadose karena banyak kecelakaan dalam gua yang terjadi pada jenis lorong ini. Hindari mamasuki gua ini pada musim hujan atau curah hujan tinggi. Perhatikan setiap saat level air. Kalau ada perubahan ketinggian air secara tiba tiba segeralah mencari tempat yang tinggi didalam gua.
Melewati Lorong Gua Vadose sebaiknya menggunakan pelampung. Untuk lorong yang kedalaman air tidak terlalu tinggi dan arus tidak begitu deras dapat dilewati dengan berjalan biasa sambil mencari pegangan pada dinding gua. Pada lorong gua yang jarak antara pemukaan air dan atap gua hanya sebatas ukuran kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Teknik Ducking, yaitu dengan cara kepala menengadah keatas. Untuk lorong gua yang airnya dalam dan panjang sebaiknya menggunakan perahu karet.
Gambar Penggunaan Perahu Karet
Kadang kala juga kita harus menyeberangi sungai dalam gua yang deras. Untuk menyeberanginya sebaiknya menggunakan pelampung dan dibelay oleh rekan yang lain. Lihat gambar dibawah :
Gambar Menyeberangi Sungai Yang Deras
III. Lorong Fhareatic
Lorong Gua yang seluruh bagian lorong gua tertutup oleh air. Untuk memasuki lorong gua ini dilakukan dengan Teknik Cave Diving.
TEKNIK PENELUSURAN GOA VERTIKAL
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
I. Teknik-Teknik Penelusuran Goa Vertikal
1.1 Single Rope Teknik (SRT)
Teknik penelusuran gua vertical tidak terlepas dari sebuah teknik yang dinamakan Single Rope Teknik (SRT), yaitu teknik menuruni gua vertical dengan menggunakan satu tali atau tali tunggal. Teknik ini bermacam macam model tergantung dimana teknik itu ditemukan dan berkembang. Secara umum teknik SRT terbagi tiga yaitu Sit and Stand Teknik antara lain Frog Sistem dan Texas Sistem, Rope Walking Teknik antara lain : 3 Gibbs Ropewalker System, Mitchell System, A Foating Cam System, Jumar System, Frog-Floating Cam System dan perpaduan sit and stand dan rope walking contohnya penggunaan pantin dikaki pada frog system. Tetapi kita hanya akan membahas teknik Frog system karena teknik inilah yang banyak digunakan terutama di Indonesia.
Frog System mempunyai kelebihan lebih simple, ringan dan mudah digunakan dibandingkan dengan beberapa teknik yang lain. Meskipun lebih lambat dibandingkan dengan teknik Rope Walking tetapi untuk kondisi dalam gua tidak terlalu dibutuhkan kecepatan dalam memanjat tali karena medan gua yang terkadang sempit, berair atau berlumpur, rawan batu terjatuh, ini memerlukan kehati-hatian. Dibawah ini model instalasi Frog System:
Gambar Instalasi Frog System
1.2 Rappelling (Descending / Abseiling)
Teknik menuruni tali dengan menggunakan peralatan Descender. Umumnya peralatan yang digunakan adalah Bobbins (Capstand) jenis Simple atau Autostop. Kemudian menambahkan carabiner Non Screw untuk menambah friksi pada tali agar lebih mudah mengontrol laju dan merubah arah tarikan tali kesamping atau keatas.
Dibawah ini tahapan ketika akan melakukan rappelling.
1) Memasang Descender
Pasang cowstail pada carabiner anchor atau pada tali diantara main anchor dan back up anchor. Kemudian buka pintu descender lalu lilitkan tali sesuai dengan gambar yang tertera pada alat. Kencangkan tali dengan menarik tali sekuat kuatnya dan masukan tali pada carabiner friksi. Lihat gambar dibawah :
Gambar Pemasangan Descender
2) Mengontrol Laju
Pada saat melakukan Rappelling, yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengontrol laju atau kecepatan turun.
Gambar Pengontrol Laju
3) Mengunci Descender
Mengunci dilakukan pada saat akan memasang anchor, beristirahat ditali dan kadang- kadang pada saat melewati Intermediate ,sebelum memulai Rappelling atau situasi lain yang mengharuskan kita mengunci descender. Lihat gambar dibawah :
Gambar Teknik Mengunci Descender
4) Melewati Intermediete
Yang harus dilakukan untuk melewati intermediate adalah,
a. Pelankan laju ketika mendekati Intermediate dan berhenti setelah posisi kita sejajar dengan Anchor.
b. Cantolkan Cowstail Pendek pada Carabiner Anchor, dan kalau diperlukan kunci Desceder terlebih dahulu.
c. Lanjutkan atau turunkan Descender sampai posisi badan tergantung pada Cowstail Pendek.
d. Lepaskan tali dari Descender, kemudian ambil tali dibawah Anchor, pasang kembali Descender. Untuk tetap dua pengaman jangan lepaskan Carabiner Friksi sebelum Descender berpindah ketali dibawah anchor atau memasang Jammer sebagai pengaman (kalau diperlukan).
e. Setelah itu lepaskan Cowstail Pendek dengan menginjak pijakan pada dinding gua atau menginjak Loop Intermediate dan lanjutkan Rappelling.
Gambar Teknik Melewati Intermediete
5) Melewati Sambungan Tali
a. Turun hingga Descender sampai kesimpul dengan terlebih dulu melepaskan Carabiner Friksi.
b. Pasang dan tempatkan posisi Ascender dari Carabiner Cowstail Pendek, ketika ditegangkan keatas dengan bagian atas Ascender berjarak sekitar 10 Cm.
c. Lepaskan Cowstail Panjang dari Ascender lalu cantolkan ke Loop Simpul sambungan tali.
d. Injak Foot Loop, berdiri dan pasang cowstail pendek di tali tepat bagian atas kepala Ascender.
e. Duduk dan beban akan berpindah ke Cowstail Pendek
f. Lepaskan Descender dari tali, dan pasang kembali ke tali bagian bawah simpul sambungan tail dan dikunci.
g. Berdiri dengan menginjak Foot Loop, lepaskan Cowstail Pendek dan beban akan berpindah ke Descender.
h. Lepaskan Ascender dan Cowstail Panjang dari Loop Simpul sambungan tali.
i. Lanjutkan Rappelling.
Gambar Teknik Melewati Sambungan Tali
6) Melewati Deviasi
Tekniknya lebih mudah melakukannya. Dengan cara :
a. Rappelling sampai Descender melewati atau berada sedikit dibawah posisi Anchor.
b. Cantolkan Cowstail Pendek pada carabiner deviasi dibagian dalam tali, supaya mudah melepaskan tali dari Carabiner Deviasi (lakukan langkah ini bila diperlukan)
c. Lepaskan tali dari Carabiner deviasi lalu kaitkan pada tali bagian atas Descender.
d. Lanjutkan Rappelling.
1.3 Ascending
Meniti tali keatas dengan menggunakan dua alat Ascender. Untuk Teknik Frog System menggunakan Jammer atau Basic Jammer pada bagian atas yang didorong dengan tangan dan menggunakan Croll (Chest Ascender) yang dipasang didada. Sebelum memulai meniti tali harus memperhatikan pemasangan alat yang benar. Pemasangan Croll harus benar-benar rapat kebadan, agar supaya pada saat naik Croll tetap tegak lurus yang memudahkan melewati tali. Untuk mendapatkan ikatan Chest Harness yang pas, sebaiknya memasangnya dengan sambil membungkuk atau mengencangkannya kembali setelah Croll terpasang ditali.
Gambar Teknik Melewati Sambungan Tali
Diawal kita melakukan Ascending kadang kala Croll masih susah melewati tali. Terutama kalau tali berlumpur atau agak besar diameternya. Kalau mendapatkan kondisi seperti itu, ketika berdiri tali dibawah Croll harus ditarik. Lakukan hal berkali kali hingga pada ketiggian idial, berat tali akan dapat menarik sendiri dan Croll dapat melewati tali. Bagi para pemula paling sering mengalami masalah ini, karena belum mendapatkan cara berdiri yang benar. Pada saat berdiri badan harus tegak lurus keatas dengan menempatkan posisi kaki tepat dibawah pantat. Hindarkan posisi kaki keluar atau condong kedepan pada saat berdiri. Hal yang juga dapat dilakukan yaitu dengan cara menjepit tali dengan menggunakan dua kaki. Ini lebih muda dilakukan apabila kita menggunakan Foot Loop yang menggunakan dua loop.
1) Ascending Melewati Intermedite
Dibawah ini cara melewati Intermediate :
a. Berhenti mendorong Ascender bila telah sampai pada simpul anchor dan sisakan jarak antara simpul dengan Ascender sepanjang 2-3 cm. karena kalau mentok di simpul bisa menyebabkan Ascender susah dilepaskan.
b. Cantolkan Cowstail Pendek pada Carabiner Anchor lalu lepaskan Croll dan langsung pasang pada tali yang keatas. kemudian lepaskan juga Ascender lalu pasang ketali yang keatas.
c. Lakukan ascending hingga mendapatkan posisi yang mudah melepaskan Cowstail.
d. Lanjutkan Ascending setelah melepaskan Cowstail.
Gambar Ascending Melewati Intermedite
Perhatikan posisi carabiner setelah melewati intermediate karena kadang kala akan mengalami perubahan posisi. Berbahaya apabila posisi carabiner berputar dan mendapatkan pembebanan yang tidak sebagai mana mestinya, seperti posisi horizontal bukan pembebanan yang vertical. Kalau mendapatkan hal seperti ini kembalikanlah posisi carabiner seperti sebelumnya atau pada pemasangan yang benar.
2) Ascending Melewati Sambungan Tali
Teknik melewati sambungan tali yaitu:
a. Pasang Cowstail pendek pada Loop Simpul sambungan tali apabila ascender telah sampai dekat simpul.
b. Pindahkan Ascender ke tali diatas simpul.
c. Injak Foot Loop dan berdiri sambil melepaskan Croll, lalu pasang Croll pada tali diatas simpul.
d. Lanjutkan melakukan Ascending.
Gambar Ascending Melewati Intermedite
II. RIGGING
Rigging atau teknik pemasangan lintasan pada Gua Vertical. harus memenuhi standar dibawah ini:
Aman.
2. Bisa dilewati semua anggota tim.
3. Tidak merusak Peralatan.
4. Siap digunakan untuk keadaan emergenci atau Lintasan Rescue.
Selain itu pemasangan lintasan juga harus memenuhi syarat atau aturan aturan khusus, seperti:
Hindarkan tali friksi dengan batu dan jauhkan dari lintasan air.
Mempunyai dua Anchor pada mulut gua yaitu Main Anchor dan Back Up Anchor.
Tempatkan titik anchor dimana tali bisa bergantung bebas.
Gunakan Deviasi, Intermedit atau Rope Protection untuk menghindarkan friksi tali.
Jangan melempar tali langsung kebawah tetapi masukkanlah kedalam Rope Bag dan digantung pada pemasang lintasan karena akan menyebabkan tali kusut dan tersangkut atau pemasang lintasan akan berat menarik tali ketika akan memasang Descender.
Apabila diperlukan gunakan Absorbing Knot atau Simpul Peredam Kejut antara main Anchor dengan Back Up Anchor dengan membuat simpul kupu-kupu.. Gunanya apabila Main Anchor terlepas absorbing knot akan meredam beban kejut sehingga akan mengurangi sentakan yang akan diterima oleh Back Up Anchor.
Berhati hatilah menggunakan natural anchor seperti stalagmite atau batuan yang tidak terlalu menyatu dengan dinding gua karena akan gampang pecah.
Pasang dua back up anchor apabila yang satu terlalu jauh dari main anchor. Ini bertujuan untuk menghindarkan caver berayun terlalu jauh ketika akan Rappelling.
Buatlah Y anchor untuk menambah kekuatan anchor. Perhatikanlah sudutnya, maksimalnya 120° dan idealnya 90°.
Perhatikanlah kemana arahnya tali apabila Main Anchor terlepas. Ketika beban tali berpindah ke Back Up Anchor , tali tidak mengalami friksi pada batu tajam yang dapat memotong tali.
Buatlah deviasi dan intermediate yang standar. Pemasangan deviasi yang terlalu jauh akan berakibat ketika melewatinya setelah melepas carabiner, akan sulit memasangnya kembali. Untuk melewati intermediate dibutuhkan panjang loop atau pendulum maksimal 2 meter.
Pastikan posisi anchor mudah diakses agar supaya caver dapat mudah memasang Cowstail pada Carabiner Anchor.
III. ANCHOR
Ada banyak jenis anchor yang dapat digunakan, baik itu yang tersedia di alam atau di dalam gua maupun yang sifatnya artificial. Memilih anchor atau memasang anchor haruslah hati hati, pilihlah anchor yang kuat terutama untuk natural anchor dengan pemasangan yang benar. Perhatikanlah arah tarikan tali yang tepat dan pembebanan anchor yang benar. Untuk anchor yang tidak begitu meyakinkan kekuatannya, terutama ornament gua lobang tembus yang tipis sebaiknya digunakan untuk deviasi saja. Dibawah ini beberapa jenis anchor yaitu :
4.1. Natural Anchor (Tambatan Alam)
a. Pohon. Yang harus diperhatikan untuk anchor ini adalah jenis pohon, tempat tumbuh, posisi tumbuh maupun kondisi dari pohon tersebut. Pohon yang tumbuh diatas batu gamping biasanya cukup kuat karena akarnya masuk kedalam atau menembus batuan. Besar kecil pohonnya juga harus diperhatikan.
Gambar Natural Anchor Pohon
b. Boulder (Bongkahan Batu). ini juga bisa digunakan sebagai anchor, asalkan ukurannya besar dan tidak akan bergeser apabila dibebani. Posisi boulder yang menumpuk biasanya lebih kuat karena boulder yang satu dengan yang lainnya saling menahan.
Gambar Natural Anchor Boulder
c. Lubang Tembus. Lubang tembus bisa terdapat pada dinding, lantai maupun atap goa. Bentuknya bisa horizontal atau vertical. Sebelum menggunakannya kita harus memeriksa kekerasan batuan, ketebalan dan keutuhan batuannya.
Gambar Natural Anchor Lubang Tembus
d. Flake (Lapisan Batuan). Anchor ini biasanya kita temukan pada dinding gua, yaitu berupa lapisan batuan yang menonjol kesamping.
e. Rekahan, celah yang terbentuk dari pengikisan lapisan (horizontal) maupun crek (vertikal). Untuk jenis ini kita menggunakan pengamana sisip maupun paku tebing. Bentuk celah, jenis celah, lebar celah arah penyepitan celah kondisi, permukaan bidang yang akan digunakan dan arah tarikan yang diinginkan harus diperhitungkan.
Gambar Natural Anchor Lubang Rekahan
f. Chock Stone, batu yang terjepit pada celah sehingga berfungsi seperti pengaman sisip, atau biasa disebut chock. Sebelum digunakan terlebih dahulu periksa celah dan batu yang terjepit. Untuk celah harus diperhatikan pada bentuk celah, jenis celah, lebar celah, arah penyempitan celah dan kondisi permukaan bidang (bidang friksi, kekerasan pelapis). Untuk batu yang terjepit periksa jenis dan keadaan dari bentuk dan posisi terjepitnya. Setelah itu kita tentukan arah tarikan yang akan dibuat lalu perhatikan posisi peletakan webbing pengikatnya.
Gambar Natural Anchor Chock Stone
g. Tanduk (Horn), jenis ini berupa pinggira dinding yang menonjol hasil dari air. Bentuk tonjolan harus selalu diperhatikan untuk menentukan tarikan dan teknik pemasangan webbingnya.
Gambar Natural Anchor Tanduk (Horn)
h. Ornament, biasanya hanya digunakan untuk mendapat beban horisontal (Deviasi), karena ornament ini hanya menempel pada lantai tumbuhnya. Jenis anchor ini jarang digunakan karena praktis merusak pertumbuhannya.
4.2. Artificial Anchor (Anchor buatan)
pada pembuatan lintasan apabila sudah mendapatkan atau menemukan natural anchor yang layak digunakan maka satu-satunya cara adalah menggunakan anchor buatan, antara lain:
a. Nut (Pengaman Sisip).
Alat ini biasa juga disebut dengan pengaman sisip. Ada banyak jenis alat ini dan juga dibedakan dengan beberapa ukuran. Untuk kegiatan caving sebaiknya digunakan yang ukuran besar dan harus digunakan dengan benar. Haxentric Roc (wedge) Stopper
Gambar Nut (Pengaman Sisip)
b. Piton (Paku Tebing).
Untuk memasang piton haruslah ada rekahan pada dinding baik yang horizontal maupun yang vertical.
Gambar Pemasangan Piton
c. Bolts / Spit (Mata Bor) Dan Hanger
Gambar Bolts (Mata Bor) & Hanger
Berdasarkan posisi dan urutan penerimaan beban maka anchor dibagi atas :
1) Main Anchor, anchor utama, yaitu anchor yang secara langsung mendapatkan beban saat lintasan digunakan
2) Back-Up, berfungsi sebagai cadangan jika main anchor terlepas atau jebol, jumlah anchor ini bisa lebih dari satu, dan nilai kekuatannya harus lebih besar dari main anchor.
Penempatan posisi Back-Up harus tetap memperhatikan keamanan tali dari friksi dan kerusakan lainnya ketika main anchor jebol.
IV. TAHAPAN RIGGING
4.1. Packing Tali
Sebelum memulai melakukan rigging tali harus dimasukkan kedalam Rope Bag (tas tempat tali), yang sebelumnya ujung tali disimpul dengan menggunakan simpul delapan. Dibawah ini cara memasukkan tali kedalam rope bag :
Gambar Packing Tali
4.2. Mendekati Mulut Gua
Amati kondisi mulut gua. Untuk menetukan disebelah mana kita akan turun harus memperhatikan posisi yang paling aman melakukan rigging. Hindari tampat lintasan air yang kemungkinan akan masuk kedalam gua apabila terjadi hujan. Bersihkan atau amankan mulut gua dari batu atau ranting yang kemungkinan bisa terjatuh nanti.
4.3. Periksa Kedalam pitch
Sebelum melakukan penelusuran sebaiknya kita mengetahui atau memperkirakan kedalaman pitch yang akan kita turuni. Ini penting agar supaya kita bisa memperkirakan berapa jumlah peralatan yang akan kita bawa. Untuk jarak tertentu mungkin dapat kita perkirakan dengan melihat langsung sebatas cahaya matahari masuk kedalam gua atau sebatas jangkauan cahaya headlamp. Cara yang bisa juga kita gunakan yaitu dengan melemparkan batu kedalam mulut gua, dan menghitung berapa lama (detik) saat batu dilempar dan saat terdengar suara batu menghantam dasar pitch. Lihat tabel estimasi kedalaman dibawah ini:
Tabel Estimasi Kedalaman
Waktu
(Detik) Max Kedalaman
5 X T2 (m) Kedalaman Actual
(m)
2 20 19
2,5 30 29
3 45 41
3,5 60 55
4 80 71
4,5 100 88
5 125 108
6 180 151
7 245 210
8 320 257
9 405 319
10 500 386
4.4. Buat Back Up Anchor
Berfungsi sebagai cadangan jika main anchor , jumlah anchor ini bisa lebih dari satu, dan kekuatannya harus lebih besar dari main anchor. carilah tempat pemasangan yang kuat. Disekitar mulut gua sebaiknya gunakan pohon sebagai back up anchor, boulder atau pasang dua spit untuk Y anchor. Apabila jarak antara back up anchor dan main anchor terlalu jauh pasang anchor lagi (back up kedua) sebelum main anchor. Ini berguna agar caver tidak berayun jauh saat akan turun.
Gambar Back Up Anchor
4.5. Buat Main Anchor (Anchor Utama)
yaitu anchor yang secara langsung mendapatkan beban saat lintasan digunakan. Tempatkan posisi main anchor dimana tali akan dapat bergantung bebas dan ketika main anchor terlepas arah jatuhnya tali tidak mengalami friksi pada batuan yang tajam yang dapat memotong tali. Kalau itu tidak bisa dihindari buatlah dua anchor atau gunakan Y anchor .
Gambar Main Anchor
4.6. Perhitungkan Fall Faktor
Hal ini adalah salah satu yang harus diperhatikan dalam pemasangan anchor. Ini berguna untuk menghindari beban sentak yang terlalu besar ketika main anchor telepas karena bisa menyebabkan back up anchor terlepas atau pinggang kita tidak kuat menerima sentakan yang bisa mengakibatkan cedera. Rumus fall faktor adalah Jarak Jatuh / Panjang Tali. Untuk caving yang menggunakan tali static fall faktor maximal FF.
Gambar Perhitungan Fall Faktor
Dibawah ini cara pemasangan back up anchor dan main anchor yang memperhatikan atau memperhitungkan FF nya.
Gambar Cara Pemasangan Back Up Anchor
4.7. Membuat Intermediete
Ini dilakukan apabila terjadi friksi pada tali. Perhatikanlah panjang pendulum. Terlalu pendek akan susah dilewati, terlalu panjang akan berbahaya apabila anchor terlepas karena caver akan jauh terjatuh kebawah. Ukuran idialnya adalah 2m.
Hindari sambungan tali dekat dengan intermediate karena akan menguras tenaga dan waktu. Untuk menghindari itu buatlah sambungan tali pada anchor intermediate, dengan cara mengaitkan kedua loop simpul dan sisa talinya digulung.
Gambar Pembuatan Intermediete
4.8. Deviasi
Sama fungsinya dengan intermediate, yaitu mengindarkan tali dari friksi dengan batu. bedanya dengan intermediate tali tidak dibuat ancor tetapi dibuat dengan cara menarik tali kesamping menjauh dari batu. Deviasi menggunakan sling yang diujungnya dipasang carabiner yang dikaitkan ketali.
Yang harus diperhatikan dalam membuat deviasi yaitu besaran sudutnya. Semakin besar sudut deviasi semakin besar juga beban masuk ke anchor. Umum digunakan 15° atau sebaiknya 10° - 30°. Hal lain yang penting juga adalah jarak tali kedeviasi jangan terlalu jauh karena akan susah dilewati.
Gambar Pembuatan Deviasi
4.9. Tyroliens
Biasa juga disebut lintasan traverses atau lintasan tali tegang . lintasan ini terdiri dari dua jenis yaitu tyrolien horizontal dan tyrolien sloping. Tyrolien dibuat untuk menyeberangi sungai, melewati air terjun dan daerah yang curam didalam gua terutama untuk rescue.
Gambar Tyroliens
Ada beberapa teknik menegangkan tali, yaitu dengan menggunakan Italian hitch untuk menahan tali pada saat melakukan Z Rigg sekaligus sebagai anchor atau dengan menggunakan Autostop (penggunaan Auto Stop hanya pada kondisi tertentu seperti rescue) sebagai pengganti Italian hitch. Lihat gambar dibawah ini :
Gambar Teknik Menegangkan Tali
V. SELF RESCUE
Teknik Rescue sangat sulit dan kompleks. Ini memerlukan banyak latihan, banyak belajar dan mencoba banyak Teknik Rescue. Mahir melakukan teknik rescue pada saat latihan bukan menjadi jaminan anda akan mampu melakukan rascue pada kondisi yang sebenarnya. Faktor mental sangat berpengaruh. Persiapkanlah diri anda mengahadapi kondisi ini.
Perbanyaklah teknik rescue yang anda miliki dan rajinlah berlatih dengan mengulang-ulang teknik yang anda telah kuasai. Pada dasarnya seseorang yang mulai memasuki gua gua vertical tanpa mengetahui teknik rescue bisa dikatakan orang itu adalah caver yang tidak bertanggung jawab.
Bekali juga diri anda dengan pengetahuan medical practice karena juga akan sangat berguna. Terutama bagaimana mengenali kondisi korban dan cara pemberian pertolongan pertama. Sebelum melakukan tindakan, buatlahlah keputusan tentang teknik apa yang akan anda gunakan.dibawah ini ada beberapa kemungkinan tindakan atau teknik bisa anda lakukan antara lain :
5.1. Mendekati Korban
langkah inilah yang pertama harus dilakukan. Untuk kondisi korban yang tergantung di tali kita harus melakukan Rappelling untuk mendekati korban. Ini akan mudah apabila ada tali cadangan yang tersedia. Tetapi kalau tidak anda terpaksa harus menggunakan tali yang digunakan korban. Dengan kondisi tali yang tegang tentunya akan susah untuk meniti tali. Teknik yang lebih mudah adalah turun dengan memanfaatkan peralatan untuk naik dengan cara menggeser kebawah secara bergantian Jammer dan Croll.
Kelemahan teknik ini adalah lambat dalam meniti tali kebawah. Teknik lain yang bisa lebih cepat yaitu Rappelling tali tegang dengan menggunakan simple atau autostop dengan cara tertentu. Yaitu tali dimasukkan kedalam Descender tidak melewati dua bulatan kumparan Descender (seperti pemasangan normal) melainkan dimasukkan diantara sela dua bulatan.
Teknik yang menggunakan simple dimana lubang cantolan carabiner pada simple dipasang dua carabiner tidak bisa dilakukan untuk simple yang buatan sekarang karena lubangnya kecil hanya bisa masuk satu carabiner (Untuk Simple jenis ini ikuti teknik menggunakan Auto Stop). Lihat gambar dibawah ini :
Gambar Teknik Menggunakan Auto Stop
5.2. Melepaskan Korban Dari Tali Dan Membawa Turun
Ada beberapa macam teknik mengenai hal ini. Yaitu :
a. Metode Foot Loop Dan Croll, caranya :
Bergeraklah ke posisi korban
Cantolkan Cowstail Pendek ke bagian bawah Maillon Rapide (MR) korban sebagai pengaman.
Lepaskan Ascender penolong dari tali .
Lepaskan Footloop dan Carabinernya dari Jammer lalu masukkan bagian tengah Footloop ke Carabiner Jammer korban, lalu Carabiner Footloop dicantolkan pada lubang atas Croll dan bagian sisi Footloop dekat Loop dimasukkan kedalam Croll penolong. Sisakan jarak antara Carabiner Footloop dengan Carabiner Jammer korban sepanjang 10 cm.
Injak Footloop korban, berdiri sambil menarik Footloop untuk menaikkan posisi Croll lebih keatas hingga pada posisi yang diinginkan.
Dorong pantat korban keatas. Dorongan tangan akan membantu Footloop menarik korban keatas hingga Croll korban mulai tidak terbebani. Pasang Descender, kencangkan talinya, lalu kunci.
Lepaskan Croll korban dan buka kunci descender. Kemudian kencangkan descender lalu kunci kembali . Injak footloop korban, berdiri sambil melepaskan Croll penolong, Footloop dari Carabiner Jammer korban dan Croll korban.
Setelah itu pasang dua carabiner dikaitkan ke maillon rapide penolong dan maillon rapide korban yang fungsinya sebagai tempat menggantung penolong dari korban.
Lepaskan Jammer, lepaskan kunci Descender lalu bawa korban turun.
Gambar Teknik Membawa Korban Turun
5.3. Metode Counterweight Dengan Cowstail Panjang.
Caranya yaitu :
Mendekatlah keposisi korban.
Cantolkan Carabiner ke bagian bawah Maillon Rapide korban
Lepaskan Jammer penolong dari tali, lalu lepaskan Cowstail Panjang dari Jammer.
Pasang Carabiner Cowstail Panjang pada lubang bagian atas Croll. Berdiri dengan menggunakan Footloop korban lalu kaitkan bagian tengah Cowstail panjang ke Carabiner Jammer korban. Sisakan jarak 10 cm antara carabiner cowstail dengan carabiner jammer.
Lepaskan Croll penolong. Selanjutnya beban penolong bepindah ke cowstail panjang.
Dorong pantat korban keatas, dorongan tangan akan membantu tarikan Cowstail Panjang menarik korban keatas, hingga Croll korban kendur atau tidak terbebani.
Pasang Descender lalu kunci. Lepaskan Croll korban. Buka kunci Descender kencangkan talinya lalu kunci kembali.
Berdiri dengan menginjak Foot Loop korban, lepaskan Carabiner Cowstail panjang dari lubang bagian atas Croll korban, lepaskan bagian tangah Cowstail panjang dari Carabiner Jammer Korban.
Pasang dua buah Carabiner lalu kaitkan ke Maillon Rapide penolong kemudian kaitkan lagi ke Maillon Rapide korban (berfungsi tempat menggantung penolong dari korban).
Lepaskan Jammer, lalu bawa turun korban.
Gambar Teknik Counterweight Dengan Cowstail Panjang
5.4. MEMOTONG TALI
Caranya yaitu :
Mendekatlah keposisi korban lalu cantolkan Cowstail pendek penolong ke Maillon Rapide korban.
Lepaskan Cowstail panjang korban dari Jammer. Biarkan Footloop korban tetap pada tempatnya.
Jika penolong bergerak dari bawah sebaiknya membawa ujung tali keatas pada saat naik dan ujung tali tersebut yang di cantolkan ke jammer setelah dibuat simpul delapan. Tetapi jika penolong bergerak dari atas kebawah pada saat mendekati korban buatlah loop sekitar dua meter lalu buat simpul delapan dan cantolkan ke carabiner jammer.
Perhatikan jarak antara Jammer dan Croll korban, yaitu minimal 30 cm.
Pasanglah Descender pada tali yang baru terpasang tadi lalu dikunci.
Doronglah Descender korban keatas apabila akan mengencangkan tali antara Jammer dan Descender.
Pasang kembali Jammer penolong untuk mendapatkan posisi yang sejajar dengan korban. hal ini dilakukan untuk memudahkan kita memotong tali.
Ambil pisau dan potonglah tali tepat diatas Croll korban.
Injak Foot Loop korban untuk melepaskan Jammer penolong.
Pasang dua Carabiner lalu kaitkan ke Maillon Rapide penolong dan Maillon Rapide korban yang fungsinya sebagai tempat menggantung penolong dari korban.
Beban akan berpindah ke descender korban. Selanjutnya penolong melepaskan kunci descender lalu membawa korban kebawah.
Gambar Teknik Memotong Tali Korban
5.5. Membawa Turun Korban Melewati Intermediete
Caranya yaitu :
Turunlah dengan membawa korban dan berhenti ketika Descender sejajar dengan Anchor, lalu kuncilah Descender.
Pasang satu lagi Descender kemaillon rapide korban bersebelahan dengan descender yang pertama. Ambil tali yang dibawah anchor pasang ke descender yang kedua lalu kunci.
Lepaskan kunci descender yang pertama, ulurkan talinya hingga beban berpindah ke descender yang kedua. Lepaskan tali dari descender yang pertama dan turunlah dengan descender kedua.
Gambar Membawa Turun Korban Melewati Intermediete
5.6. Melewati Sambungan Tali.
Caranya yaitu :
Berhenti dua meter diatas simpul dan kunci Descender. Buat Simpul Delapan dekat simpul sambungan tali lalu loopnya masukkan ke Carabiner Jammer.
Pasang Jammer yang telah disambungkan dengan Loop simpul tadi ke tali diatas Descender.
Ambil Descender yang kedua lalu pasang ke Maillon Rapide korban bersebelahan dengan Descender yang pertama. Pasang Descender kedua ketali dibawah simpul yang tercantol pada Jammer dan kunci.
Dorong Jammer keatas untuk mengencangkan tali antara Descender dengan Jammer.
Lepaskan kunci Descender yang pertama, kendurkan talinya sampai beban berpindah ke descender yang kedua.
buka kunci descender pertama dan lepaskan dari tali. Buka kunci descender kedua dan rappelling dengan membawa korban kebawah.
Gambar Melewati Sambungan Tali
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar