Penelusuran gua, sekalipun dilakukan dengan hati-hati tetap dapat membahayakan gua dan isinya. Bagaimana solusi terbaiknya? Satu rangkaian penggunaan gua oleh manusia dapat diringkas kurang lebih adalah sebagai berikut: penggunaan gua oleh masyarakat lokal - penjelajahan oleh speleologiwan - peningkatan kunjungan gua sebagai kegiatan caving rekreasi - penelitian ilmiah - penipisan sumber daya fisik dan biologi - dan akhirnya perlindungan terhadap apa yang tersisa.
Pemadatan sedimen dan pengeruhan air
Rencana konservasi gua harus mempertimbangkan dampak pengunjung terhadap fauna bawah tanah. Dampak biologis dari kunjungan gua yang berulang kali, jauh lebih berbahaya daripada pengaruh fisik yang berupa pemadatan sedimen, pengotoran flowstone dan erosi. Banyak binatang gua yang binasa oleh sepatu boot penelusur gua, bahkan belakangan penelusur gua tersebut tidak mengetahui keberadaan binatang-binatang tersebut. Kunjungan berulang kali memadatkan sedimen dan menghilangkan habitat potensial dan dapat menghasilkan peningkatan aliran air serta erosi aliran-aliran kecil di turunan-turunan pada flow stone dan dripstone.
Longsoran sedimen akibat dilewati oleh caver, dapat masuk kedalam air sehingga mencekik fauna yang hidup atau hidupan lain yang ada di dalam air tersebut. Sedangkan fauna aquatik ini sangat besar pengaruhnya terhadap ekosistem gua.
Perhatikan!! Anggap saja bahwa tim anda sedang memasuki gua yang "perawan". Di suatu lorong yang berlumpur tebal (katakanlah lebih dari 30 cm), sehingga jalanpun susah. Dan di lumpur ini seringkali dijumpai fauna terestrial (fauna daratan), sampai berukuran milimeter. Di salah satu atau beberapa bagiannya terdapat saluran air atau parit-parit kecil. Di jalur air ini, biasanya lumpur lebih padat sehingga lebih mudah dilalui. Namun di air ini pula hampir selalu hidup fauna aquatik yang tidak dapat hidup di lumpur disekitarnya, ukurannya pun juga sangat kecil. Jalur mana yang anda pilih untuk melewati lorong ini?
Jalur yang pertama kali dilewati oleh penelusur pertama, cenderung untuk diikuti oleh kunjungan berikutnya. Maka, jika anda spesialis gua "perawan", harap berhati-hati dalam menentukan jalur penelusuran!!!
Masuknya Energi Tambahan
Masuknya sumber energi tambahan kedalam gua adalah salah satu cara dimana caver (penelusur gua) dapat merubah ekosistem gua secara drastis atau pelan-pelan. Sementara, banyak gua yang flora atau faunanya dapat bertahan hidup karena energi yang ada di dalam gua rendah dan konstan. Sebagian lain membutuhkan energi lebih besar. Dan ini bisa terbawa masuk oleh caver.
Caver dapat memanaskan lingkungan gua dengan panas tubuhnya sendiri, sehingga ini menyediakan energi tambahan dari kondisi semula. Di Gua Remouchamps, Belgia, satu rombongan wisatawan terdiri dari 87 orang, telah menaikkan suhu udara gua 1,5°C selama kunjungan lima menit (Merenne-Schoumaker 1975).
Sumber energi tambahan, dapat dihasilkan dari sisa-sisa makanan caver. Disarankan bahwa setiap caver membawa lembaran plastik, dimana caver duduk diatasnya saat dia makan. Di sekitar tubuh caver akan tersebar sisa-sisa atau remah makanan - coklat, biskuit, tetesan - yang mewakili peningkatan ketersediaan energi di dalam gua. Hal-hal ini menjadi tempat yang potensial untuk kolonisasi jamur dan bakteri, atau mekanan fauna gua.
Penelusur gua juga harus memilih jenis pakaian yang dikenakan. Sweaters dan jenis lain yang menghasilkan bulu tidak boleh dipakai sebagai pakaian lapis luar. Di lorong yang sempit, pakaian semacam itu akan meninggalkan serabut kecil dan bulu yang asing terhadap lingkugan gua
Racun
Pembuangan karbit adalah sarana yang potensial untuk membunuh fauna gua, terutama gua dengan sistem energi rendah dimana menghasilkan reaksi sisa selama beberapa minggu. Karbit kalsium bereaksi menghasilkan gas asetilene dan kapur. Dan mungkin dapat berisi unsur lain seperti sulfit dan logam tertentu. Senyawa ini dapat terlepas ke aliran gua atau air bawah tanah dan mengotorinya. Beberapa gua di Taman Nasional Sequoia dan Kings Canyon di Amerika, penelusur gua tidak boleh menggunakan lampu karbit sebagai penerangan.
Disamping itu, di beberapa gua di Taman Nasional tersebut, pengujung juga dilarang membawa segala macam bentuk tembakau. Termasuk rokok, cerutu, tembakau sedot, dan tembakau kunyah
Kerusakan ornamen
Beberapa gua memiliki area "tidak boleh ada sepatu" yang mana melewati bentukan gua yang lembut. Kaos kaki wool dapat menyebabkan masalah yang sama di area ini dan tidak boleh dipakai sebagai lapisan terluar saat berjalan pada flowstone atau rimstone.
Gua lain mungkin mengharuskan cavers harus menggunakan boot dengan sol ringan
Jika melewati bagian lantai yang halus dan sensitif, jika perlu jalur dialasi dengan lembaran plastik.
Kamis, 10 Desember 2009
Rabu, 09 Desember 2009
Bagimu Negeri... Jiwa Raga Kami...
“Padamu negeri kami berjanji...”
“Padamu negeri kami berbakti...”
“Padamu negeri kami mengabdi...”
“Bagimu negeri jiwa raga kami...”
Itulah syair dari lagu nasional “Padamu Negeri” karangan Kusbini. Ringkas, pendek tapi begitu dalam maknanya. Janji seorang Warga Negara Indonesia (WNI) kepada negerinya untuk mencurahkan segala jiwa raganya untuk kesejahteraan negeri.
Memang sudah selayaknyalah kita sebagai WNI untuk memberikan yang terbaik kepada Negara Indonesia ini. Kita tidak bisa berbohong atau pura – pura buta terhadap realita yang terjadi di Indonesia. Begitu banyak dan kompleks permasalahan yang terjadi di negeri ini. Mulai dari dimensi sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain – lain. Sepertinya tidak perlu saya rinci permasalahan – permasalahan yang ada di dalam dimensi – dimensi tersebut. Karena terlalu banyak dan tidak ada habisnya. Mungkin anda sudah tau pula tentunya permasalahan – permasalahan yang dimaksud. Nah yang ingin saya angkat dalam artikel sederhana ini adalah peran kita sebagai WNI untuk membantu mengatasi permasalahan – permasalahan tersebut.
Komposisi penduduk Indonesia terdiri dari beberapa lapisan. Ada mahasiswa, pegawai negeri, pegawai swasta, pelajar, politisi, dan sebagainya. Saya termasuk di dalam komposisi sebagai mahasiswa. Tentunya dari setiap komposisi penduduk diatas mempunyai fokus orientasi yang berbeda – beda. Saya ambil contoh mahasiswa. Mahasiswa mempunyai fokus orientasi yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengaplikasian. Begitu juga dengan komposisi penduduk yang lain, mempunyai masing – masing fokus orientasi. Sudah barang tentu, dari setiap komposisi penduduk tersebut mempunyai keahlian di fokus orientasi mereka masing - masing. Contoh mahasiswa (karena saya mahasiswa, jadi contohnya mahasiswa lagi, he3x) mereka ahli dibidang akademik yang mereka pelajari, seperti teknik informatika (IT), ekonomi, hukum, kedokteran, dan lain – lain. Nah dari keahlian di bidang masing – masing inilah, diharapkan mampu memberikan sesuatu (apapun itu) untuk rekonstruksi negeri ini.
Seperti misalnya, mahasiswa yang fokus pelajarannya dibidang (IT) membuat software – software aplikasi pembelajaran untuk siswa SD, SMP, SMA yang tujuannya untuk membantu proses belajar serta peningkatan kaulitas SDM itu sendiri. Atau mahasiswa yang fokus pelajarannya dibidang ekonomi, membuat rancangan sistem ekonomi yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat kemudian ditawarkan kepada Pemerintah melalui Depkeu, siapa tau saja di accept. Keren juga kan kalau ada headline berita, “Indonesia Keluar Dari Krisis Global Berkat Sistem Ekonomi Yang Dikonsep Mahasiswa”. Tidak hanya dari mahasiswa, tetapi para pegawai negeri atau swasta, politisi, dokter, profesor, dan lain – lain juga mampu dan harus memberikan sumbangsih pemikiran dan tindakan nyata dari bidang mereka. Nah hal – hal seperti inilah yang diharapkan dapat terjadi di masa sekarang atau di masa depan. Suatu gerakan tulus untuk mengatasi permasalahan bangsa melaui bidang – bidang fokus orientasi masing – masing.
Kita semua tentunya berharap, semua permasalahan – permasalahan bangsa yang terjadi saat ini dapat segera teratasi. Namun apa kita hanya bisa berharap tanpa adanya suatu tindakan nyata?? Apa kita hanya berharap kepada pemerintah saja untuk menyelesaikan permasalahan ini?? Lalu kita telah atau akan berbuat apa untuk mengatasi permasalahan ini?? Mari kita ubah cara berpikir kita. Jangan pernah bertanya apa yang sudah bangsa ini berikan untuk kebaikan kita, tapi bertanyalah apa yang sudah kita berikan untuk kebaikan bangsa ini. Ayo kita kobarkan semangat perubahan dan perbaikan dalam diri kita. Lakukanlah hal sekecil apapun untuk negeri ini. Yang dapat mengatasi permasalahan – permasalahan negeri ini adalah warga negaranya sendiri. Jangan pernah berharap kepada asing. Buktikan bahwa kita mampu! Bagimu negeri... Jiwa raga kami...
“Padamu negeri kami berjanji...”
“Padamu negeri kami berbakti...”
“Padamu negeri kami mengabdi...”
“Bagimu negeri jiwa raga kami...”
Itulah syair dari lagu nasional “Padamu Negeri” karangan Kusbini. Ringkas, pendek tapi begitu dalam maknanya. Janji seorang Warga Negara Indonesia (WNI) kepada negerinya untuk mencurahkan segala jiwa raganya untuk kesejahteraan negeri.
Memang sudah selayaknyalah kita sebagai WNI untuk memberikan yang terbaik kepada Negara Indonesia ini. Kita tidak bisa berbohong atau pura – pura buta terhadap realita yang terjadi di Indonesia. Begitu banyak dan kompleks permasalahan yang terjadi di negeri ini. Mulai dari dimensi sosial, ekonomi, pendidikan, dan lain – lain. Sepertinya tidak perlu saya rinci permasalahan – permasalahan yang ada di dalam dimensi – dimensi tersebut. Karena terlalu banyak dan tidak ada habisnya. Mungkin anda sudah tau pula tentunya permasalahan – permasalahan yang dimaksud. Nah yang ingin saya angkat dalam artikel sederhana ini adalah peran kita sebagai WNI untuk membantu mengatasi permasalahan – permasalahan tersebut.
Komposisi penduduk Indonesia terdiri dari beberapa lapisan. Ada mahasiswa, pegawai negeri, pegawai swasta, pelajar, politisi, dan sebagainya. Saya termasuk di dalam komposisi sebagai mahasiswa. Tentunya dari setiap komposisi penduduk diatas mempunyai fokus orientasi yang berbeda – beda. Saya ambil contoh mahasiswa. Mahasiswa mempunyai fokus orientasi yaitu pembelajaran, penelitian, dan pengaplikasian. Begitu juga dengan komposisi penduduk yang lain, mempunyai masing – masing fokus orientasi. Sudah barang tentu, dari setiap komposisi penduduk tersebut mempunyai keahlian di fokus orientasi mereka masing - masing. Contoh mahasiswa (karena saya mahasiswa, jadi contohnya mahasiswa lagi, he3x) mereka ahli dibidang akademik yang mereka pelajari, seperti teknik informatika (IT), ekonomi, hukum, kedokteran, dan lain – lain. Nah dari keahlian di bidang masing – masing inilah, diharapkan mampu memberikan sesuatu (apapun itu) untuk rekonstruksi negeri ini.
Seperti misalnya, mahasiswa yang fokus pelajarannya dibidang (IT) membuat software – software aplikasi pembelajaran untuk siswa SD, SMP, SMA yang tujuannya untuk membantu proses belajar serta peningkatan kaulitas SDM itu sendiri. Atau mahasiswa yang fokus pelajarannya dibidang ekonomi, membuat rancangan sistem ekonomi yang berpihak kepada kesejahteraan rakyat kemudian ditawarkan kepada Pemerintah melalui Depkeu, siapa tau saja di accept. Keren juga kan kalau ada headline berita, “Indonesia Keluar Dari Krisis Global Berkat Sistem Ekonomi Yang Dikonsep Mahasiswa”. Tidak hanya dari mahasiswa, tetapi para pegawai negeri atau swasta, politisi, dokter, profesor, dan lain – lain juga mampu dan harus memberikan sumbangsih pemikiran dan tindakan nyata dari bidang mereka. Nah hal – hal seperti inilah yang diharapkan dapat terjadi di masa sekarang atau di masa depan. Suatu gerakan tulus untuk mengatasi permasalahan bangsa melaui bidang – bidang fokus orientasi masing – masing.
Kita semua tentunya berharap, semua permasalahan – permasalahan bangsa yang terjadi saat ini dapat segera teratasi. Namun apa kita hanya bisa berharap tanpa adanya suatu tindakan nyata?? Apa kita hanya berharap kepada pemerintah saja untuk menyelesaikan permasalahan ini?? Lalu kita telah atau akan berbuat apa untuk mengatasi permasalahan ini?? Mari kita ubah cara berpikir kita. Jangan pernah bertanya apa yang sudah bangsa ini berikan untuk kebaikan kita, tapi bertanyalah apa yang sudah kita berikan untuk kebaikan bangsa ini. Ayo kita kobarkan semangat perubahan dan perbaikan dalam diri kita. Lakukanlah hal sekecil apapun untuk negeri ini. Yang dapat mengatasi permasalahan – permasalahan negeri ini adalah warga negaranya sendiri. Jangan pernah berharap kepada asing. Buktikan bahwa kita mampu! Bagimu negeri... Jiwa raga kami...
Sabtu, 05 Desember 2009
INTRODUKSI SPELEOLOGI
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
I. Pengertian Speleologi
Speleologi Adalah ilmu yang mempelajari tentang gua alam dan lingkungannya. Kata speleologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Spelaion yang berarti Gua dan Logos yang berarti Ilmu. Ilmu Speleologi bisa dikatakan ilmu yang cukup langka karna sampai saat ini pun banyak orang yang belum mengetahui tentang apa itu speleologi, bahkan dikalangan ilmuan dan akademisi masih tergolong jarang yang mengetahui. Ilmu Speleologi mulai berkembang sejak Abad 19 dibagian benua Eropa terutama Eropa Timur (Slovenia) dan Eropa Barat (Jerman, Inggris, Italia dan Prancis). Sedangkan di Indonesia Speleologi baru dikenal pada tahun 1979.
Di Negara-Negara Eropa Ilmu Speleologi sudah masuk dalam Kurikulum Pendidikan terutama ditingkat Perguruan Tinggi, sedangkan di Indonesia sendiri masih jarang sekali. Sampai saat ini masih banyak pemahaman yang berbeda tentang gua. Ada yang mengatakan semua lubang yang berada dibawah tanah baik yang terjadi secara alami maupun buatan manusia. Ada pula yang yang mengatakan kalau gua hanya lorong bawah tanah yang terbentuk secara alami sedangkan yang dibuat manusia (Bungker / Tunel) tidak dapat disebut gua, dan masih banyak pemahaman-pemahaman lain.
Menurut UIS (Internasional Union Of Speleology) Gua adalah setiap ruangan bawah tanah yang dapat dimasuki oleh manusia. memiliki sifat yang khas dalam mengatur suhu udara di dalamnya, yaitu pada saat udara di luar panas maka di dalam Goa akan terasa sejuk, begitu pula sebaliknya. Gua dibagi dalam beberapa jenis sesuai dengan kondisi batuan pembentuknya, yaitu :
1. Gua Karst
Gua yang terbentuk pada kawasan yang telah mengalami Karstifikasi atau pelarutan. Sekitar 70 % gua yang ada didunia terbentuk pada Kawasan Karst.
2. Gua Lava
Terbentuk akibat pergeseran permukaan tanah akibat gejala keaktifan Vulkanologi atau akibat aktifitas Gunung Api.
3. Gua Litoral
Gua yang terbentuk pada daerah pantai, adapun terjadinya yaitu akibat adanya proses erosi dan pengikisan dari air laut terhadap batuan yang berbeda di pantai yaitu pada tebing yang curam, akibat adanya gaya mekanis air laut maka lama kelamaan batuan tersebut akan membentuk celah maka terjadilah Gua.
Ada pula gua yang sangat jarang sekali kita temukan, seperti Gua Es dan gua pasir yang jumlahnya hanya sekitar 5 % dari jumlah gua yang ada diseluruh dunia. Ada beberapa proses yang menjadi penyebab terbentuknya Gua Karst yaitu : Akibat Pelarutan secara kimiawi, Pengikisan Air, Amblesan, Runtuhan. Pada umumnya terbentuknya gua-gua tersebut tergantung pada kondisi geologi, Hidrologi dan Litologi, seperti adanya Kekar, Sesar, Bedding Plane, Kontak Batuan dll.
II. Sejarah Penelusuran Gua Dan Ilmu Speleologi
Kegiatan penelusuran gua yang kita ketahui sudah dilakukan sejak jaman primitive dahulu, yang mana gua dijadikan sebagai tempat berlindung dan ritual adat atau pemujaan terhadap roh leluhur mereka. Ada beberapa sejarah tentang awal dari Ilmu Speleologi yaitu, pada tahun 1670 – 1680 Baron John Valsavor dari Slovenia yang pertama kali melakukan deskripsi terhadap 70 gua dalam bentuk laporan ilmiah lengkap dengan komentar, peta, dan sketsa sebanyak 4 jilid dengan total mencapai 2800 halaman, dan pada tahun 1674 seorang ahli Geologi amatir dari Somerset Inggris bernama John Beamont melakukan pencatatan laporan ilmiah penelusuran Gua sumuran (Potholing) yang pertama kali dan diakui oleh British Royal Society.
Pada tahun 1818 Kaisar Habsburg Francis I menjadi orang yang pertama kali melakukan kegiatan wisata di dalam Gua yaitu saat mengunjungi Gua Adelsberg (sekarang Gua Pastonja di eks Yugoslavia). Kemudian Josip Jersinovic yaitu seorang pejabat di daerah tersebut tercatat sebagai pengolola Gua professional yang pertama dan pada tahun 1838 seorang pengacara bernama Franklin Golin sebagai tuan tanah yang memiliki areal Mammoth Cave di Kentucky AS (Gua terbesar dan terpanjang didunia) dan mengkomersilkan gua tersebut. Ia memperkerjakan seorang mullato bernama Stephen Bishop yang masih berumur 17 tahun untuk dijadikan budak penjaga gua tersebut.
Dan karena tugasnya, Stephen Bishop dianggap Pemandu Wisata Professional pertama. Mammoth Cave sendiri terdiri dari ratusan lorong (Stephen Bishop menemukan sekitar 222 lorong) dengan panjang 300 mil hingga kini belum selesai ditelusuri dan diteliti. Tahun 1983 oleh usaha International Union of Speleology, Mammoth Cave diakui oleh PBB sebagai salah satu warisan Dunia (World Herritage).
Secara resmi Ilmu Speleologi lahir pada abad ke -19 berkat ketekunan Eduard Alfred Martel. Sewaktu kecil ia sudah mengunjungi Gua Hahn di Belgia dengan ayahnya, seorang ahli Palenteologi, kemudian mengunjungi Gua Pyrenee di Swiss dan Italia. Pada tahun 1888 ia mulai mengenalkan penelusuran Gua dengan peralatan, pada setiap musim panas ia dan teman-temannya mengunjungi Gua-Gua dengan membawa beberapa gerobak penuh peralatan, bahan makanan dan alat Fotografi. Martel membuat pakaian berkantung banyak yang sering disebut Coverall (Wearpack). Kantung itu diisi dengan peluit, batangan magnesium, beberapa lilin besar, korek api, batu api, martil, beberapa pisau, alat pengukur, thermometer, pensil, kompas, buku catatan, kotak P3K, beberapa permen coklat, sebotol rum dan sebuah telepon lapangan yang digendong. System penyelamatannya dengan mengikatkan dirinya kalau naik atau turun dengan tali.
Tahun 1889, Martel menginjakkan kakinya pada kedalaman 233 meter di Sumurun Ranabel, dekat Mersille, Perancis dan selama 45 menit tergantung kedalaman 90 meter. Ia mengukur ketinggian atap dengan balon dari kertas yang digantungi Spoon yang dibasahi Alcohol, begitu spoon dinyalakan balon akan naik ke atas sampai ke atap Gua. Hingga kini Edward Alfred Martel disebut Bapak Speleologi Dunia. Kemudian muncul seperti : Pornier, Jannel, Biret dan baru setelah Perang Dunia I Robert De Jolly Dan Nobert Casteret mampu mengimbangi Martel, Robert De jolly mampu menciptakan peralatan dari Alumanium Alloy, Nobert Casteret orang pertama melakukan Cave Diving pada tahun 1922, dengan menyelami Gua Monthespan yang di dalam Gua itu ditemukan patung-patung dan lukisan bison serta binatangbinatang lainnya dari tanah liat, yang menurut para ahli, itu sebagai acara ritual sebelum diadakan perburuan binatang ditandai adanya bekas-bekas tombak dan panah.
Pada Perang Dunia II, Gua-gua digunakan sebagai tempat pertahanan karena di Gua akan sulit ditembus walaupun menggunakan bom pada waktu itu. Di Indonesia Speleologi mulai berkembang sekitar tahun 1979 dengan berdirinya sebuah klub yang bernama SPECAPINA yang didirikan oleh R.K.T.Ko (Speleogiwan) dan Norman Edwin (Almarhum) bersama beberapa orang lainnya pada waktu itu. Namun karena adanya perbedaan prinsip dari keduanya maka terpecah dan masing-masing mendirikan himpunan / Club Speleologi. Pada tanggal 23 Mei 1983 dr. R.K.T. Ko Mendirikan Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI) / Federation of Indonesian Speleological Activities (FINSPAC) yang kemudian diakui dan tercatat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Organisasi Profesi Ilmiah yang menangani masalah gua dan lingkungannya (Surat Pernyataan LIPI No. 7530/SK/C.10/87) dan pada tahun 1985 menjadi anggota International Union of Speleology (IUS). Sedangkan Norman Edwin (Alm) Mendirikan Garba Bumi, beberapa tahun kemudian mulai bermunculan Club–Club Speleologi dibeberapa daerah di Indonesia.
III. Ruang Lingkup Speleologi
Para peneliti berkesimpulan bahwa hubungan antara lingkungan gelap abadi / dalam gua (disebut Endokarst) dengan dunia diatas permukaan tanah (Eksokarst) sangat erat sekali. Oleh karena itu Speleologi merupakan Ilmu yang didalamnya terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Diantaranya adalah :
Karstologi
Ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kawasan karst.
Geomorfologi Karst
Ilmu yang mempelajari tentang bentukan alam/ permukaan bumi didaerah kawasan karst khususnya.
Hidrologi Karst
Ilmu yang mempelajari tentang tata air/ system aliran bawah tanah/ gua.
Speleogenesis
Ilmu yang mempelajari tentang proses terbentuknya gua.
Biospeleologi
Ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup / Fauna / Biota yang ada didalam gua.
Arkeologi
Ilmu yang mempelajari tentang sejarah, kebudayaan dan peninggalan manusia pada masa lampau.
Mikroklimatologi
Ilmu yang mempelajari tentang fluktuasi suhu dalam gua yang sering minim sekali, baik konstan maupun tidak konstan.
Speleotourism
Ilmu yang mempelajari tentang wisata gua atau pada daerah karst.
IV. Karstologi Dan Geomorfologi Karst
Kurang lebih 70 % gua yang ada didunia terbentuk pada daerah batu gamping yang telah mengalami karstifikasi. Karst adalah daerah yang telah mengalami pelarutan secara kimiawi atau telah mengalami proses karstifikasi. Karst berasal dari kata Krs atau Kras yang berasal dari bahasa Yugoslavia, yang merupakan nama suatu daerah di perbatasan Italia utara dan Yugoslavia, sekitar Timur Laut Kota Trieste, saat ini terletak di Negara Slovenia. Arti Krs atau Kras adalah Bebatuan, karena didaerah itu adalah daerah kawasan batu gamping yang dipermukaannya sangat gersang tanpa ditumbuhi satu pohon sekalipun akibat habis dimakan oleh ternak domba yang dibebaskan berkeliaran tanpa dikandangkan.
Jadi pada awalnya pengertian karst merujuk pada bentang alam. Karst dalam bahasa Jerman dan Inggris disebut Karst, dalam Bahasa Italia disebut Carso dan dalam bahasa Slovenia disebut Kras. Dan sampai saat ini Karst menjadi sebuah istilah untuk daerah-daerah yang telah mengalami pelarutan.
Bentukan alam karst berbeda dengan bentuk alam lainnya (non karst), karena kawasan karst memiliki komponen diatas permukaan tanah atau disebut Eksokarst, dan komponen dibawah tanah yang disebut Endokarst. Fenomena endokarst adalah ruang lingkup ilmu speleologi, oleh karena itu para ilmuwan Karstologi tidak bisa terfokus pada eksokarst saja akan tetapi juga harus pada endokarst juga, karena antara eksokarst dan endokarst adalah dua fenomena yang saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan. Bentuk lahan kawasan karst memiliki karakteristik berupa bentukan negative yang tertutup dengan berbagai ukuran dan susunan, pola drainase yang terputus-putus, gua-gua dan aliran sungai bawah tanah. Bentukan alam permukaan kawasan karst sangat beragam dan tiap daerah memiliki ciri atau bentukan yang berbeda. Ada yang berbentuk seperti menara atau disebut Tower Karst, ada yang berbentuk Cawan Terbalik atau biasa disebut Conical Hill.
Antara bukit-bukit Karst Tower dan Conical bisa terlihat lembah-lembah yang lebar atau sempit. Bukit–bukit tersebut terkadang terpisah oleh suatu dataran yang luas akan tetapi terkadang juga ada yang saling berdempetan dengan bentuk yang simetris atau asimetris dengan tinggi yang relative hampir sama. Kawasan Karst yang belum dijamah oleh manusia (Agraris dan Pertambangan) biasanya masih tertutup Vegetasi yang lebat bahkan bisa tidak terlihat dari kejauhan bahwa daerah tersebut adalah daerah karst. Terkecuali Vegetasi tersebut telah dibabat oleh aktivitas manusia seperti, Pertanian, Pertambangan, Penebangan Liar. Vegetasi kawasan karst juga bisa habis akibat gerakan Gletser yang menerjang kawasan tersebut beberapa juta tahun yang lalu. Akibat dari aktivitas tersebut maka timbullah penggundulan dan pengikisan permukaan karst. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi topografi karst sehingga kawasan karst yang satu dengan yang lainnya bisa berbeda. Adapun perbedaan tersebut ditimbulkan oleh :
Perbedaan litologi atau susunan Batu Gamping. Ada yang tersusun 100 % dari mineral
Kalsit (CaCO3), adapula yang tercampur dengan mineral lain seperti Dolomit (CaMGCO3),
Gypsum (CaSO4.2H2O), Mangan, Aluminium atau kwarsa dll.
Perbedaan Ketebalan lapisan Batu Gamping.
Perbedaan Compactness (Kemampatan).
Perbedaan system celah rekah yang ada sejak terbentuknya lapisan Batu Gamping.
Pengaruh Intensitas curah hujan daerah sekitar.
Pengaruh Jenis Vegetasi yang berbeda.
Pengaruh Manusia yang membongkar Batu Gamping atau menanaminya setelah membabat habis Vegetasi Primer.
Pengaruh titik elevasi kawasan atau ketinggian dari permukaan air laut.
Pengaruh ketebalan lapisan tanah penutup (Top Soil) pada kawasan tersebut.
Pengaruh Tektonisme terhadap bentuk fisik dan system celah rekah.
Beberapa faktor diatas sangat berpengaruh terhadap Intensitas dan kecepatan karstifikasi yang nantinya menjadi suatu Bantuk Lahan Karst (Karst Landform). Bentuk Lahan Karst tersebut ada dua yaitu Bentuk Lahan Mikro dan Makro. Morfologi Makro permukaan Karst meliputi beberapa bentukan negative dengan ukuran meter bahkan sampai kilometer seperti Dolina, Swallow Hole, Sink Hole, Vertical Shaft, Collaps, Cocpit, Polje, Uvala, Dry Valley, dll.
Morfologi Mikro juga biasa disebut Karren (Bahasa Jerman) atau Lapies (Bahasa Prancis) atau juga Grike (Bahasa Inggris). Karren memiliki dimensi yang bervariasi antara 1 – 10 meter sedangkan Mikro Karren berdimensi kurang dari 1 Cm (Ford and William, 1996).
Para peneliti karst mencoba menjelaskan variasi Bentukan/ Type Karst, dan secara umum dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1) Klasifikasi berdasarkan perkembangan (Cvijic).
2) Berdasarkan Morfologi.
3) Klasifikasi berdasarkan Iklim (Sawicki, Lehman, Sweeting).
Cvijic (1914) membagi Topografi Karst dalam 3 kelompok yaitu : Holokarst yaitu dimana Karst dengan perkembangan paling sempurna, baik dari sudut pandang bentuk lahannya maupun Hidrologi bawah permukaannya. Merokarst yaitu Karst yang perkembangannya kurang sempurna, hanya mempunyai sebagian Bentukan Lahan Karst. Karst Transisi yang terbentuk pada Batuan Karbonat yang cukup tebal bahkan sampai Karst Bawah Tanah.
Secara umum bentukan alam Kawasan Karst yang terlihat mencuat keatas permukaan disebut Bentukan Karst Positif ( Positive Karst Landform). Begitu juga sebaliknya, bentuk yang terlihat kedalam bawah permukaan disebut Bentukan Karst Negative (Negative Karst Landform). Negative Karst Landform terlihat seperti cekungan–cekungan berdiamater kecil sampai berdiameter besar (ratusan meter bahkan sampai 1 km) yang disebut sebagai Dolina atau dalam bahasa Inggris disebut Sink Hole atau Closed Depression, bisa terbentuk akibat Runtuhan (Collapse) atau terbentuk akibat pengikisan.
Beberapa Dolina yang berdekatan bisa menyatu dan disebut sebagai Uvala. Tetapi bila Dolina yang saling berdekatan tersebut tidak menyatu dan diantara batas dolina tersebut membentuk bukit-bukit terjal dan sempit maka disebut Cockpit Karst. Dolina yang terbentuk akibat runtuhan dan dibawahnya terdapat aliran sungai yang cukup deras dinamakan Collapse Sinkhole tipe Cvijik, sedangkan yang dasarnya kering / tidak dialiri lagi oleh air dikarenakan berpindahnya lintasan aliran sungai bawah tanah tersebut, maka bentukan seperti itu disebut Collapse Sink Hole type Trebic.
Gambar Dolina / Sink Hole
V. Hidrologi Karst
Sampai saat ini sering terjadi perbedaan pendapat antara pakar Speleologi dengan Geologi dalam hal penyebutan air pada Kawasan Karst, ada yang mengatakan air tanah dan ada yang sepakat bila disebut sebagai Air Karst. Grund (1903) berpendapat bahwa air tanah pada Batu Gamping mempunyai permukaan yang teratur yang berarti didalam lapisan Batu Gamping terdapat adanya pipa-pipa yang saling berhubungan.
Pada fenomena bawah tanah sering kali kita jumpai adanya Aliran Sungai Bawah Tanah yang mengalir seperti halnya sungai-sungai yang ada dipermukaan bumi. Aliran sungai tersebut bisa berasal dari luar gua, yang dimana air permukaan yang berada di luar gua masuk kedalam Swallow Hole (Mulut Telan) dan muncul lagi ditempat yang lain bahkan biasanya sangat jauh dari lokasi Swallow Hole. Tempat keluarnya aliran sungai bawah tanah dikawasan Karst disebut Resurgence atau Karst Spring, jika kita interpretasi melalui Peta Topographi terlihat aliran sungai yang mengalir lalu menghilang/terputus. Aliran tersebut biasa disebut Vadose Stream / Arus Vadose / Sungai Vadose atau disebut juga aliran Allochthonous.
Gambar Swallow Hole
Aliran pada sungai bawah tanah juga bisa berasal dari gua itu sendiri, dimana air yang berada di permukaan Kawasan Karst meresap masuk kedalam Kawasan Karst dan ketika didalam gua menjadi ribuan tetesan yang kemudian tertampung lalu mengalir dan membentuk sebuah aliran sungai. Aliran tersebut biasa disebut Percolation Water atau disebut juga aliran Autochtonous.
Pada umumnya air yang mengalir didalam gua terdiri dari campuran Air Vadose dan Perkolasi. Air Perkolasi dan Air Vadose memiliki perbedaan dari segi kuantitas maupun kwalitas. Air Perkolasi pada umumnya banyak mengandung CaCO3, karena Air Perkolasi meresap dan merembes secara perlahan kedalam gua sehingga mineral pada batu gamping yang didominasi oleh Calsite (CaCO3) lebih banyak terbawa.
Sedangkan Aliran Vadose sangat sedikit mengandung Calsite karena bentuk aliran yang hanya numpang lewat pada sungai bawah tanah sehingga sangat singkat bersinggungan dengan mineral Batu Gamping.
Air Perkolasi juga dapat dilihat dari fluktuasi suhu yang konstan sepanjang hari bahkan sepanjang tahun, sedangkan Air Vadose berfluktuasi dengan suhu diluar gua. Air vadose juga pada umumnya keruh karena material yang berasal dari luar gua ikut hanyut kedalam alirannya seperti Lumpur, pasir dan kerikil. Sedangkan pada aliran Perkolasi cukup jernih karena proses perembesan tadi sehingga air tersebut tersaring pada pori-pori Batu Gamping (Lime Stone). Pada saat turun hujan, gua yang dialiri oleh Air Vadose akan lebih cepat bertambah debitnya dan ketika hujan berenti serentak debit airnya juga menurun sampai level air sebelum hujan. Berbeda dengan Air Perkolasi, ketika diluar gua terjadi hujan lebat, debit air bertambah secara perlahan–lahan tidak secepat aliran Vadose dan ketika hujan berehenti debit air juga akan turun secara perlahan–lahan. Kita dapat menentukan jenis lorong pada gua dari segi Hidrologi. Lorong tersebut dibagi dalam 3 jenis, yaitu : Lorong Fhareatik dimana pada Lorong Fhareatik ini kondisi lorong masih sepenuhnya ditutupi oleh air dan pada umumnya memiliki dinding gua yang relative halus. Pada kondisi lorong seperti ini hanya bisa ditelusuri dengan teknik Cave Diving. Lorong Vadose, yaitu Lorong yang sebagian dari lorong tersebut dialiri air, pada lorong ini pembentukan ornament biasanya baru terbentuk pada bagian atap gua. Lorong Fosile yaitu Lorong yang kering atau sudah tidak dialiri air lagi, kemungkinan adanya perubahan pola aliran air bawah tanah, pada lorong ini pembentukan ornament sudah mencapai nol.
PEMETAAN GUA (CAVE MAPPING)
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
Definisi Pemetaan Gua adalah gambaran perspektif gua yang diproyeksikan keatas bidang datar yang bersifat selektif dan dapat dipertanggung jawabkan secara visual dan matematis dengan menggunakan skala tertentu.
I. Manfaat Peta Gua
1) Merupakan bukti otentik bagi penelusur gua, sebagai penulusuran yang pertama kali menelusuri goa tersebut.
2) Membantu para ahli dalam mempelajari Biospeologi, Hidrologi, Arkeologi ataupun ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan Speleologi.
3) Untuk mencari korelasi dengan goa-goa disekitarnya atau System Perguaan yang ada disekitarnya
4) Untuk memudahkan dalam usaha pertolongan apabila terjadi kecelakaan di dalam gua / Cave Rescue.
5) Untuk kepentingan Pertahanan dan Keamanan Nasional ( HANKAMNAS ).
6) Sebagai data rekaman keadaan gua saat itu ( biasanya dilampiri foto ).
7) untuk memudahkan / menentukan dalam pengembangan obyek wisata gua di bidang pariwisata.
8) Sebagai sumber informasi dalam mendukung kegiatan penelitian ilmiah dan keperluan pelajaran penelusuran gua.
II. Jenis Peta Gua
Peta Gua ada beberapa jenis sesuai dengan metode penggambaran yang kita gunakan. Jenis–jenis peta gua merupakan faktor pendukung untuk memudahkan pembaca
dalam memahaminya. Adapun jenisnya adalah :
1. Plan View / Plan Section, yaitu Peta Gua yang digambarkan dalam bentuk tampak dari atas. Yang ditampilkan adalah bentukan arah lorong gua jika dilihat dari atas sesuai hasil pengukuran dari Kompas.
2. Extended Section, yaitu Peta Gua digambarkan dalam bentuk tampak samping gambar gua digambarkan dalam bentuk memanjang tanpa proyeksi, yang terlihat hanya perubahan sudut Elevasi Gua/Sudut Kemiringan/Keterjalan Lorong sesuai hasil pengukuran Klinometer.
3. Projected Section / Projected Elevation, yaitu Peta Gua yang digambar dalam bentuk tampak samping akan tetapi diproyeksikan dengan Plan Section/Tampak Atas.
4. Cross Section, yaitu Gambar Peta Gua yang digambar dalam bentuk tampak depan. Cross Section biasanya berupa sayatan dari Plan Section.
5. Peta Gua 3 Dimensi (3D) Perspektif, adalah Gambar Peta secara visual mendekati dengan kenyataan sesunguhnya. Stasiun dan detailnya mengunakan sumbu X, Y, dan Z. sumbu X dan Y, untuk menentukan koordinat stasiun pada bidang datar. Sumbu Z untuk menentukan posisi stasiun berdasarkan elevasinya terhadap titrik 0.
III. Peralatan Pemetaan Gua
1) Kompas
Untuk mengukur azimuth lorong gua atau mengukur besar derajat perbedaan antara lorong gua / jalan terhadap arah sumbu utara.
Gambar Kompas Suunto KB-14
2) Klinometer
Digunakan untuk mengukur beda tinggi elevasi lorong gua / kemiringan lorong gua pada tiap stasiun pemetaan.
Gambar Klinometer Suunto PM-5
3) Topofil
Topofil mempunyai fungsi yang sama dengan Pita Ukur, tapi topofil bekerja berdasarkan roda yang berputar dan menggerakkan angka-angka dalam satuan centimeter. Sedangkan berputarnya roda topofil dikarenakan benang yang dililitkan pada roda tersebut dan ditarik kemudian roda akan menggerakkan angka–angka penunjuk.
Gambar Konstruksi Topofil
4) Pita Ukur
Pita ukur digunakan untuk mengukur panjang lorong gua, biasanya terbuat dari plat baja tipis atau terbuat dari serat kaca (Fiber Glass).
Gambar Roll Meter
5) Alat Tulis Menulis
Berupa Kertas anti air (Kodaktris) atau bisa menggunakan transparant paper, pensil / ballpoint maker, papan pengalas (agar tidak menulitkan kita pada saat menulis), penghapus. Kesemuanya digunakan untuk mencatat hasil pengukuran di dalam gua, sketsa gua, diskripsi gua dan hal–hal lain yang perlu didata.
IV. Tingkat Keakuratan / Grade Pemetaan
Grade Pemetaan gua adalah tingkat keakuratan atau ketelitian peta. Yang sering digunakan adalah tingkat ketelitian menurut BCRA (British Cave Research Association) yang membagi beberapa tingkatan yaitu :
1. Grade 1
Gambar/Sketsa Kasar tanpa skala yang benar dan dibuat diluar gua dengan dasar ingatan dari sipembuat terhadap lorong–lorong yang digambar.
2. Grade 2
Peta dibuat dalam gua tanpa skala yang benar dan tanpa menggunakan alat ukur apapun, hanya bedasarkan perkiraan.
3. Grade 3
Sketsa dibuat dalam goa dengan menggunakan bantuan Kompas dan Tali yang ditandai tiap-tiap meternya memiliki ketelitian pengukuran satuan 2,5° posisi stasiun per 5 m, dilakukan jika waktu sangat terbatas, penggunaan Klinometer sangat dianjurkan.
4. Grade 4
Pengukuran telah menggunakan kompas serta Meteran atau Topofil. Dapat digunakan jika diperlukan, untuk menggambarkan survey tidak sampai ke Grade 5, tetapi lebih akurat dari Grade 3.
5. Grade 5
Pengukuran Dengan Kompas Prismatic dan Klinometer dengan kesalahan ukur 0,5°, pita ukur Fiber Glass dengan kesalahan ukur < dari 10 cm. Instrument dikalibrasikan terlebih dahulu, Centre Line dianjurkan disurvey menggunakan Leap Frog Methode.
6. Grade 6
Pada dasarnya sama dengan Grade 5 akan tetapi pada Grade ini Kompas dan Klinometernya menggunakan Tripod sehingga pada waktu melakukan pengukuran posisi alat tidak bergerak.
7. Grade X
Pada Grade ini menggunakan Pesawat Ukur Theodolit dan Pita Ukur Metallic. Akan tetapi grade ini sangat jarang digunakan dikarenakan peralatan yang kurang efisien jika menggunakan Theodolit dalam pemetaan gua karena kondisi lorong gua yang memiliki macam – macam variasi bentukan lorong sehingga alat ini juga cukup riskan jika digunakan didalam gua terutapa pada lorong–lorong yang sempit.
Selain membuat macam–macam tingkat ketelitian (Grade) peta gua, BCRA juga membuat klasifikasi perincian survey, yaitu :
Class A : Semua detail lorong dibuat diluar kepala
Class B : Detail lorong diestimasi dan dicatat dalam gua
Class C : Detail lorong diukur pada tiap stasiun survey
Class D : Detail lorong diukur pada tiap stasiun survey dan diantara stasiun survey.
V. Survey Dan Pengambilan Data
1. Methode Arah Survey
Dalam Pemetaan Gua ada macam Metode Arah Survey, Yaitu :
Forward Methode
Dimana pembaca alat dan pencatat berada pada stasiun 1 (pertama) dan pointer (target) berada pada stasiun 2 (kedua), setelah pembacaan alat selesai pointer maju ke stasiun selanjutnya yang telah ditentukan oleh leader dan pembaca alat maju tepat pada posisi pointer tanpa merubah titik stasiun tempat berdiri pointer sebelumnya, begitu seterusnya.
Gambar Metode Arah Survey Foward
Leap Frog Methode
Pada metode ini pembaca alat berada pada stasiun kedua sedangkan pointer pada stasiun pertama, setelah pembacaan alat selesai pointer maju langsung menuju stasiun ketiga sedang pembaca alat tetap pada stasiun kedua dan melakukan pembacaan alat lagi, setelah pembacaan selesai pembaca alat langsung menuju stasiun keempat dan melakukan pembacaan alat lagi dengan sasaran stasiun tiga, begitu seterusnya. Keuntungan menggunakan methode ini adalah lebih akurat dan cepat hanya saja dalam pengolahan datanya kita harus berhati–hati.
Pointer
Compassman
Gambar Metode Arah Survey Leap Frog
2. Arah Survey (Pengambilan Data)
Top to Bottom
Pengukuran dimulai dari Etrance gua dan berakhir pada ujung lorong gua atau akhir dari lorong gua tersebut.
Bottom to Top
Adalah kebalikan dari Top to Bottom yaitu pengukuran dimulai dari ujung lorong sampai pada entrance gua.
3. Metode Pengukuran Chamber
Dalam Melakukan Survey Pemetaan biasanya kita menemukan lorong–lorong yang besar atau biasa kita sebut aula gua atau Chamber. Karena ukuran chamber yang cukup luas biasanya membuat kita bingung atau kewalahan dalam melakukan pengukuran, untuk itu ada beberapa cara malakukan pengukuran pada chamber untuk mempermudah kinerja tim dan menghasilkan data yang akurat. Adapun cara–cara tersebut yaitu :
Polygon Tetutup
Polygon Terbuka
Offset Methode
Gambar Metode Pengukuran Chamber
4. Penentuan Titik Stasiun
Penentuan Titik Stasiun pada pemetaan gua sebenarnya merupakan salah satu faktor keakuratan peta gua tersebut. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan titik stasiun pemetaan, antara lain yaitu :
Perubahan Arah Lorong Gua.
Perubahan extrim bentuk lorong.
Batas Pengukuran < 30 m.
Perubahan Sudut Elevasi Lorong yang extrim misalkan : Pitch atau Slope.
Temuan-temuan Penting Seperti : Ornamen Khusus, Biota, Litologi Khusus, dan Sebagainya
5. Organisasi Tim Survey
Dalam kegiatan Pemetaan Gua idealnya terdiri dari 5 orang dalam tim pemetaan yang dimana masing-masing anggota memiliki tugas masing–masing, yaitu :
Orang Pertama : Sebagai pembaca alat ukur seperti Kompas, Klinometer, dan Meteran/Roll Meter.
Orang Kedua :
Sebagai Pointer / target yang dimana orang ini membawa ujung meteran dan memegang titik / point (biasanya berupa Senter/ Headlamp) yang nantinya menjadi sasaran bidikan Kompas dan Klinometer yang dipegang oleh orang pertama. Orang pertama dan orang kedua diharuskan memiliki tinggi badan yang sama guna mengurangi kesalahan pada pengukuran elevasi lorong gua.
Orang Ketiga : Sebagai pencatan data pengukuran.
Orang Keempat :
Sebagai Diskriptor, Pembuat sketsa lorong (Plan Section, Extended Section dan Cross Section).
Orang Kelima :
Sebagai Leader yang menentukan titik stasiun dan pemasang lintasan pada gua vertical.
Pekerjaan yang cukup sulit adalah menjadi diskriptor karena efesiensi waktu, segala detail data dan rekaman data terletak pada posisi ini. Seorang diskriptor yang berpengalaman dapat mengetahui apabila terjadi dalam pembacaan kompas dan klinometer. Oleh karena itu yang ditugaskan menjadi seorang diskriptor adalah orang yang mampu merekam dan menuangkan situasi gua yang disurvey dalamworksheet dengan jelas dan lengkap sehingga tidak menyulitkan anggota tim yang lain pada saat penggambaran peta gua.
6. Pengambilan Data Lapangan
Dalam pengambilan data dilapangan kita cukup mengisi table data yang telah kita siapkan sebelumnya.
Contoh Worksheet Pengambilan Data Lapangan
Keterangan :
From : Nama Stasiun Awal
To : Nama Stasiun Akhir
L ( m ) : Jarak Tiap Stasiun
@ ( ° ) : Besar Azimuth Lorong/Besar Sudut Kompas
B ( ° ) : Besar Sudut Elevasi/Besar Sudut Yang dihasilkan Oleh Klinometer
Kiri : Jarak Dari Stasiun Ke Dinding Kiri Gua
Kanan : Jarak Dari Stasiun Ke Dinding Kanan Gua
Atas : Jarak Dari Stasiun/Point Ke Plafon Gua
Bawah : Jarak Dari Stasiun/Point Ke Lantai Gua
Dalam pengambilan data dilapangan ada beberapa hal yang mempengaruhi keakuratan data yang kita ambil, seperti :
Adanya Medan Magnet atau benda lain yang mengandung unsur magnet yang ada didekat Compasmen Seperti : Headlamp yang menggunakan magnet pada bagian belakangnya, Jam Tangan, Carabiner dan unsur logam lainnya)
Kesalahan pada saat mengimput data Klinometer, biasanya penempatan positif dan negatifnya
Kesalahan Pembacaan Klinometer (pada klino Suunto terdapat dua satuan yang dapat digunakan yaitu Derajat dan Persen)
Kesalahan Pengimputan angka pada kolom (biasanya terjadi pengimputan data terbalik, data klinometer diimput dikolom Kompas sedangkan kompas di input kedalam kolom klinometer)
Posisi stasiun yang bergeser
Penggunaan satuan, biasanya pada pembacaan ukuran jarak sering terjadi perubahan pembacaan satuan seperti meter berubah menjadi centimeter akan tetapi tidak diberikan keterangan pada saat terjadi perubahan pembacaan.
Tidak Melakukan kalibrasi alat ukur sebelum melakukan pemetaan
VI. Pengolahan Data Lapangan Dan Penggambaran Peta Gua
1. Pengolahan Data
Dalam pengolahan data gua kita tinggal mengimput data-data yang kita ambil dilapangan kedalam tabel
Contoh Tabel Pengolahan Data Gua
Keterangan :
D=L*Cos : Jarak Miring
∑D : Hasil Penjumlahan Silang antara FD Awal dengan Jumlah D Pada Stasiun Sebelumnya
H=D*Sin : Beda Elevasi
∑H : Hasil Penjumlahan Silang Antara FH Awal dengan Jumlah H Pada Stasiun Sebelumnya
X=D*Sin : Absis
EX : Hasil Penjumlahan Silang Antara FX Awal dengan Jumlah X Pada Stasiun Sebelumnya
Y=D*Cos : Ordinat
EY : Hasil Penjumlahan Silang Antara FY Awal dengan Jumlah Y Pada Stasiun Sebelumnya
2. Penentuan Skala Dan Arah Utara Peta
Skala Peta
Skala adalah perbandingan antara jarak sebenarnya dengan jarak yang ada dipeta, dalam hal ini disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan survey. Untuk kepentingan exploitasi dan ilmiah yang digunakan adalah skala besar (biasanya kurang dari 1 : 250) agar tampilan detail peta dapat terlihat dengan jelas. Akan tetapi biasanya para surveyor menentukan skala sesuai dengan besar ukuran kertas yang mereka guanakan untuk pengambaran peta, biasanya ,maksimal ukuran A0 (1,189 x 0,841).
Orientasi Peta
Arah utara ada tiga macam :
1) Arah Utara Magnetic/ North Magnetic ( NM ) G Ditunjukkan oleh Utara Jarum Kompas.
2) Arah Utara Sebenarnya/ True North ( TN ) G Sesuai dengan sumbu bumi.
3) Arah Utara Pete/ Grid North ( GN ) G Sesuai dengan Sumbu Y.
Arah utara pada peta gua tidak harus selalu dibagian atas kertas akan tetapi dapat disesuaikan dengan efesiensi penggunaan kertas.
3. Penggambaran Peta
Dalam peta gua biasanya ada beberapa jenis peta gua yang digambar seperti Peta Gua Tampak Atas/ Plan Section, Peta Gua Tampak Samping/ Extended Section dan sebagainya. Adapun dalam penggambarannya sebagai berikut :
Penggambaran Plan Section
Dalam Penggambaran Plan Section atau Peta Gua tampak Atas kita lakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Penetuan Titik Koordinat Center Line
Mulanya kita tentukan dulu Center Line, Center Line adalah letak/ posisi tiap stasiun pemetaan sesuai dilapangan. Dalam penentuan stasiun kita menggunakan Diagram / Koordinat Polar atau Koordinat Cartesius
Koordinat Polar
Penggunaan Diagram Polar sangat sederhana dan cepat hanya saja apabila terjadi kesalahan adalah kesalahan akumulatif, kesalahan akan bertambah besar dengan bertambahnya stasiun. Dalam ploting Center Line pada ini kita membutuhkan busur derajat atau protactor dengan penggaris. Pada penggunaan diagram ini kita tentukan dulu arah utaranya. Dalam penentuan titik stasiun ditentukan oleh besar sudut kompas yang ada didata, dengan acuan 0 ° adalah utara yang telah kita buat sebelumnya. Disarankan untuk menggunakan millimeter block atau kertas grafik untuk meminimalisir kesalahan.
Gambar Dengan Menggunakan Koordinat Polar
Koordinat Cartesius
Penggambaran dengan menggunakan Koordinat Cartesius adalah yang direkomendasikan oleh BCRA untuk dipakai pada penggambaran Grade 5. Dalam penggambaran ini kita menggunakan hasil EX dan EY untuk menentukan plot stasiun pada Plan Section sedangkan ED dan EH untuk plot stasiun pada extended section. Dalam penggambarannya menggunakan kertas Grafik/ Milimeter Block untuk memudahkan dalam penggambaran. Contoh : pada stasiun 1 X = 2, Y = 1 ; Stasiun 2 X = 3, Y = 3 ; Stasiun 3 X = 4, Y = 4 ; Stasiun 4 X = 2, Y = 7 ; Stasiun 5 X = -1 Y = 9 ; Stasiun 6 X = -2, Y = 12.
Gambar Dengan Menggunakan Koordinat Cartesius
b. Penentuan Titik Jarak Dinding Kiri dan Kanan Gua
Setelah kita selesai memploting Center Line selanjutnya kita membuat dinding-dinding gua dengan cara memplot titik-titik dinding gua pada tiap stasiun dengan menggunakan hasil yang terdapat pada table dinding kiri dan kanan yang sudah diskalakan. Kemudian titik-plot dinding kiri kanan tersebut dihubungkan dengan mengikuti bentuk lekukan dinding gua yang ada pada sketsa gua.
c. Simbol Pada Peta
Setelah Peta selesai digambar kemudian kita memasukkan symbol-symbol pada peta (Ornamen, Litologi, Hidrologi, Biota Gua).
Penggambaran Extended Section
Penggambaran Extended Section dapat dilakukan dengan dua cara seperti pada penggambaran Plan Section. Untuk Koordinat Polar yang digunakan adalah hasil pengukuran Klinometer ( L ) dan jarak miring ( D ). Jika menggunakan Koordinat Kartesius maka yang digunakan adalah hasil dari ED dan EH dan hasil tersebut sudah kita skalakan. Untuk penggambaran atap gua yang diambil adalah angka/ukuran dari titik stasiun keatap gua (Atas) sedangkan lantai gua dari titik stasiun ke lantai gua (Bawah).
Penggambaran Cross Section
Adalah penampang melintang gua, penggambarannya dilakukan dengan menggunakan hasil dari pengukuran dinding kiri, kanan, atap dan lantai gua.
Penggambaran Project Section
Penggambaran Project Section dilakukan dengan memproyeksikan gambar plan section dengan elevasi sesuai hasil FH.
4. Kelengkapan Peta
Untuk memudahkan orang lain dalam memahami peta yang kita buat maka ada beberapa kelengkapan peta yang harus kita cantumkan pada peta tersebut, diantaranya :
1) Nama Gua
2) Letak Administratif Gua
3) Waktu Pembuatan/Pemetaan (Tanggal, Bulan Dan Tahun)
4) Tinggi Elevasi Mulut gua dari Permukaan Laut
5) Panjang Gua dan Kedalaman Gua
6) Lagenda
7) Skala Peta
8) Utara Peta
TEKNIK PENELUSURAN GOA HORIZONTAL
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
Teknik menelusuri Gua Horizontal sangat ditentukan oleh jenis lorong gua. Dibawah ini beberapa teknik menelusuri Gua Horizontal dengan berbagai jenis lorong yaitu :
I. Lorong Fosil
Lorong Gua Kering yang tidak ada lagi aliran air yang mengalir pada lorong gua. Pada jenis lorong ini bisa ditelusuri dengan berjalan kaki biasa, membungkuk, jalan jongkok, merayap, dan melata. Semua ini sangat tergantung dari kondisi lorongnya. Untuk kondisi lorong gua yang lumpurnya sangat tebal, dilewati dengan cara seperti berenang. Karena kalau berjalan biasa kaki akan tertahan dilumpur dan agak susah dilepaskan.
Gambar Lorong Fosil
Pada lorong gua yang terjal berhati hatilah melewatinya. Untuk kemiringan yang sangat terjal lakukan dengan memanjat bebas jika itu tidak begitu berbahaya. Untuk rekahan atau diantara dua dinding yang berdekatan dapat dipanjat dengan teknik Chimneying dan Bridging
Gambar Teknik Bridging dan Chimneying
II. Lorong Vadose
Lorong dimana sebahagian dari lorongnya dialiri oleh air. Hati hati memasuki gua yang berlorong Vadose karena banyak kecelakaan dalam gua yang terjadi pada jenis lorong ini. Hindari mamasuki gua ini pada musim hujan atau curah hujan tinggi. Perhatikan setiap saat level air. Kalau ada perubahan ketinggian air secara tiba tiba segeralah mencari tempat yang tinggi didalam gua.
Melewati Lorong Gua Vadose sebaiknya menggunakan pelampung. Untuk lorong yang kedalaman air tidak terlalu tinggi dan arus tidak begitu deras dapat dilewati dengan berjalan biasa sambil mencari pegangan pada dinding gua. Pada lorong gua yang jarak antara pemukaan air dan atap gua hanya sebatas ukuran kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Teknik Ducking, yaitu dengan cara kepala menengadah keatas. Untuk lorong gua yang airnya dalam dan panjang sebaiknya menggunakan perahu karet.
Gambar Penggunaan Perahu Karet
Kadang kala juga kita harus menyeberangi sungai dalam gua yang deras. Untuk menyeberanginya sebaiknya menggunakan pelampung dan dibelay oleh rekan yang lain. Lihat gambar dibawah :
Gambar Menyeberangi Sungai Yang Deras
III. Lorong Fhareatic
Lorong Gua yang seluruh bagian lorong gua tertutup oleh air. Untuk memasuki lorong gua ini dilakukan dengan Teknik Cave Diving.
TEKNIK PENELUSURAN GOA VERTIKAL
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
I. Teknik-Teknik Penelusuran Goa Vertikal
1.1 Single Rope Teknik (SRT)
Teknik penelusuran gua vertical tidak terlepas dari sebuah teknik yang dinamakan Single Rope Teknik (SRT), yaitu teknik menuruni gua vertical dengan menggunakan satu tali atau tali tunggal. Teknik ini bermacam macam model tergantung dimana teknik itu ditemukan dan berkembang. Secara umum teknik SRT terbagi tiga yaitu Sit and Stand Teknik antara lain Frog Sistem dan Texas Sistem, Rope Walking Teknik antara lain : 3 Gibbs Ropewalker System, Mitchell System, A Foating Cam System, Jumar System, Frog-Floating Cam System dan perpaduan sit and stand dan rope walking contohnya penggunaan pantin dikaki pada frog system. Tetapi kita hanya akan membahas teknik Frog system karena teknik inilah yang banyak digunakan terutama di Indonesia.
Frog System mempunyai kelebihan lebih simple, ringan dan mudah digunakan dibandingkan dengan beberapa teknik yang lain. Meskipun lebih lambat dibandingkan dengan teknik Rope Walking tetapi untuk kondisi dalam gua tidak terlalu dibutuhkan kecepatan dalam memanjat tali karena medan gua yang terkadang sempit, berair atau berlumpur, rawan batu terjatuh, ini memerlukan kehati-hatian. Dibawah ini model instalasi Frog System:
Gambar Instalasi Frog System
1.2 Rappelling (Descending / Abseiling)
Teknik menuruni tali dengan menggunakan peralatan Descender. Umumnya peralatan yang digunakan adalah Bobbins (Capstand) jenis Simple atau Autostop. Kemudian menambahkan carabiner Non Screw untuk menambah friksi pada tali agar lebih mudah mengontrol laju dan merubah arah tarikan tali kesamping atau keatas.
Dibawah ini tahapan ketika akan melakukan rappelling.
1) Memasang Descender
Pasang cowstail pada carabiner anchor atau pada tali diantara main anchor dan back up anchor. Kemudian buka pintu descender lalu lilitkan tali sesuai dengan gambar yang tertera pada alat. Kencangkan tali dengan menarik tali sekuat kuatnya dan masukan tali pada carabiner friksi. Lihat gambar dibawah :
Gambar Pemasangan Descender
2) Mengontrol Laju
Pada saat melakukan Rappelling, yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengontrol laju atau kecepatan turun.
Gambar Pengontrol Laju
3) Mengunci Descender
Mengunci dilakukan pada saat akan memasang anchor, beristirahat ditali dan kadang- kadang pada saat melewati Intermediate ,sebelum memulai Rappelling atau situasi lain yang mengharuskan kita mengunci descender. Lihat gambar dibawah :
Gambar Teknik Mengunci Descender
4) Melewati Intermediete
Yang harus dilakukan untuk melewati intermediate adalah,
a. Pelankan laju ketika mendekati Intermediate dan berhenti setelah posisi kita sejajar dengan Anchor.
b. Cantolkan Cowstail Pendek pada Carabiner Anchor, dan kalau diperlukan kunci Desceder terlebih dahulu.
c. Lanjutkan atau turunkan Descender sampai posisi badan tergantung pada Cowstail Pendek.
d. Lepaskan tali dari Descender, kemudian ambil tali dibawah Anchor, pasang kembali Descender. Untuk tetap dua pengaman jangan lepaskan Carabiner Friksi sebelum Descender berpindah ketali dibawah anchor atau memasang Jammer sebagai pengaman (kalau diperlukan).
e. Setelah itu lepaskan Cowstail Pendek dengan menginjak pijakan pada dinding gua atau menginjak Loop Intermediate dan lanjutkan Rappelling.
Gambar Teknik Melewati Intermediete
5) Melewati Sambungan Tali
a. Turun hingga Descender sampai kesimpul dengan terlebih dulu melepaskan Carabiner Friksi.
b. Pasang dan tempatkan posisi Ascender dari Carabiner Cowstail Pendek, ketika ditegangkan keatas dengan bagian atas Ascender berjarak sekitar 10 Cm.
c. Lepaskan Cowstail Panjang dari Ascender lalu cantolkan ke Loop Simpul sambungan tali.
d. Injak Foot Loop, berdiri dan pasang cowstail pendek di tali tepat bagian atas kepala Ascender.
e. Duduk dan beban akan berpindah ke Cowstail Pendek
f. Lepaskan Descender dari tali, dan pasang kembali ke tali bagian bawah simpul sambungan tail dan dikunci.
g. Berdiri dengan menginjak Foot Loop, lepaskan Cowstail Pendek dan beban akan berpindah ke Descender.
h. Lepaskan Ascender dan Cowstail Panjang dari Loop Simpul sambungan tali.
i. Lanjutkan Rappelling.
Gambar Teknik Melewati Sambungan Tali
6) Melewati Deviasi
Tekniknya lebih mudah melakukannya. Dengan cara :
a. Rappelling sampai Descender melewati atau berada sedikit dibawah posisi Anchor.
b. Cantolkan Cowstail Pendek pada carabiner deviasi dibagian dalam tali, supaya mudah melepaskan tali dari Carabiner Deviasi (lakukan langkah ini bila diperlukan)
c. Lepaskan tali dari Carabiner deviasi lalu kaitkan pada tali bagian atas Descender.
d. Lanjutkan Rappelling.
1.3 Ascending
Meniti tali keatas dengan menggunakan dua alat Ascender. Untuk Teknik Frog System menggunakan Jammer atau Basic Jammer pada bagian atas yang didorong dengan tangan dan menggunakan Croll (Chest Ascender) yang dipasang didada. Sebelum memulai meniti tali harus memperhatikan pemasangan alat yang benar. Pemasangan Croll harus benar-benar rapat kebadan, agar supaya pada saat naik Croll tetap tegak lurus yang memudahkan melewati tali. Untuk mendapatkan ikatan Chest Harness yang pas, sebaiknya memasangnya dengan sambil membungkuk atau mengencangkannya kembali setelah Croll terpasang ditali.
Gambar Teknik Melewati Sambungan Tali
Diawal kita melakukan Ascending kadang kala Croll masih susah melewati tali. Terutama kalau tali berlumpur atau agak besar diameternya. Kalau mendapatkan kondisi seperti itu, ketika berdiri tali dibawah Croll harus ditarik. Lakukan hal berkali kali hingga pada ketiggian idial, berat tali akan dapat menarik sendiri dan Croll dapat melewati tali. Bagi para pemula paling sering mengalami masalah ini, karena belum mendapatkan cara berdiri yang benar. Pada saat berdiri badan harus tegak lurus keatas dengan menempatkan posisi kaki tepat dibawah pantat. Hindarkan posisi kaki keluar atau condong kedepan pada saat berdiri. Hal yang juga dapat dilakukan yaitu dengan cara menjepit tali dengan menggunakan dua kaki. Ini lebih muda dilakukan apabila kita menggunakan Foot Loop yang menggunakan dua loop.
1) Ascending Melewati Intermedite
Dibawah ini cara melewati Intermediate :
a. Berhenti mendorong Ascender bila telah sampai pada simpul anchor dan sisakan jarak antara simpul dengan Ascender sepanjang 2-3 cm. karena kalau mentok di simpul bisa menyebabkan Ascender susah dilepaskan.
b. Cantolkan Cowstail Pendek pada Carabiner Anchor lalu lepaskan Croll dan langsung pasang pada tali yang keatas. kemudian lepaskan juga Ascender lalu pasang ketali yang keatas.
c. Lakukan ascending hingga mendapatkan posisi yang mudah melepaskan Cowstail.
d. Lanjutkan Ascending setelah melepaskan Cowstail.
Gambar Ascending Melewati Intermedite
Perhatikan posisi carabiner setelah melewati intermediate karena kadang kala akan mengalami perubahan posisi. Berbahaya apabila posisi carabiner berputar dan mendapatkan pembebanan yang tidak sebagai mana mestinya, seperti posisi horizontal bukan pembebanan yang vertical. Kalau mendapatkan hal seperti ini kembalikanlah posisi carabiner seperti sebelumnya atau pada pemasangan yang benar.
2) Ascending Melewati Sambungan Tali
Teknik melewati sambungan tali yaitu:
a. Pasang Cowstail pendek pada Loop Simpul sambungan tali apabila ascender telah sampai dekat simpul.
b. Pindahkan Ascender ke tali diatas simpul.
c. Injak Foot Loop dan berdiri sambil melepaskan Croll, lalu pasang Croll pada tali diatas simpul.
d. Lanjutkan melakukan Ascending.
Gambar Ascending Melewati Intermedite
II. RIGGING
Rigging atau teknik pemasangan lintasan pada Gua Vertical. harus memenuhi standar dibawah ini:
Aman.
2. Bisa dilewati semua anggota tim.
3. Tidak merusak Peralatan.
4. Siap digunakan untuk keadaan emergenci atau Lintasan Rescue.
Selain itu pemasangan lintasan juga harus memenuhi syarat atau aturan aturan khusus, seperti:
Hindarkan tali friksi dengan batu dan jauhkan dari lintasan air.
Mempunyai dua Anchor pada mulut gua yaitu Main Anchor dan Back Up Anchor.
Tempatkan titik anchor dimana tali bisa bergantung bebas.
Gunakan Deviasi, Intermedit atau Rope Protection untuk menghindarkan friksi tali.
Jangan melempar tali langsung kebawah tetapi masukkanlah kedalam Rope Bag dan digantung pada pemasang lintasan karena akan menyebabkan tali kusut dan tersangkut atau pemasang lintasan akan berat menarik tali ketika akan memasang Descender.
Apabila diperlukan gunakan Absorbing Knot atau Simpul Peredam Kejut antara main Anchor dengan Back Up Anchor dengan membuat simpul kupu-kupu.. Gunanya apabila Main Anchor terlepas absorbing knot akan meredam beban kejut sehingga akan mengurangi sentakan yang akan diterima oleh Back Up Anchor.
Berhati hatilah menggunakan natural anchor seperti stalagmite atau batuan yang tidak terlalu menyatu dengan dinding gua karena akan gampang pecah.
Pasang dua back up anchor apabila yang satu terlalu jauh dari main anchor. Ini bertujuan untuk menghindarkan caver berayun terlalu jauh ketika akan Rappelling.
Buatlah Y anchor untuk menambah kekuatan anchor. Perhatikanlah sudutnya, maksimalnya 120° dan idealnya 90°.
Perhatikanlah kemana arahnya tali apabila Main Anchor terlepas. Ketika beban tali berpindah ke Back Up Anchor , tali tidak mengalami friksi pada batu tajam yang dapat memotong tali.
Buatlah deviasi dan intermediate yang standar. Pemasangan deviasi yang terlalu jauh akan berakibat ketika melewatinya setelah melepas carabiner, akan sulit memasangnya kembali. Untuk melewati intermediate dibutuhkan panjang loop atau pendulum maksimal 2 meter.
Pastikan posisi anchor mudah diakses agar supaya caver dapat mudah memasang Cowstail pada Carabiner Anchor.
III. ANCHOR
Ada banyak jenis anchor yang dapat digunakan, baik itu yang tersedia di alam atau di dalam gua maupun yang sifatnya artificial. Memilih anchor atau memasang anchor haruslah hati hati, pilihlah anchor yang kuat terutama untuk natural anchor dengan pemasangan yang benar. Perhatikanlah arah tarikan tali yang tepat dan pembebanan anchor yang benar. Untuk anchor yang tidak begitu meyakinkan kekuatannya, terutama ornament gua lobang tembus yang tipis sebaiknya digunakan untuk deviasi saja. Dibawah ini beberapa jenis anchor yaitu :
4.1. Natural Anchor (Tambatan Alam)
a. Pohon. Yang harus diperhatikan untuk anchor ini adalah jenis pohon, tempat tumbuh, posisi tumbuh maupun kondisi dari pohon tersebut. Pohon yang tumbuh diatas batu gamping biasanya cukup kuat karena akarnya masuk kedalam atau menembus batuan. Besar kecil pohonnya juga harus diperhatikan.
Gambar Natural Anchor Pohon
b. Boulder (Bongkahan Batu). ini juga bisa digunakan sebagai anchor, asalkan ukurannya besar dan tidak akan bergeser apabila dibebani. Posisi boulder yang menumpuk biasanya lebih kuat karena boulder yang satu dengan yang lainnya saling menahan.
Gambar Natural Anchor Boulder
c. Lubang Tembus. Lubang tembus bisa terdapat pada dinding, lantai maupun atap goa. Bentuknya bisa horizontal atau vertical. Sebelum menggunakannya kita harus memeriksa kekerasan batuan, ketebalan dan keutuhan batuannya.
Gambar Natural Anchor Lubang Tembus
d. Flake (Lapisan Batuan). Anchor ini biasanya kita temukan pada dinding gua, yaitu berupa lapisan batuan yang menonjol kesamping.
e. Rekahan, celah yang terbentuk dari pengikisan lapisan (horizontal) maupun crek (vertikal). Untuk jenis ini kita menggunakan pengamana sisip maupun paku tebing. Bentuk celah, jenis celah, lebar celah arah penyepitan celah kondisi, permukaan bidang yang akan digunakan dan arah tarikan yang diinginkan harus diperhitungkan.
Gambar Natural Anchor Lubang Rekahan
f. Chock Stone, batu yang terjepit pada celah sehingga berfungsi seperti pengaman sisip, atau biasa disebut chock. Sebelum digunakan terlebih dahulu periksa celah dan batu yang terjepit. Untuk celah harus diperhatikan pada bentuk celah, jenis celah, lebar celah, arah penyempitan celah dan kondisi permukaan bidang (bidang friksi, kekerasan pelapis). Untuk batu yang terjepit periksa jenis dan keadaan dari bentuk dan posisi terjepitnya. Setelah itu kita tentukan arah tarikan yang akan dibuat lalu perhatikan posisi peletakan webbing pengikatnya.
Gambar Natural Anchor Chock Stone
g. Tanduk (Horn), jenis ini berupa pinggira dinding yang menonjol hasil dari air. Bentuk tonjolan harus selalu diperhatikan untuk menentukan tarikan dan teknik pemasangan webbingnya.
Gambar Natural Anchor Tanduk (Horn)
h. Ornament, biasanya hanya digunakan untuk mendapat beban horisontal (Deviasi), karena ornament ini hanya menempel pada lantai tumbuhnya. Jenis anchor ini jarang digunakan karena praktis merusak pertumbuhannya.
4.2. Artificial Anchor (Anchor buatan)
pada pembuatan lintasan apabila sudah mendapatkan atau menemukan natural anchor yang layak digunakan maka satu-satunya cara adalah menggunakan anchor buatan, antara lain:
a. Nut (Pengaman Sisip).
Alat ini biasa juga disebut dengan pengaman sisip. Ada banyak jenis alat ini dan juga dibedakan dengan beberapa ukuran. Untuk kegiatan caving sebaiknya digunakan yang ukuran besar dan harus digunakan dengan benar. Haxentric Roc (wedge) Stopper
Gambar Nut (Pengaman Sisip)
b. Piton (Paku Tebing).
Untuk memasang piton haruslah ada rekahan pada dinding baik yang horizontal maupun yang vertical.
Gambar Pemasangan Piton
c. Bolts / Spit (Mata Bor) Dan Hanger
Gambar Bolts (Mata Bor) & Hanger
Berdasarkan posisi dan urutan penerimaan beban maka anchor dibagi atas :
1) Main Anchor, anchor utama, yaitu anchor yang secara langsung mendapatkan beban saat lintasan digunakan
2) Back-Up, berfungsi sebagai cadangan jika main anchor terlepas atau jebol, jumlah anchor ini bisa lebih dari satu, dan nilai kekuatannya harus lebih besar dari main anchor.
Penempatan posisi Back-Up harus tetap memperhatikan keamanan tali dari friksi dan kerusakan lainnya ketika main anchor jebol.
IV. TAHAPAN RIGGING
4.1. Packing Tali
Sebelum memulai melakukan rigging tali harus dimasukkan kedalam Rope Bag (tas tempat tali), yang sebelumnya ujung tali disimpul dengan menggunakan simpul delapan. Dibawah ini cara memasukkan tali kedalam rope bag :
Gambar Packing Tali
4.2. Mendekati Mulut Gua
Amati kondisi mulut gua. Untuk menetukan disebelah mana kita akan turun harus memperhatikan posisi yang paling aman melakukan rigging. Hindari tampat lintasan air yang kemungkinan akan masuk kedalam gua apabila terjadi hujan. Bersihkan atau amankan mulut gua dari batu atau ranting yang kemungkinan bisa terjatuh nanti.
4.3. Periksa Kedalam pitch
Sebelum melakukan penelusuran sebaiknya kita mengetahui atau memperkirakan kedalaman pitch yang akan kita turuni. Ini penting agar supaya kita bisa memperkirakan berapa jumlah peralatan yang akan kita bawa. Untuk jarak tertentu mungkin dapat kita perkirakan dengan melihat langsung sebatas cahaya matahari masuk kedalam gua atau sebatas jangkauan cahaya headlamp. Cara yang bisa juga kita gunakan yaitu dengan melemparkan batu kedalam mulut gua, dan menghitung berapa lama (detik) saat batu dilempar dan saat terdengar suara batu menghantam dasar pitch. Lihat tabel estimasi kedalaman dibawah ini:
Tabel Estimasi Kedalaman
Waktu
(Detik) Max Kedalaman
5 X T2 (m) Kedalaman Actual
(m)
2 20 19
2,5 30 29
3 45 41
3,5 60 55
4 80 71
4,5 100 88
5 125 108
6 180 151
7 245 210
8 320 257
9 405 319
10 500 386
4.4. Buat Back Up Anchor
Berfungsi sebagai cadangan jika main anchor , jumlah anchor ini bisa lebih dari satu, dan kekuatannya harus lebih besar dari main anchor. carilah tempat pemasangan yang kuat. Disekitar mulut gua sebaiknya gunakan pohon sebagai back up anchor, boulder atau pasang dua spit untuk Y anchor. Apabila jarak antara back up anchor dan main anchor terlalu jauh pasang anchor lagi (back up kedua) sebelum main anchor. Ini berguna agar caver tidak berayun jauh saat akan turun.
Gambar Back Up Anchor
4.5. Buat Main Anchor (Anchor Utama)
yaitu anchor yang secara langsung mendapatkan beban saat lintasan digunakan. Tempatkan posisi main anchor dimana tali akan dapat bergantung bebas dan ketika main anchor terlepas arah jatuhnya tali tidak mengalami friksi pada batuan yang tajam yang dapat memotong tali. Kalau itu tidak bisa dihindari buatlah dua anchor atau gunakan Y anchor .
Gambar Main Anchor
4.6. Perhitungkan Fall Faktor
Hal ini adalah salah satu yang harus diperhatikan dalam pemasangan anchor. Ini berguna untuk menghindari beban sentak yang terlalu besar ketika main anchor telepas karena bisa menyebabkan back up anchor terlepas atau pinggang kita tidak kuat menerima sentakan yang bisa mengakibatkan cedera. Rumus fall faktor adalah Jarak Jatuh / Panjang Tali. Untuk caving yang menggunakan tali static fall faktor maximal FF.
Gambar Perhitungan Fall Faktor
Dibawah ini cara pemasangan back up anchor dan main anchor yang memperhatikan atau memperhitungkan FF nya.
Gambar Cara Pemasangan Back Up Anchor
4.7. Membuat Intermediete
Ini dilakukan apabila terjadi friksi pada tali. Perhatikanlah panjang pendulum. Terlalu pendek akan susah dilewati, terlalu panjang akan berbahaya apabila anchor terlepas karena caver akan jauh terjatuh kebawah. Ukuran idialnya adalah 2m.
Hindari sambungan tali dekat dengan intermediate karena akan menguras tenaga dan waktu. Untuk menghindari itu buatlah sambungan tali pada anchor intermediate, dengan cara mengaitkan kedua loop simpul dan sisa talinya digulung.
Gambar Pembuatan Intermediete
4.8. Deviasi
Sama fungsinya dengan intermediate, yaitu mengindarkan tali dari friksi dengan batu. bedanya dengan intermediate tali tidak dibuat ancor tetapi dibuat dengan cara menarik tali kesamping menjauh dari batu. Deviasi menggunakan sling yang diujungnya dipasang carabiner yang dikaitkan ketali.
Yang harus diperhatikan dalam membuat deviasi yaitu besaran sudutnya. Semakin besar sudut deviasi semakin besar juga beban masuk ke anchor. Umum digunakan 15° atau sebaiknya 10° - 30°. Hal lain yang penting juga adalah jarak tali kedeviasi jangan terlalu jauh karena akan susah dilewati.
Gambar Pembuatan Deviasi
4.9. Tyroliens
Biasa juga disebut lintasan traverses atau lintasan tali tegang . lintasan ini terdiri dari dua jenis yaitu tyrolien horizontal dan tyrolien sloping. Tyrolien dibuat untuk menyeberangi sungai, melewati air terjun dan daerah yang curam didalam gua terutama untuk rescue.
Gambar Tyroliens
Ada beberapa teknik menegangkan tali, yaitu dengan menggunakan Italian hitch untuk menahan tali pada saat melakukan Z Rigg sekaligus sebagai anchor atau dengan menggunakan Autostop (penggunaan Auto Stop hanya pada kondisi tertentu seperti rescue) sebagai pengganti Italian hitch. Lihat gambar dibawah ini :
Gambar Teknik Menegangkan Tali
V. SELF RESCUE
Teknik Rescue sangat sulit dan kompleks. Ini memerlukan banyak latihan, banyak belajar dan mencoba banyak Teknik Rescue. Mahir melakukan teknik rescue pada saat latihan bukan menjadi jaminan anda akan mampu melakukan rascue pada kondisi yang sebenarnya. Faktor mental sangat berpengaruh. Persiapkanlah diri anda mengahadapi kondisi ini.
Perbanyaklah teknik rescue yang anda miliki dan rajinlah berlatih dengan mengulang-ulang teknik yang anda telah kuasai. Pada dasarnya seseorang yang mulai memasuki gua gua vertical tanpa mengetahui teknik rescue bisa dikatakan orang itu adalah caver yang tidak bertanggung jawab.
Bekali juga diri anda dengan pengetahuan medical practice karena juga akan sangat berguna. Terutama bagaimana mengenali kondisi korban dan cara pemberian pertolongan pertama. Sebelum melakukan tindakan, buatlahlah keputusan tentang teknik apa yang akan anda gunakan.dibawah ini ada beberapa kemungkinan tindakan atau teknik bisa anda lakukan antara lain :
5.1. Mendekati Korban
langkah inilah yang pertama harus dilakukan. Untuk kondisi korban yang tergantung di tali kita harus melakukan Rappelling untuk mendekati korban. Ini akan mudah apabila ada tali cadangan yang tersedia. Tetapi kalau tidak anda terpaksa harus menggunakan tali yang digunakan korban. Dengan kondisi tali yang tegang tentunya akan susah untuk meniti tali. Teknik yang lebih mudah adalah turun dengan memanfaatkan peralatan untuk naik dengan cara menggeser kebawah secara bergantian Jammer dan Croll.
Kelemahan teknik ini adalah lambat dalam meniti tali kebawah. Teknik lain yang bisa lebih cepat yaitu Rappelling tali tegang dengan menggunakan simple atau autostop dengan cara tertentu. Yaitu tali dimasukkan kedalam Descender tidak melewati dua bulatan kumparan Descender (seperti pemasangan normal) melainkan dimasukkan diantara sela dua bulatan.
Teknik yang menggunakan simple dimana lubang cantolan carabiner pada simple dipasang dua carabiner tidak bisa dilakukan untuk simple yang buatan sekarang karena lubangnya kecil hanya bisa masuk satu carabiner (Untuk Simple jenis ini ikuti teknik menggunakan Auto Stop). Lihat gambar dibawah ini :
Gambar Teknik Menggunakan Auto Stop
5.2. Melepaskan Korban Dari Tali Dan Membawa Turun
Ada beberapa macam teknik mengenai hal ini. Yaitu :
a. Metode Foot Loop Dan Croll, caranya :
Bergeraklah ke posisi korban
Cantolkan Cowstail Pendek ke bagian bawah Maillon Rapide (MR) korban sebagai pengaman.
Lepaskan Ascender penolong dari tali .
Lepaskan Footloop dan Carabinernya dari Jammer lalu masukkan bagian tengah Footloop ke Carabiner Jammer korban, lalu Carabiner Footloop dicantolkan pada lubang atas Croll dan bagian sisi Footloop dekat Loop dimasukkan kedalam Croll penolong. Sisakan jarak antara Carabiner Footloop dengan Carabiner Jammer korban sepanjang 10 cm.
Injak Footloop korban, berdiri sambil menarik Footloop untuk menaikkan posisi Croll lebih keatas hingga pada posisi yang diinginkan.
Dorong pantat korban keatas. Dorongan tangan akan membantu Footloop menarik korban keatas hingga Croll korban mulai tidak terbebani. Pasang Descender, kencangkan talinya, lalu kunci.
Lepaskan Croll korban dan buka kunci descender. Kemudian kencangkan descender lalu kunci kembali . Injak footloop korban, berdiri sambil melepaskan Croll penolong, Footloop dari Carabiner Jammer korban dan Croll korban.
Setelah itu pasang dua carabiner dikaitkan ke maillon rapide penolong dan maillon rapide korban yang fungsinya sebagai tempat menggantung penolong dari korban.
Lepaskan Jammer, lepaskan kunci Descender lalu bawa korban turun.
Gambar Teknik Membawa Korban Turun
5.3. Metode Counterweight Dengan Cowstail Panjang.
Caranya yaitu :
Mendekatlah keposisi korban.
Cantolkan Carabiner ke bagian bawah Maillon Rapide korban
Lepaskan Jammer penolong dari tali, lalu lepaskan Cowstail Panjang dari Jammer.
Pasang Carabiner Cowstail Panjang pada lubang bagian atas Croll. Berdiri dengan menggunakan Footloop korban lalu kaitkan bagian tengah Cowstail panjang ke Carabiner Jammer korban. Sisakan jarak 10 cm antara carabiner cowstail dengan carabiner jammer.
Lepaskan Croll penolong. Selanjutnya beban penolong bepindah ke cowstail panjang.
Dorong pantat korban keatas, dorongan tangan akan membantu tarikan Cowstail Panjang menarik korban keatas, hingga Croll korban kendur atau tidak terbebani.
Pasang Descender lalu kunci. Lepaskan Croll korban. Buka kunci Descender kencangkan talinya lalu kunci kembali.
Berdiri dengan menginjak Foot Loop korban, lepaskan Carabiner Cowstail panjang dari lubang bagian atas Croll korban, lepaskan bagian tangah Cowstail panjang dari Carabiner Jammer Korban.
Pasang dua buah Carabiner lalu kaitkan ke Maillon Rapide penolong kemudian kaitkan lagi ke Maillon Rapide korban (berfungsi tempat menggantung penolong dari korban).
Lepaskan Jammer, lalu bawa turun korban.
Gambar Teknik Counterweight Dengan Cowstail Panjang
5.4. MEMOTONG TALI
Caranya yaitu :
Mendekatlah keposisi korban lalu cantolkan Cowstail pendek penolong ke Maillon Rapide korban.
Lepaskan Cowstail panjang korban dari Jammer. Biarkan Footloop korban tetap pada tempatnya.
Jika penolong bergerak dari bawah sebaiknya membawa ujung tali keatas pada saat naik dan ujung tali tersebut yang di cantolkan ke jammer setelah dibuat simpul delapan. Tetapi jika penolong bergerak dari atas kebawah pada saat mendekati korban buatlah loop sekitar dua meter lalu buat simpul delapan dan cantolkan ke carabiner jammer.
Perhatikan jarak antara Jammer dan Croll korban, yaitu minimal 30 cm.
Pasanglah Descender pada tali yang baru terpasang tadi lalu dikunci.
Doronglah Descender korban keatas apabila akan mengencangkan tali antara Jammer dan Descender.
Pasang kembali Jammer penolong untuk mendapatkan posisi yang sejajar dengan korban. hal ini dilakukan untuk memudahkan kita memotong tali.
Ambil pisau dan potonglah tali tepat diatas Croll korban.
Injak Foot Loop korban untuk melepaskan Jammer penolong.
Pasang dua Carabiner lalu kaitkan ke Maillon Rapide penolong dan Maillon Rapide korban yang fungsinya sebagai tempat menggantung penolong dari korban.
Beban akan berpindah ke descender korban. Selanjutnya penolong melepaskan kunci descender lalu membawa korban kebawah.
Gambar Teknik Memotong Tali Korban
5.5. Membawa Turun Korban Melewati Intermediete
Caranya yaitu :
Turunlah dengan membawa korban dan berhenti ketika Descender sejajar dengan Anchor, lalu kuncilah Descender.
Pasang satu lagi Descender kemaillon rapide korban bersebelahan dengan descender yang pertama. Ambil tali yang dibawah anchor pasang ke descender yang kedua lalu kunci.
Lepaskan kunci descender yang pertama, ulurkan talinya hingga beban berpindah ke descender yang kedua. Lepaskan tali dari descender yang pertama dan turunlah dengan descender kedua.
Gambar Membawa Turun Korban Melewati Intermediete
5.6. Melewati Sambungan Tali.
Caranya yaitu :
Berhenti dua meter diatas simpul dan kunci Descender. Buat Simpul Delapan dekat simpul sambungan tali lalu loopnya masukkan ke Carabiner Jammer.
Pasang Jammer yang telah disambungkan dengan Loop simpul tadi ke tali diatas Descender.
Ambil Descender yang kedua lalu pasang ke Maillon Rapide korban bersebelahan dengan Descender yang pertama. Pasang Descender kedua ketali dibawah simpul yang tercantol pada Jammer dan kunci.
Dorong Jammer keatas untuk mengencangkan tali antara Descender dengan Jammer.
Lepaskan kunci Descender yang pertama, kendurkan talinya sampai beban berpindah ke descender yang kedua.
buka kunci descender pertama dan lepaskan dari tali. Buka kunci descender kedua dan rappelling dengan membawa korban kebawah.
Gambar Melewati Sambungan Tali
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
I. Pengertian Speleologi
Speleologi Adalah ilmu yang mempelajari tentang gua alam dan lingkungannya. Kata speleologi berasal dari bahasa Yunani yaitu Spelaion yang berarti Gua dan Logos yang berarti Ilmu. Ilmu Speleologi bisa dikatakan ilmu yang cukup langka karna sampai saat ini pun banyak orang yang belum mengetahui tentang apa itu speleologi, bahkan dikalangan ilmuan dan akademisi masih tergolong jarang yang mengetahui. Ilmu Speleologi mulai berkembang sejak Abad 19 dibagian benua Eropa terutama Eropa Timur (Slovenia) dan Eropa Barat (Jerman, Inggris, Italia dan Prancis). Sedangkan di Indonesia Speleologi baru dikenal pada tahun 1979.
Di Negara-Negara Eropa Ilmu Speleologi sudah masuk dalam Kurikulum Pendidikan terutama ditingkat Perguruan Tinggi, sedangkan di Indonesia sendiri masih jarang sekali. Sampai saat ini masih banyak pemahaman yang berbeda tentang gua. Ada yang mengatakan semua lubang yang berada dibawah tanah baik yang terjadi secara alami maupun buatan manusia. Ada pula yang yang mengatakan kalau gua hanya lorong bawah tanah yang terbentuk secara alami sedangkan yang dibuat manusia (Bungker / Tunel) tidak dapat disebut gua, dan masih banyak pemahaman-pemahaman lain.
Menurut UIS (Internasional Union Of Speleology) Gua adalah setiap ruangan bawah tanah yang dapat dimasuki oleh manusia. memiliki sifat yang khas dalam mengatur suhu udara di dalamnya, yaitu pada saat udara di luar panas maka di dalam Goa akan terasa sejuk, begitu pula sebaliknya. Gua dibagi dalam beberapa jenis sesuai dengan kondisi batuan pembentuknya, yaitu :
1. Gua Karst
Gua yang terbentuk pada kawasan yang telah mengalami Karstifikasi atau pelarutan. Sekitar 70 % gua yang ada didunia terbentuk pada Kawasan Karst.
2. Gua Lava
Terbentuk akibat pergeseran permukaan tanah akibat gejala keaktifan Vulkanologi atau akibat aktifitas Gunung Api.
3. Gua Litoral
Gua yang terbentuk pada daerah pantai, adapun terjadinya yaitu akibat adanya proses erosi dan pengikisan dari air laut terhadap batuan yang berbeda di pantai yaitu pada tebing yang curam, akibat adanya gaya mekanis air laut maka lama kelamaan batuan tersebut akan membentuk celah maka terjadilah Gua.
Ada pula gua yang sangat jarang sekali kita temukan, seperti Gua Es dan gua pasir yang jumlahnya hanya sekitar 5 % dari jumlah gua yang ada diseluruh dunia. Ada beberapa proses yang menjadi penyebab terbentuknya Gua Karst yaitu : Akibat Pelarutan secara kimiawi, Pengikisan Air, Amblesan, Runtuhan. Pada umumnya terbentuknya gua-gua tersebut tergantung pada kondisi geologi, Hidrologi dan Litologi, seperti adanya Kekar, Sesar, Bedding Plane, Kontak Batuan dll.
II. Sejarah Penelusuran Gua Dan Ilmu Speleologi
Kegiatan penelusuran gua yang kita ketahui sudah dilakukan sejak jaman primitive dahulu, yang mana gua dijadikan sebagai tempat berlindung dan ritual adat atau pemujaan terhadap roh leluhur mereka. Ada beberapa sejarah tentang awal dari Ilmu Speleologi yaitu, pada tahun 1670 – 1680 Baron John Valsavor dari Slovenia yang pertama kali melakukan deskripsi terhadap 70 gua dalam bentuk laporan ilmiah lengkap dengan komentar, peta, dan sketsa sebanyak 4 jilid dengan total mencapai 2800 halaman, dan pada tahun 1674 seorang ahli Geologi amatir dari Somerset Inggris bernama John Beamont melakukan pencatatan laporan ilmiah penelusuran Gua sumuran (Potholing) yang pertama kali dan diakui oleh British Royal Society.
Pada tahun 1818 Kaisar Habsburg Francis I menjadi orang yang pertama kali melakukan kegiatan wisata di dalam Gua yaitu saat mengunjungi Gua Adelsberg (sekarang Gua Pastonja di eks Yugoslavia). Kemudian Josip Jersinovic yaitu seorang pejabat di daerah tersebut tercatat sebagai pengolola Gua professional yang pertama dan pada tahun 1838 seorang pengacara bernama Franklin Golin sebagai tuan tanah yang memiliki areal Mammoth Cave di Kentucky AS (Gua terbesar dan terpanjang didunia) dan mengkomersilkan gua tersebut. Ia memperkerjakan seorang mullato bernama Stephen Bishop yang masih berumur 17 tahun untuk dijadikan budak penjaga gua tersebut.
Dan karena tugasnya, Stephen Bishop dianggap Pemandu Wisata Professional pertama. Mammoth Cave sendiri terdiri dari ratusan lorong (Stephen Bishop menemukan sekitar 222 lorong) dengan panjang 300 mil hingga kini belum selesai ditelusuri dan diteliti. Tahun 1983 oleh usaha International Union of Speleology, Mammoth Cave diakui oleh PBB sebagai salah satu warisan Dunia (World Herritage).
Secara resmi Ilmu Speleologi lahir pada abad ke -19 berkat ketekunan Eduard Alfred Martel. Sewaktu kecil ia sudah mengunjungi Gua Hahn di Belgia dengan ayahnya, seorang ahli Palenteologi, kemudian mengunjungi Gua Pyrenee di Swiss dan Italia. Pada tahun 1888 ia mulai mengenalkan penelusuran Gua dengan peralatan, pada setiap musim panas ia dan teman-temannya mengunjungi Gua-Gua dengan membawa beberapa gerobak penuh peralatan, bahan makanan dan alat Fotografi. Martel membuat pakaian berkantung banyak yang sering disebut Coverall (Wearpack). Kantung itu diisi dengan peluit, batangan magnesium, beberapa lilin besar, korek api, batu api, martil, beberapa pisau, alat pengukur, thermometer, pensil, kompas, buku catatan, kotak P3K, beberapa permen coklat, sebotol rum dan sebuah telepon lapangan yang digendong. System penyelamatannya dengan mengikatkan dirinya kalau naik atau turun dengan tali.
Tahun 1889, Martel menginjakkan kakinya pada kedalaman 233 meter di Sumurun Ranabel, dekat Mersille, Perancis dan selama 45 menit tergantung kedalaman 90 meter. Ia mengukur ketinggian atap dengan balon dari kertas yang digantungi Spoon yang dibasahi Alcohol, begitu spoon dinyalakan balon akan naik ke atas sampai ke atap Gua. Hingga kini Edward Alfred Martel disebut Bapak Speleologi Dunia. Kemudian muncul seperti : Pornier, Jannel, Biret dan baru setelah Perang Dunia I Robert De Jolly Dan Nobert Casteret mampu mengimbangi Martel, Robert De jolly mampu menciptakan peralatan dari Alumanium Alloy, Nobert Casteret orang pertama melakukan Cave Diving pada tahun 1922, dengan menyelami Gua Monthespan yang di dalam Gua itu ditemukan patung-patung dan lukisan bison serta binatangbinatang lainnya dari tanah liat, yang menurut para ahli, itu sebagai acara ritual sebelum diadakan perburuan binatang ditandai adanya bekas-bekas tombak dan panah.
Pada Perang Dunia II, Gua-gua digunakan sebagai tempat pertahanan karena di Gua akan sulit ditembus walaupun menggunakan bom pada waktu itu. Di Indonesia Speleologi mulai berkembang sekitar tahun 1979 dengan berdirinya sebuah klub yang bernama SPECAPINA yang didirikan oleh R.K.T.Ko (Speleogiwan) dan Norman Edwin (Almarhum) bersama beberapa orang lainnya pada waktu itu. Namun karena adanya perbedaan prinsip dari keduanya maka terpecah dan masing-masing mendirikan himpunan / Club Speleologi. Pada tanggal 23 Mei 1983 dr. R.K.T. Ko Mendirikan Himpunan Kegiatan Speleologi Indonesia (HIKESPI) / Federation of Indonesian Speleological Activities (FINSPAC) yang kemudian diakui dan tercatat di Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) sebagai Organisasi Profesi Ilmiah yang menangani masalah gua dan lingkungannya (Surat Pernyataan LIPI No. 7530/SK/C.10/87) dan pada tahun 1985 menjadi anggota International Union of Speleology (IUS). Sedangkan Norman Edwin (Alm) Mendirikan Garba Bumi, beberapa tahun kemudian mulai bermunculan Club–Club Speleologi dibeberapa daerah di Indonesia.
III. Ruang Lingkup Speleologi
Para peneliti berkesimpulan bahwa hubungan antara lingkungan gelap abadi / dalam gua (disebut Endokarst) dengan dunia diatas permukaan tanah (Eksokarst) sangat erat sekali. Oleh karena itu Speleologi merupakan Ilmu yang didalamnya terdiri dari berbagai disiplin ilmu. Diantaranya adalah :
Karstologi
Ilmu yang mempelajari tentang seluk beluk kawasan karst.
Geomorfologi Karst
Ilmu yang mempelajari tentang bentukan alam/ permukaan bumi didaerah kawasan karst khususnya.
Hidrologi Karst
Ilmu yang mempelajari tentang tata air/ system aliran bawah tanah/ gua.
Speleogenesis
Ilmu yang mempelajari tentang proses terbentuknya gua.
Biospeleologi
Ilmu yang mempelajari tentang mahluk hidup / Fauna / Biota yang ada didalam gua.
Arkeologi
Ilmu yang mempelajari tentang sejarah, kebudayaan dan peninggalan manusia pada masa lampau.
Mikroklimatologi
Ilmu yang mempelajari tentang fluktuasi suhu dalam gua yang sering minim sekali, baik konstan maupun tidak konstan.
Speleotourism
Ilmu yang mempelajari tentang wisata gua atau pada daerah karst.
IV. Karstologi Dan Geomorfologi Karst
Kurang lebih 70 % gua yang ada didunia terbentuk pada daerah batu gamping yang telah mengalami karstifikasi. Karst adalah daerah yang telah mengalami pelarutan secara kimiawi atau telah mengalami proses karstifikasi. Karst berasal dari kata Krs atau Kras yang berasal dari bahasa Yugoslavia, yang merupakan nama suatu daerah di perbatasan Italia utara dan Yugoslavia, sekitar Timur Laut Kota Trieste, saat ini terletak di Negara Slovenia. Arti Krs atau Kras adalah Bebatuan, karena didaerah itu adalah daerah kawasan batu gamping yang dipermukaannya sangat gersang tanpa ditumbuhi satu pohon sekalipun akibat habis dimakan oleh ternak domba yang dibebaskan berkeliaran tanpa dikandangkan.
Jadi pada awalnya pengertian karst merujuk pada bentang alam. Karst dalam bahasa Jerman dan Inggris disebut Karst, dalam Bahasa Italia disebut Carso dan dalam bahasa Slovenia disebut Kras. Dan sampai saat ini Karst menjadi sebuah istilah untuk daerah-daerah yang telah mengalami pelarutan.
Bentukan alam karst berbeda dengan bentuk alam lainnya (non karst), karena kawasan karst memiliki komponen diatas permukaan tanah atau disebut Eksokarst, dan komponen dibawah tanah yang disebut Endokarst. Fenomena endokarst adalah ruang lingkup ilmu speleologi, oleh karena itu para ilmuwan Karstologi tidak bisa terfokus pada eksokarst saja akan tetapi juga harus pada endokarst juga, karena antara eksokarst dan endokarst adalah dua fenomena yang saling berhubungan dan tak dapat dipisahkan. Bentuk lahan kawasan karst memiliki karakteristik berupa bentukan negative yang tertutup dengan berbagai ukuran dan susunan, pola drainase yang terputus-putus, gua-gua dan aliran sungai bawah tanah. Bentukan alam permukaan kawasan karst sangat beragam dan tiap daerah memiliki ciri atau bentukan yang berbeda. Ada yang berbentuk seperti menara atau disebut Tower Karst, ada yang berbentuk Cawan Terbalik atau biasa disebut Conical Hill.
Antara bukit-bukit Karst Tower dan Conical bisa terlihat lembah-lembah yang lebar atau sempit. Bukit–bukit tersebut terkadang terpisah oleh suatu dataran yang luas akan tetapi terkadang juga ada yang saling berdempetan dengan bentuk yang simetris atau asimetris dengan tinggi yang relative hampir sama. Kawasan Karst yang belum dijamah oleh manusia (Agraris dan Pertambangan) biasanya masih tertutup Vegetasi yang lebat bahkan bisa tidak terlihat dari kejauhan bahwa daerah tersebut adalah daerah karst. Terkecuali Vegetasi tersebut telah dibabat oleh aktivitas manusia seperti, Pertanian, Pertambangan, Penebangan Liar. Vegetasi kawasan karst juga bisa habis akibat gerakan Gletser yang menerjang kawasan tersebut beberapa juta tahun yang lalu. Akibat dari aktivitas tersebut maka timbullah penggundulan dan pengikisan permukaan karst. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi topografi karst sehingga kawasan karst yang satu dengan yang lainnya bisa berbeda. Adapun perbedaan tersebut ditimbulkan oleh :
Perbedaan litologi atau susunan Batu Gamping. Ada yang tersusun 100 % dari mineral
Kalsit (CaCO3), adapula yang tercampur dengan mineral lain seperti Dolomit (CaMGCO3),
Gypsum (CaSO4.2H2O), Mangan, Aluminium atau kwarsa dll.
Perbedaan Ketebalan lapisan Batu Gamping.
Perbedaan Compactness (Kemampatan).
Perbedaan system celah rekah yang ada sejak terbentuknya lapisan Batu Gamping.
Pengaruh Intensitas curah hujan daerah sekitar.
Pengaruh Jenis Vegetasi yang berbeda.
Pengaruh Manusia yang membongkar Batu Gamping atau menanaminya setelah membabat habis Vegetasi Primer.
Pengaruh titik elevasi kawasan atau ketinggian dari permukaan air laut.
Pengaruh ketebalan lapisan tanah penutup (Top Soil) pada kawasan tersebut.
Pengaruh Tektonisme terhadap bentuk fisik dan system celah rekah.
Beberapa faktor diatas sangat berpengaruh terhadap Intensitas dan kecepatan karstifikasi yang nantinya menjadi suatu Bantuk Lahan Karst (Karst Landform). Bentuk Lahan Karst tersebut ada dua yaitu Bentuk Lahan Mikro dan Makro. Morfologi Makro permukaan Karst meliputi beberapa bentukan negative dengan ukuran meter bahkan sampai kilometer seperti Dolina, Swallow Hole, Sink Hole, Vertical Shaft, Collaps, Cocpit, Polje, Uvala, Dry Valley, dll.
Morfologi Mikro juga biasa disebut Karren (Bahasa Jerman) atau Lapies (Bahasa Prancis) atau juga Grike (Bahasa Inggris). Karren memiliki dimensi yang bervariasi antara 1 – 10 meter sedangkan Mikro Karren berdimensi kurang dari 1 Cm (Ford and William, 1996).
Para peneliti karst mencoba menjelaskan variasi Bentukan/ Type Karst, dan secara umum dibagi menjadi tiga kelompok yaitu :
1) Klasifikasi berdasarkan perkembangan (Cvijic).
2) Berdasarkan Morfologi.
3) Klasifikasi berdasarkan Iklim (Sawicki, Lehman, Sweeting).
Cvijic (1914) membagi Topografi Karst dalam 3 kelompok yaitu : Holokarst yaitu dimana Karst dengan perkembangan paling sempurna, baik dari sudut pandang bentuk lahannya maupun Hidrologi bawah permukaannya. Merokarst yaitu Karst yang perkembangannya kurang sempurna, hanya mempunyai sebagian Bentukan Lahan Karst. Karst Transisi yang terbentuk pada Batuan Karbonat yang cukup tebal bahkan sampai Karst Bawah Tanah.
Secara umum bentukan alam Kawasan Karst yang terlihat mencuat keatas permukaan disebut Bentukan Karst Positif ( Positive Karst Landform). Begitu juga sebaliknya, bentuk yang terlihat kedalam bawah permukaan disebut Bentukan Karst Negative (Negative Karst Landform). Negative Karst Landform terlihat seperti cekungan–cekungan berdiamater kecil sampai berdiameter besar (ratusan meter bahkan sampai 1 km) yang disebut sebagai Dolina atau dalam bahasa Inggris disebut Sink Hole atau Closed Depression, bisa terbentuk akibat Runtuhan (Collapse) atau terbentuk akibat pengikisan.
Beberapa Dolina yang berdekatan bisa menyatu dan disebut sebagai Uvala. Tetapi bila Dolina yang saling berdekatan tersebut tidak menyatu dan diantara batas dolina tersebut membentuk bukit-bukit terjal dan sempit maka disebut Cockpit Karst. Dolina yang terbentuk akibat runtuhan dan dibawahnya terdapat aliran sungai yang cukup deras dinamakan Collapse Sinkhole tipe Cvijik, sedangkan yang dasarnya kering / tidak dialiri lagi oleh air dikarenakan berpindahnya lintasan aliran sungai bawah tanah tersebut, maka bentukan seperti itu disebut Collapse Sink Hole type Trebic.
Gambar Dolina / Sink Hole
V. Hidrologi Karst
Sampai saat ini sering terjadi perbedaan pendapat antara pakar Speleologi dengan Geologi dalam hal penyebutan air pada Kawasan Karst, ada yang mengatakan air tanah dan ada yang sepakat bila disebut sebagai Air Karst. Grund (1903) berpendapat bahwa air tanah pada Batu Gamping mempunyai permukaan yang teratur yang berarti didalam lapisan Batu Gamping terdapat adanya pipa-pipa yang saling berhubungan.
Pada fenomena bawah tanah sering kali kita jumpai adanya Aliran Sungai Bawah Tanah yang mengalir seperti halnya sungai-sungai yang ada dipermukaan bumi. Aliran sungai tersebut bisa berasal dari luar gua, yang dimana air permukaan yang berada di luar gua masuk kedalam Swallow Hole (Mulut Telan) dan muncul lagi ditempat yang lain bahkan biasanya sangat jauh dari lokasi Swallow Hole. Tempat keluarnya aliran sungai bawah tanah dikawasan Karst disebut Resurgence atau Karst Spring, jika kita interpretasi melalui Peta Topographi terlihat aliran sungai yang mengalir lalu menghilang/terputus. Aliran tersebut biasa disebut Vadose Stream / Arus Vadose / Sungai Vadose atau disebut juga aliran Allochthonous.
Gambar Swallow Hole
Aliran pada sungai bawah tanah juga bisa berasal dari gua itu sendiri, dimana air yang berada di permukaan Kawasan Karst meresap masuk kedalam Kawasan Karst dan ketika didalam gua menjadi ribuan tetesan yang kemudian tertampung lalu mengalir dan membentuk sebuah aliran sungai. Aliran tersebut biasa disebut Percolation Water atau disebut juga aliran Autochtonous.
Pada umumnya air yang mengalir didalam gua terdiri dari campuran Air Vadose dan Perkolasi. Air Perkolasi dan Air Vadose memiliki perbedaan dari segi kuantitas maupun kwalitas. Air Perkolasi pada umumnya banyak mengandung CaCO3, karena Air Perkolasi meresap dan merembes secara perlahan kedalam gua sehingga mineral pada batu gamping yang didominasi oleh Calsite (CaCO3) lebih banyak terbawa.
Sedangkan Aliran Vadose sangat sedikit mengandung Calsite karena bentuk aliran yang hanya numpang lewat pada sungai bawah tanah sehingga sangat singkat bersinggungan dengan mineral Batu Gamping.
Air Perkolasi juga dapat dilihat dari fluktuasi suhu yang konstan sepanjang hari bahkan sepanjang tahun, sedangkan Air Vadose berfluktuasi dengan suhu diluar gua. Air vadose juga pada umumnya keruh karena material yang berasal dari luar gua ikut hanyut kedalam alirannya seperti Lumpur, pasir dan kerikil. Sedangkan pada aliran Perkolasi cukup jernih karena proses perembesan tadi sehingga air tersebut tersaring pada pori-pori Batu Gamping (Lime Stone). Pada saat turun hujan, gua yang dialiri oleh Air Vadose akan lebih cepat bertambah debitnya dan ketika hujan berenti serentak debit airnya juga menurun sampai level air sebelum hujan. Berbeda dengan Air Perkolasi, ketika diluar gua terjadi hujan lebat, debit air bertambah secara perlahan–lahan tidak secepat aliran Vadose dan ketika hujan berehenti debit air juga akan turun secara perlahan–lahan. Kita dapat menentukan jenis lorong pada gua dari segi Hidrologi. Lorong tersebut dibagi dalam 3 jenis, yaitu : Lorong Fhareatik dimana pada Lorong Fhareatik ini kondisi lorong masih sepenuhnya ditutupi oleh air dan pada umumnya memiliki dinding gua yang relative halus. Pada kondisi lorong seperti ini hanya bisa ditelusuri dengan teknik Cave Diving. Lorong Vadose, yaitu Lorong yang sebagian dari lorong tersebut dialiri air, pada lorong ini pembentukan ornament biasanya baru terbentuk pada bagian atap gua. Lorong Fosile yaitu Lorong yang kering atau sudah tidak dialiri air lagi, kemungkinan adanya perubahan pola aliran air bawah tanah, pada lorong ini pembentukan ornament sudah mencapai nol.
PEMETAAN GUA (CAVE MAPPING)
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
Definisi Pemetaan Gua adalah gambaran perspektif gua yang diproyeksikan keatas bidang datar yang bersifat selektif dan dapat dipertanggung jawabkan secara visual dan matematis dengan menggunakan skala tertentu.
I. Manfaat Peta Gua
1) Merupakan bukti otentik bagi penelusur gua, sebagai penulusuran yang pertama kali menelusuri goa tersebut.
2) Membantu para ahli dalam mempelajari Biospeologi, Hidrologi, Arkeologi ataupun ilmu-ilmu lainnya yang berkaitan dengan Speleologi.
3) Untuk mencari korelasi dengan goa-goa disekitarnya atau System Perguaan yang ada disekitarnya
4) Untuk memudahkan dalam usaha pertolongan apabila terjadi kecelakaan di dalam gua / Cave Rescue.
5) Untuk kepentingan Pertahanan dan Keamanan Nasional ( HANKAMNAS ).
6) Sebagai data rekaman keadaan gua saat itu ( biasanya dilampiri foto ).
7) untuk memudahkan / menentukan dalam pengembangan obyek wisata gua di bidang pariwisata.
8) Sebagai sumber informasi dalam mendukung kegiatan penelitian ilmiah dan keperluan pelajaran penelusuran gua.
II. Jenis Peta Gua
Peta Gua ada beberapa jenis sesuai dengan metode penggambaran yang kita gunakan. Jenis–jenis peta gua merupakan faktor pendukung untuk memudahkan pembaca
dalam memahaminya. Adapun jenisnya adalah :
1. Plan View / Plan Section, yaitu Peta Gua yang digambarkan dalam bentuk tampak dari atas. Yang ditampilkan adalah bentukan arah lorong gua jika dilihat dari atas sesuai hasil pengukuran dari Kompas.
2. Extended Section, yaitu Peta Gua digambarkan dalam bentuk tampak samping gambar gua digambarkan dalam bentuk memanjang tanpa proyeksi, yang terlihat hanya perubahan sudut Elevasi Gua/Sudut Kemiringan/Keterjalan Lorong sesuai hasil pengukuran Klinometer.
3. Projected Section / Projected Elevation, yaitu Peta Gua yang digambar dalam bentuk tampak samping akan tetapi diproyeksikan dengan Plan Section/Tampak Atas.
4. Cross Section, yaitu Gambar Peta Gua yang digambar dalam bentuk tampak depan. Cross Section biasanya berupa sayatan dari Plan Section.
5. Peta Gua 3 Dimensi (3D) Perspektif, adalah Gambar Peta secara visual mendekati dengan kenyataan sesunguhnya. Stasiun dan detailnya mengunakan sumbu X, Y, dan Z. sumbu X dan Y, untuk menentukan koordinat stasiun pada bidang datar. Sumbu Z untuk menentukan posisi stasiun berdasarkan elevasinya terhadap titrik 0.
III. Peralatan Pemetaan Gua
1) Kompas
Untuk mengukur azimuth lorong gua atau mengukur besar derajat perbedaan antara lorong gua / jalan terhadap arah sumbu utara.
Gambar Kompas Suunto KB-14
2) Klinometer
Digunakan untuk mengukur beda tinggi elevasi lorong gua / kemiringan lorong gua pada tiap stasiun pemetaan.
Gambar Klinometer Suunto PM-5
3) Topofil
Topofil mempunyai fungsi yang sama dengan Pita Ukur, tapi topofil bekerja berdasarkan roda yang berputar dan menggerakkan angka-angka dalam satuan centimeter. Sedangkan berputarnya roda topofil dikarenakan benang yang dililitkan pada roda tersebut dan ditarik kemudian roda akan menggerakkan angka–angka penunjuk.
Gambar Konstruksi Topofil
4) Pita Ukur
Pita ukur digunakan untuk mengukur panjang lorong gua, biasanya terbuat dari plat baja tipis atau terbuat dari serat kaca (Fiber Glass).
Gambar Roll Meter
5) Alat Tulis Menulis
Berupa Kertas anti air (Kodaktris) atau bisa menggunakan transparant paper, pensil / ballpoint maker, papan pengalas (agar tidak menulitkan kita pada saat menulis), penghapus. Kesemuanya digunakan untuk mencatat hasil pengukuran di dalam gua, sketsa gua, diskripsi gua dan hal–hal lain yang perlu didata.
IV. Tingkat Keakuratan / Grade Pemetaan
Grade Pemetaan gua adalah tingkat keakuratan atau ketelitian peta. Yang sering digunakan adalah tingkat ketelitian menurut BCRA (British Cave Research Association) yang membagi beberapa tingkatan yaitu :
1. Grade 1
Gambar/Sketsa Kasar tanpa skala yang benar dan dibuat diluar gua dengan dasar ingatan dari sipembuat terhadap lorong–lorong yang digambar.
2. Grade 2
Peta dibuat dalam gua tanpa skala yang benar dan tanpa menggunakan alat ukur apapun, hanya bedasarkan perkiraan.
3. Grade 3
Sketsa dibuat dalam goa dengan menggunakan bantuan Kompas dan Tali yang ditandai tiap-tiap meternya memiliki ketelitian pengukuran satuan 2,5° posisi stasiun per 5 m, dilakukan jika waktu sangat terbatas, penggunaan Klinometer sangat dianjurkan.
4. Grade 4
Pengukuran telah menggunakan kompas serta Meteran atau Topofil. Dapat digunakan jika diperlukan, untuk menggambarkan survey tidak sampai ke Grade 5, tetapi lebih akurat dari Grade 3.
5. Grade 5
Pengukuran Dengan Kompas Prismatic dan Klinometer dengan kesalahan ukur 0,5°, pita ukur Fiber Glass dengan kesalahan ukur < dari 10 cm. Instrument dikalibrasikan terlebih dahulu, Centre Line dianjurkan disurvey menggunakan Leap Frog Methode.
6. Grade 6
Pada dasarnya sama dengan Grade 5 akan tetapi pada Grade ini Kompas dan Klinometernya menggunakan Tripod sehingga pada waktu melakukan pengukuran posisi alat tidak bergerak.
7. Grade X
Pada Grade ini menggunakan Pesawat Ukur Theodolit dan Pita Ukur Metallic. Akan tetapi grade ini sangat jarang digunakan dikarenakan peralatan yang kurang efisien jika menggunakan Theodolit dalam pemetaan gua karena kondisi lorong gua yang memiliki macam – macam variasi bentukan lorong sehingga alat ini juga cukup riskan jika digunakan didalam gua terutapa pada lorong–lorong yang sempit.
Selain membuat macam–macam tingkat ketelitian (Grade) peta gua, BCRA juga membuat klasifikasi perincian survey, yaitu :
Class A : Semua detail lorong dibuat diluar kepala
Class B : Detail lorong diestimasi dan dicatat dalam gua
Class C : Detail lorong diukur pada tiap stasiun survey
Class D : Detail lorong diukur pada tiap stasiun survey dan diantara stasiun survey.
V. Survey Dan Pengambilan Data
1. Methode Arah Survey
Dalam Pemetaan Gua ada macam Metode Arah Survey, Yaitu :
Forward Methode
Dimana pembaca alat dan pencatat berada pada stasiun 1 (pertama) dan pointer (target) berada pada stasiun 2 (kedua), setelah pembacaan alat selesai pointer maju ke stasiun selanjutnya yang telah ditentukan oleh leader dan pembaca alat maju tepat pada posisi pointer tanpa merubah titik stasiun tempat berdiri pointer sebelumnya, begitu seterusnya.
Gambar Metode Arah Survey Foward
Leap Frog Methode
Pada metode ini pembaca alat berada pada stasiun kedua sedangkan pointer pada stasiun pertama, setelah pembacaan alat selesai pointer maju langsung menuju stasiun ketiga sedang pembaca alat tetap pada stasiun kedua dan melakukan pembacaan alat lagi, setelah pembacaan selesai pembaca alat langsung menuju stasiun keempat dan melakukan pembacaan alat lagi dengan sasaran stasiun tiga, begitu seterusnya. Keuntungan menggunakan methode ini adalah lebih akurat dan cepat hanya saja dalam pengolahan datanya kita harus berhati–hati.
Pointer
Compassman
Gambar Metode Arah Survey Leap Frog
2. Arah Survey (Pengambilan Data)
Top to Bottom
Pengukuran dimulai dari Etrance gua dan berakhir pada ujung lorong gua atau akhir dari lorong gua tersebut.
Bottom to Top
Adalah kebalikan dari Top to Bottom yaitu pengukuran dimulai dari ujung lorong sampai pada entrance gua.
3. Metode Pengukuran Chamber
Dalam Melakukan Survey Pemetaan biasanya kita menemukan lorong–lorong yang besar atau biasa kita sebut aula gua atau Chamber. Karena ukuran chamber yang cukup luas biasanya membuat kita bingung atau kewalahan dalam melakukan pengukuran, untuk itu ada beberapa cara malakukan pengukuran pada chamber untuk mempermudah kinerja tim dan menghasilkan data yang akurat. Adapun cara–cara tersebut yaitu :
Polygon Tetutup
Polygon Terbuka
Offset Methode
Gambar Metode Pengukuran Chamber
4. Penentuan Titik Stasiun
Penentuan Titik Stasiun pada pemetaan gua sebenarnya merupakan salah satu faktor keakuratan peta gua tersebut. Ada beberapa faktor yang harus dipertimbangkan dalam menentukan titik stasiun pemetaan, antara lain yaitu :
Perubahan Arah Lorong Gua.
Perubahan extrim bentuk lorong.
Batas Pengukuran < 30 m.
Perubahan Sudut Elevasi Lorong yang extrim misalkan : Pitch atau Slope.
Temuan-temuan Penting Seperti : Ornamen Khusus, Biota, Litologi Khusus, dan Sebagainya
5. Organisasi Tim Survey
Dalam kegiatan Pemetaan Gua idealnya terdiri dari 5 orang dalam tim pemetaan yang dimana masing-masing anggota memiliki tugas masing–masing, yaitu :
Orang Pertama : Sebagai pembaca alat ukur seperti Kompas, Klinometer, dan Meteran/Roll Meter.
Orang Kedua :
Sebagai Pointer / target yang dimana orang ini membawa ujung meteran dan memegang titik / point (biasanya berupa Senter/ Headlamp) yang nantinya menjadi sasaran bidikan Kompas dan Klinometer yang dipegang oleh orang pertama. Orang pertama dan orang kedua diharuskan memiliki tinggi badan yang sama guna mengurangi kesalahan pada pengukuran elevasi lorong gua.
Orang Ketiga : Sebagai pencatan data pengukuran.
Orang Keempat :
Sebagai Diskriptor, Pembuat sketsa lorong (Plan Section, Extended Section dan Cross Section).
Orang Kelima :
Sebagai Leader yang menentukan titik stasiun dan pemasang lintasan pada gua vertical.
Pekerjaan yang cukup sulit adalah menjadi diskriptor karena efesiensi waktu, segala detail data dan rekaman data terletak pada posisi ini. Seorang diskriptor yang berpengalaman dapat mengetahui apabila terjadi dalam pembacaan kompas dan klinometer. Oleh karena itu yang ditugaskan menjadi seorang diskriptor adalah orang yang mampu merekam dan menuangkan situasi gua yang disurvey dalamworksheet dengan jelas dan lengkap sehingga tidak menyulitkan anggota tim yang lain pada saat penggambaran peta gua.
6. Pengambilan Data Lapangan
Dalam pengambilan data dilapangan kita cukup mengisi table data yang telah kita siapkan sebelumnya.
Contoh Worksheet Pengambilan Data Lapangan
Keterangan :
From : Nama Stasiun Awal
To : Nama Stasiun Akhir
L ( m ) : Jarak Tiap Stasiun
@ ( ° ) : Besar Azimuth Lorong/Besar Sudut Kompas
B ( ° ) : Besar Sudut Elevasi/Besar Sudut Yang dihasilkan Oleh Klinometer
Kiri : Jarak Dari Stasiun Ke Dinding Kiri Gua
Kanan : Jarak Dari Stasiun Ke Dinding Kanan Gua
Atas : Jarak Dari Stasiun/Point Ke Plafon Gua
Bawah : Jarak Dari Stasiun/Point Ke Lantai Gua
Dalam pengambilan data dilapangan ada beberapa hal yang mempengaruhi keakuratan data yang kita ambil, seperti :
Adanya Medan Magnet atau benda lain yang mengandung unsur magnet yang ada didekat Compasmen Seperti : Headlamp yang menggunakan magnet pada bagian belakangnya, Jam Tangan, Carabiner dan unsur logam lainnya)
Kesalahan pada saat mengimput data Klinometer, biasanya penempatan positif dan negatifnya
Kesalahan Pembacaan Klinometer (pada klino Suunto terdapat dua satuan yang dapat digunakan yaitu Derajat dan Persen)
Kesalahan Pengimputan angka pada kolom (biasanya terjadi pengimputan data terbalik, data klinometer diimput dikolom Kompas sedangkan kompas di input kedalam kolom klinometer)
Posisi stasiun yang bergeser
Penggunaan satuan, biasanya pada pembacaan ukuran jarak sering terjadi perubahan pembacaan satuan seperti meter berubah menjadi centimeter akan tetapi tidak diberikan keterangan pada saat terjadi perubahan pembacaan.
Tidak Melakukan kalibrasi alat ukur sebelum melakukan pemetaan
VI. Pengolahan Data Lapangan Dan Penggambaran Peta Gua
1. Pengolahan Data
Dalam pengolahan data gua kita tinggal mengimput data-data yang kita ambil dilapangan kedalam tabel
Contoh Tabel Pengolahan Data Gua
Keterangan :
D=L*Cos : Jarak Miring
∑D : Hasil Penjumlahan Silang antara FD Awal dengan Jumlah D Pada Stasiun Sebelumnya
H=D*Sin : Beda Elevasi
∑H : Hasil Penjumlahan Silang Antara FH Awal dengan Jumlah H Pada Stasiun Sebelumnya
X=D*Sin : Absis
EX : Hasil Penjumlahan Silang Antara FX Awal dengan Jumlah X Pada Stasiun Sebelumnya
Y=D*Cos : Ordinat
EY : Hasil Penjumlahan Silang Antara FY Awal dengan Jumlah Y Pada Stasiun Sebelumnya
2. Penentuan Skala Dan Arah Utara Peta
Skala Peta
Skala adalah perbandingan antara jarak sebenarnya dengan jarak yang ada dipeta, dalam hal ini disesuaikan dengan tujuan pelaksanaan survey. Untuk kepentingan exploitasi dan ilmiah yang digunakan adalah skala besar (biasanya kurang dari 1 : 250) agar tampilan detail peta dapat terlihat dengan jelas. Akan tetapi biasanya para surveyor menentukan skala sesuai dengan besar ukuran kertas yang mereka guanakan untuk pengambaran peta, biasanya ,maksimal ukuran A0 (1,189 x 0,841).
Orientasi Peta
Arah utara ada tiga macam :
1) Arah Utara Magnetic/ North Magnetic ( NM ) G Ditunjukkan oleh Utara Jarum Kompas.
2) Arah Utara Sebenarnya/ True North ( TN ) G Sesuai dengan sumbu bumi.
3) Arah Utara Pete/ Grid North ( GN ) G Sesuai dengan Sumbu Y.
Arah utara pada peta gua tidak harus selalu dibagian atas kertas akan tetapi dapat disesuaikan dengan efesiensi penggunaan kertas.
3. Penggambaran Peta
Dalam peta gua biasanya ada beberapa jenis peta gua yang digambar seperti Peta Gua Tampak Atas/ Plan Section, Peta Gua Tampak Samping/ Extended Section dan sebagainya. Adapun dalam penggambarannya sebagai berikut :
Penggambaran Plan Section
Dalam Penggambaran Plan Section atau Peta Gua tampak Atas kita lakukan dengan cara sebagai berikut :
a. Penetuan Titik Koordinat Center Line
Mulanya kita tentukan dulu Center Line, Center Line adalah letak/ posisi tiap stasiun pemetaan sesuai dilapangan. Dalam penentuan stasiun kita menggunakan Diagram / Koordinat Polar atau Koordinat Cartesius
Koordinat Polar
Penggunaan Diagram Polar sangat sederhana dan cepat hanya saja apabila terjadi kesalahan adalah kesalahan akumulatif, kesalahan akan bertambah besar dengan bertambahnya stasiun. Dalam ploting Center Line pada ini kita membutuhkan busur derajat atau protactor dengan penggaris. Pada penggunaan diagram ini kita tentukan dulu arah utaranya. Dalam penentuan titik stasiun ditentukan oleh besar sudut kompas yang ada didata, dengan acuan 0 ° adalah utara yang telah kita buat sebelumnya. Disarankan untuk menggunakan millimeter block atau kertas grafik untuk meminimalisir kesalahan.
Gambar Dengan Menggunakan Koordinat Polar
Koordinat Cartesius
Penggambaran dengan menggunakan Koordinat Cartesius adalah yang direkomendasikan oleh BCRA untuk dipakai pada penggambaran Grade 5. Dalam penggambaran ini kita menggunakan hasil EX dan EY untuk menentukan plot stasiun pada Plan Section sedangkan ED dan EH untuk plot stasiun pada extended section. Dalam penggambarannya menggunakan kertas Grafik/ Milimeter Block untuk memudahkan dalam penggambaran. Contoh : pada stasiun 1 X = 2, Y = 1 ; Stasiun 2 X = 3, Y = 3 ; Stasiun 3 X = 4, Y = 4 ; Stasiun 4 X = 2, Y = 7 ; Stasiun 5 X = -1 Y = 9 ; Stasiun 6 X = -2, Y = 12.
Gambar Dengan Menggunakan Koordinat Cartesius
b. Penentuan Titik Jarak Dinding Kiri dan Kanan Gua
Setelah kita selesai memploting Center Line selanjutnya kita membuat dinding-dinding gua dengan cara memplot titik-titik dinding gua pada tiap stasiun dengan menggunakan hasil yang terdapat pada table dinding kiri dan kanan yang sudah diskalakan. Kemudian titik-plot dinding kiri kanan tersebut dihubungkan dengan mengikuti bentuk lekukan dinding gua yang ada pada sketsa gua.
c. Simbol Pada Peta
Setelah Peta selesai digambar kemudian kita memasukkan symbol-symbol pada peta (Ornamen, Litologi, Hidrologi, Biota Gua).
Penggambaran Extended Section
Penggambaran Extended Section dapat dilakukan dengan dua cara seperti pada penggambaran Plan Section. Untuk Koordinat Polar yang digunakan adalah hasil pengukuran Klinometer ( L ) dan jarak miring ( D ). Jika menggunakan Koordinat Kartesius maka yang digunakan adalah hasil dari ED dan EH dan hasil tersebut sudah kita skalakan. Untuk penggambaran atap gua yang diambil adalah angka/ukuran dari titik stasiun keatap gua (Atas) sedangkan lantai gua dari titik stasiun ke lantai gua (Bawah).
Penggambaran Cross Section
Adalah penampang melintang gua, penggambarannya dilakukan dengan menggunakan hasil dari pengukuran dinding kiri, kanan, atap dan lantai gua.
Penggambaran Project Section
Penggambaran Project Section dilakukan dengan memproyeksikan gambar plan section dengan elevasi sesuai hasil FH.
4. Kelengkapan Peta
Untuk memudahkan orang lain dalam memahami peta yang kita buat maka ada beberapa kelengkapan peta yang harus kita cantumkan pada peta tersebut, diantaranya :
1) Nama Gua
2) Letak Administratif Gua
3) Waktu Pembuatan/Pemetaan (Tanggal, Bulan Dan Tahun)
4) Tinggi Elevasi Mulut gua dari Permukaan Laut
5) Panjang Gua dan Kedalaman Gua
6) Lagenda
7) Skala Peta
8) Utara Peta
TEKNIK PENELUSURAN GOA HORIZONTAL
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
Teknik menelusuri Gua Horizontal sangat ditentukan oleh jenis lorong gua. Dibawah ini beberapa teknik menelusuri Gua Horizontal dengan berbagai jenis lorong yaitu :
I. Lorong Fosil
Lorong Gua Kering yang tidak ada lagi aliran air yang mengalir pada lorong gua. Pada jenis lorong ini bisa ditelusuri dengan berjalan kaki biasa, membungkuk, jalan jongkok, merayap, dan melata. Semua ini sangat tergantung dari kondisi lorongnya. Untuk kondisi lorong gua yang lumpurnya sangat tebal, dilewati dengan cara seperti berenang. Karena kalau berjalan biasa kaki akan tertahan dilumpur dan agak susah dilepaskan.
Gambar Lorong Fosil
Pada lorong gua yang terjal berhati hatilah melewatinya. Untuk kemiringan yang sangat terjal lakukan dengan memanjat bebas jika itu tidak begitu berbahaya. Untuk rekahan atau diantara dua dinding yang berdekatan dapat dipanjat dengan teknik Chimneying dan Bridging
Gambar Teknik Bridging dan Chimneying
II. Lorong Vadose
Lorong dimana sebahagian dari lorongnya dialiri oleh air. Hati hati memasuki gua yang berlorong Vadose karena banyak kecelakaan dalam gua yang terjadi pada jenis lorong ini. Hindari mamasuki gua ini pada musim hujan atau curah hujan tinggi. Perhatikan setiap saat level air. Kalau ada perubahan ketinggian air secara tiba tiba segeralah mencari tempat yang tinggi didalam gua.
Melewati Lorong Gua Vadose sebaiknya menggunakan pelampung. Untuk lorong yang kedalaman air tidak terlalu tinggi dan arus tidak begitu deras dapat dilewati dengan berjalan biasa sambil mencari pegangan pada dinding gua. Pada lorong gua yang jarak antara pemukaan air dan atap gua hanya sebatas ukuran kepala dapat dilakukan dengan menggunakan Teknik Ducking, yaitu dengan cara kepala menengadah keatas. Untuk lorong gua yang airnya dalam dan panjang sebaiknya menggunakan perahu karet.
Gambar Penggunaan Perahu Karet
Kadang kala juga kita harus menyeberangi sungai dalam gua yang deras. Untuk menyeberanginya sebaiknya menggunakan pelampung dan dibelay oleh rekan yang lain. Lihat gambar dibawah :
Gambar Menyeberangi Sungai Yang Deras
III. Lorong Fhareatic
Lorong Gua yang seluruh bagian lorong gua tertutup oleh air. Untuk memasuki lorong gua ini dilakukan dengan Teknik Cave Diving.
TEKNIK PENELUSURAN GOA VERTIKAL
Oleh :
Mahasiswa Pecinta Alam dan Lingkungan Hidup
MPALH UNP
(Penggiat Caving Sumatera Barat)
I. Teknik-Teknik Penelusuran Goa Vertikal
1.1 Single Rope Teknik (SRT)
Teknik penelusuran gua vertical tidak terlepas dari sebuah teknik yang dinamakan Single Rope Teknik (SRT), yaitu teknik menuruni gua vertical dengan menggunakan satu tali atau tali tunggal. Teknik ini bermacam macam model tergantung dimana teknik itu ditemukan dan berkembang. Secara umum teknik SRT terbagi tiga yaitu Sit and Stand Teknik antara lain Frog Sistem dan Texas Sistem, Rope Walking Teknik antara lain : 3 Gibbs Ropewalker System, Mitchell System, A Foating Cam System, Jumar System, Frog-Floating Cam System dan perpaduan sit and stand dan rope walking contohnya penggunaan pantin dikaki pada frog system. Tetapi kita hanya akan membahas teknik Frog system karena teknik inilah yang banyak digunakan terutama di Indonesia.
Frog System mempunyai kelebihan lebih simple, ringan dan mudah digunakan dibandingkan dengan beberapa teknik yang lain. Meskipun lebih lambat dibandingkan dengan teknik Rope Walking tetapi untuk kondisi dalam gua tidak terlalu dibutuhkan kecepatan dalam memanjat tali karena medan gua yang terkadang sempit, berair atau berlumpur, rawan batu terjatuh, ini memerlukan kehati-hatian. Dibawah ini model instalasi Frog System:
Gambar Instalasi Frog System
1.2 Rappelling (Descending / Abseiling)
Teknik menuruni tali dengan menggunakan peralatan Descender. Umumnya peralatan yang digunakan adalah Bobbins (Capstand) jenis Simple atau Autostop. Kemudian menambahkan carabiner Non Screw untuk menambah friksi pada tali agar lebih mudah mengontrol laju dan merubah arah tarikan tali kesamping atau keatas.
Dibawah ini tahapan ketika akan melakukan rappelling.
1) Memasang Descender
Pasang cowstail pada carabiner anchor atau pada tali diantara main anchor dan back up anchor. Kemudian buka pintu descender lalu lilitkan tali sesuai dengan gambar yang tertera pada alat. Kencangkan tali dengan menarik tali sekuat kuatnya dan masukan tali pada carabiner friksi. Lihat gambar dibawah :
Gambar Pemasangan Descender
2) Mengontrol Laju
Pada saat melakukan Rappelling, yang harus diperhatikan adalah bagaimana mengontrol laju atau kecepatan turun.
Gambar Pengontrol Laju
3) Mengunci Descender
Mengunci dilakukan pada saat akan memasang anchor, beristirahat ditali dan kadang- kadang pada saat melewati Intermediate ,sebelum memulai Rappelling atau situasi lain yang mengharuskan kita mengunci descender. Lihat gambar dibawah :
Gambar Teknik Mengunci Descender
4) Melewati Intermediete
Yang harus dilakukan untuk melewati intermediate adalah,
a. Pelankan laju ketika mendekati Intermediate dan berhenti setelah posisi kita sejajar dengan Anchor.
b. Cantolkan Cowstail Pendek pada Carabiner Anchor, dan kalau diperlukan kunci Desceder terlebih dahulu.
c. Lanjutkan atau turunkan Descender sampai posisi badan tergantung pada Cowstail Pendek.
d. Lepaskan tali dari Descender, kemudian ambil tali dibawah Anchor, pasang kembali Descender. Untuk tetap dua pengaman jangan lepaskan Carabiner Friksi sebelum Descender berpindah ketali dibawah anchor atau memasang Jammer sebagai pengaman (kalau diperlukan).
e. Setelah itu lepaskan Cowstail Pendek dengan menginjak pijakan pada dinding gua atau menginjak Loop Intermediate dan lanjutkan Rappelling.
Gambar Teknik Melewati Intermediete
5) Melewati Sambungan Tali
a. Turun hingga Descender sampai kesimpul dengan terlebih dulu melepaskan Carabiner Friksi.
b. Pasang dan tempatkan posisi Ascender dari Carabiner Cowstail Pendek, ketika ditegangkan keatas dengan bagian atas Ascender berjarak sekitar 10 Cm.
c. Lepaskan Cowstail Panjang dari Ascender lalu cantolkan ke Loop Simpul sambungan tali.
d. Injak Foot Loop, berdiri dan pasang cowstail pendek di tali tepat bagian atas kepala Ascender.
e. Duduk dan beban akan berpindah ke Cowstail Pendek
f. Lepaskan Descender dari tali, dan pasang kembali ke tali bagian bawah simpul sambungan tail dan dikunci.
g. Berdiri dengan menginjak Foot Loop, lepaskan Cowstail Pendek dan beban akan berpindah ke Descender.
h. Lepaskan Ascender dan Cowstail Panjang dari Loop Simpul sambungan tali.
i. Lanjutkan Rappelling.
Gambar Teknik Melewati Sambungan Tali
6) Melewati Deviasi
Tekniknya lebih mudah melakukannya. Dengan cara :
a. Rappelling sampai Descender melewati atau berada sedikit dibawah posisi Anchor.
b. Cantolkan Cowstail Pendek pada carabiner deviasi dibagian dalam tali, supaya mudah melepaskan tali dari Carabiner Deviasi (lakukan langkah ini bila diperlukan)
c. Lepaskan tali dari Carabiner deviasi lalu kaitkan pada tali bagian atas Descender.
d. Lanjutkan Rappelling.
1.3 Ascending
Meniti tali keatas dengan menggunakan dua alat Ascender. Untuk Teknik Frog System menggunakan Jammer atau Basic Jammer pada bagian atas yang didorong dengan tangan dan menggunakan Croll (Chest Ascender) yang dipasang didada. Sebelum memulai meniti tali harus memperhatikan pemasangan alat yang benar. Pemasangan Croll harus benar-benar rapat kebadan, agar supaya pada saat naik Croll tetap tegak lurus yang memudahkan melewati tali. Untuk mendapatkan ikatan Chest Harness yang pas, sebaiknya memasangnya dengan sambil membungkuk atau mengencangkannya kembali setelah Croll terpasang ditali.
Gambar Teknik Melewati Sambungan Tali
Diawal kita melakukan Ascending kadang kala Croll masih susah melewati tali. Terutama kalau tali berlumpur atau agak besar diameternya. Kalau mendapatkan kondisi seperti itu, ketika berdiri tali dibawah Croll harus ditarik. Lakukan hal berkali kali hingga pada ketiggian idial, berat tali akan dapat menarik sendiri dan Croll dapat melewati tali. Bagi para pemula paling sering mengalami masalah ini, karena belum mendapatkan cara berdiri yang benar. Pada saat berdiri badan harus tegak lurus keatas dengan menempatkan posisi kaki tepat dibawah pantat. Hindarkan posisi kaki keluar atau condong kedepan pada saat berdiri. Hal yang juga dapat dilakukan yaitu dengan cara menjepit tali dengan menggunakan dua kaki. Ini lebih muda dilakukan apabila kita menggunakan Foot Loop yang menggunakan dua loop.
1) Ascending Melewati Intermedite
Dibawah ini cara melewati Intermediate :
a. Berhenti mendorong Ascender bila telah sampai pada simpul anchor dan sisakan jarak antara simpul dengan Ascender sepanjang 2-3 cm. karena kalau mentok di simpul bisa menyebabkan Ascender susah dilepaskan.
b. Cantolkan Cowstail Pendek pada Carabiner Anchor lalu lepaskan Croll dan langsung pasang pada tali yang keatas. kemudian lepaskan juga Ascender lalu pasang ketali yang keatas.
c. Lakukan ascending hingga mendapatkan posisi yang mudah melepaskan Cowstail.
d. Lanjutkan Ascending setelah melepaskan Cowstail.
Gambar Ascending Melewati Intermedite
Perhatikan posisi carabiner setelah melewati intermediate karena kadang kala akan mengalami perubahan posisi. Berbahaya apabila posisi carabiner berputar dan mendapatkan pembebanan yang tidak sebagai mana mestinya, seperti posisi horizontal bukan pembebanan yang vertical. Kalau mendapatkan hal seperti ini kembalikanlah posisi carabiner seperti sebelumnya atau pada pemasangan yang benar.
2) Ascending Melewati Sambungan Tali
Teknik melewati sambungan tali yaitu:
a. Pasang Cowstail pendek pada Loop Simpul sambungan tali apabila ascender telah sampai dekat simpul.
b. Pindahkan Ascender ke tali diatas simpul.
c. Injak Foot Loop dan berdiri sambil melepaskan Croll, lalu pasang Croll pada tali diatas simpul.
d. Lanjutkan melakukan Ascending.
Gambar Ascending Melewati Intermedite
II. RIGGING
Rigging atau teknik pemasangan lintasan pada Gua Vertical. harus memenuhi standar dibawah ini:
Aman.
2. Bisa dilewati semua anggota tim.
3. Tidak merusak Peralatan.
4. Siap digunakan untuk keadaan emergenci atau Lintasan Rescue.
Selain itu pemasangan lintasan juga harus memenuhi syarat atau aturan aturan khusus, seperti:
Hindarkan tali friksi dengan batu dan jauhkan dari lintasan air.
Mempunyai dua Anchor pada mulut gua yaitu Main Anchor dan Back Up Anchor.
Tempatkan titik anchor dimana tali bisa bergantung bebas.
Gunakan Deviasi, Intermedit atau Rope Protection untuk menghindarkan friksi tali.
Jangan melempar tali langsung kebawah tetapi masukkanlah kedalam Rope Bag dan digantung pada pemasang lintasan karena akan menyebabkan tali kusut dan tersangkut atau pemasang lintasan akan berat menarik tali ketika akan memasang Descender.
Apabila diperlukan gunakan Absorbing Knot atau Simpul Peredam Kejut antara main Anchor dengan Back Up Anchor dengan membuat simpul kupu-kupu.. Gunanya apabila Main Anchor terlepas absorbing knot akan meredam beban kejut sehingga akan mengurangi sentakan yang akan diterima oleh Back Up Anchor.
Berhati hatilah menggunakan natural anchor seperti stalagmite atau batuan yang tidak terlalu menyatu dengan dinding gua karena akan gampang pecah.
Pasang dua back up anchor apabila yang satu terlalu jauh dari main anchor. Ini bertujuan untuk menghindarkan caver berayun terlalu jauh ketika akan Rappelling.
Buatlah Y anchor untuk menambah kekuatan anchor. Perhatikanlah sudutnya, maksimalnya 120° dan idealnya 90°.
Perhatikanlah kemana arahnya tali apabila Main Anchor terlepas. Ketika beban tali berpindah ke Back Up Anchor , tali tidak mengalami friksi pada batu tajam yang dapat memotong tali.
Buatlah deviasi dan intermediate yang standar. Pemasangan deviasi yang terlalu jauh akan berakibat ketika melewatinya setelah melepas carabiner, akan sulit memasangnya kembali. Untuk melewati intermediate dibutuhkan panjang loop atau pendulum maksimal 2 meter.
Pastikan posisi anchor mudah diakses agar supaya caver dapat mudah memasang Cowstail pada Carabiner Anchor.
III. ANCHOR
Ada banyak jenis anchor yang dapat digunakan, baik itu yang tersedia di alam atau di dalam gua maupun yang sifatnya artificial. Memilih anchor atau memasang anchor haruslah hati hati, pilihlah anchor yang kuat terutama untuk natural anchor dengan pemasangan yang benar. Perhatikanlah arah tarikan tali yang tepat dan pembebanan anchor yang benar. Untuk anchor yang tidak begitu meyakinkan kekuatannya, terutama ornament gua lobang tembus yang tipis sebaiknya digunakan untuk deviasi saja. Dibawah ini beberapa jenis anchor yaitu :
4.1. Natural Anchor (Tambatan Alam)
a. Pohon. Yang harus diperhatikan untuk anchor ini adalah jenis pohon, tempat tumbuh, posisi tumbuh maupun kondisi dari pohon tersebut. Pohon yang tumbuh diatas batu gamping biasanya cukup kuat karena akarnya masuk kedalam atau menembus batuan. Besar kecil pohonnya juga harus diperhatikan.
Gambar Natural Anchor Pohon
b. Boulder (Bongkahan Batu). ini juga bisa digunakan sebagai anchor, asalkan ukurannya besar dan tidak akan bergeser apabila dibebani. Posisi boulder yang menumpuk biasanya lebih kuat karena boulder yang satu dengan yang lainnya saling menahan.
Gambar Natural Anchor Boulder
c. Lubang Tembus. Lubang tembus bisa terdapat pada dinding, lantai maupun atap goa. Bentuknya bisa horizontal atau vertical. Sebelum menggunakannya kita harus memeriksa kekerasan batuan, ketebalan dan keutuhan batuannya.
Gambar Natural Anchor Lubang Tembus
d. Flake (Lapisan Batuan). Anchor ini biasanya kita temukan pada dinding gua, yaitu berupa lapisan batuan yang menonjol kesamping.
e. Rekahan, celah yang terbentuk dari pengikisan lapisan (horizontal) maupun crek (vertikal). Untuk jenis ini kita menggunakan pengamana sisip maupun paku tebing. Bentuk celah, jenis celah, lebar celah arah penyepitan celah kondisi, permukaan bidang yang akan digunakan dan arah tarikan yang diinginkan harus diperhitungkan.
Gambar Natural Anchor Lubang Rekahan
f. Chock Stone, batu yang terjepit pada celah sehingga berfungsi seperti pengaman sisip, atau biasa disebut chock. Sebelum digunakan terlebih dahulu periksa celah dan batu yang terjepit. Untuk celah harus diperhatikan pada bentuk celah, jenis celah, lebar celah, arah penyempitan celah dan kondisi permukaan bidang (bidang friksi, kekerasan pelapis). Untuk batu yang terjepit periksa jenis dan keadaan dari bentuk dan posisi terjepitnya. Setelah itu kita tentukan arah tarikan yang akan dibuat lalu perhatikan posisi peletakan webbing pengikatnya.
Gambar Natural Anchor Chock Stone
g. Tanduk (Horn), jenis ini berupa pinggira dinding yang menonjol hasil dari air. Bentuk tonjolan harus selalu diperhatikan untuk menentukan tarikan dan teknik pemasangan webbingnya.
Gambar Natural Anchor Tanduk (Horn)
h. Ornament, biasanya hanya digunakan untuk mendapat beban horisontal (Deviasi), karena ornament ini hanya menempel pada lantai tumbuhnya. Jenis anchor ini jarang digunakan karena praktis merusak pertumbuhannya.
4.2. Artificial Anchor (Anchor buatan)
pada pembuatan lintasan apabila sudah mendapatkan atau menemukan natural anchor yang layak digunakan maka satu-satunya cara adalah menggunakan anchor buatan, antara lain:
a. Nut (Pengaman Sisip).
Alat ini biasa juga disebut dengan pengaman sisip. Ada banyak jenis alat ini dan juga dibedakan dengan beberapa ukuran. Untuk kegiatan caving sebaiknya digunakan yang ukuran besar dan harus digunakan dengan benar. Haxentric Roc (wedge) Stopper
Gambar Nut (Pengaman Sisip)
b. Piton (Paku Tebing).
Untuk memasang piton haruslah ada rekahan pada dinding baik yang horizontal maupun yang vertical.
Gambar Pemasangan Piton
c. Bolts / Spit (Mata Bor) Dan Hanger
Gambar Bolts (Mata Bor) & Hanger
Berdasarkan posisi dan urutan penerimaan beban maka anchor dibagi atas :
1) Main Anchor, anchor utama, yaitu anchor yang secara langsung mendapatkan beban saat lintasan digunakan
2) Back-Up, berfungsi sebagai cadangan jika main anchor terlepas atau jebol, jumlah anchor ini bisa lebih dari satu, dan nilai kekuatannya harus lebih besar dari main anchor.
Penempatan posisi Back-Up harus tetap memperhatikan keamanan tali dari friksi dan kerusakan lainnya ketika main anchor jebol.
IV. TAHAPAN RIGGING
4.1. Packing Tali
Sebelum memulai melakukan rigging tali harus dimasukkan kedalam Rope Bag (tas tempat tali), yang sebelumnya ujung tali disimpul dengan menggunakan simpul delapan. Dibawah ini cara memasukkan tali kedalam rope bag :
Gambar Packing Tali
4.2. Mendekati Mulut Gua
Amati kondisi mulut gua. Untuk menetukan disebelah mana kita akan turun harus memperhatikan posisi yang paling aman melakukan rigging. Hindari tampat lintasan air yang kemungkinan akan masuk kedalam gua apabila terjadi hujan. Bersihkan atau amankan mulut gua dari batu atau ranting yang kemungkinan bisa terjatuh nanti.
4.3. Periksa Kedalam pitch
Sebelum melakukan penelusuran sebaiknya kita mengetahui atau memperkirakan kedalaman pitch yang akan kita turuni. Ini penting agar supaya kita bisa memperkirakan berapa jumlah peralatan yang akan kita bawa. Untuk jarak tertentu mungkin dapat kita perkirakan dengan melihat langsung sebatas cahaya matahari masuk kedalam gua atau sebatas jangkauan cahaya headlamp. Cara yang bisa juga kita gunakan yaitu dengan melemparkan batu kedalam mulut gua, dan menghitung berapa lama (detik) saat batu dilempar dan saat terdengar suara batu menghantam dasar pitch. Lihat tabel estimasi kedalaman dibawah ini:
Tabel Estimasi Kedalaman
Waktu
(Detik) Max Kedalaman
5 X T2 (m) Kedalaman Actual
(m)
2 20 19
2,5 30 29
3 45 41
3,5 60 55
4 80 71
4,5 100 88
5 125 108
6 180 151
7 245 210
8 320 257
9 405 319
10 500 386
4.4. Buat Back Up Anchor
Berfungsi sebagai cadangan jika main anchor , jumlah anchor ini bisa lebih dari satu, dan kekuatannya harus lebih besar dari main anchor. carilah tempat pemasangan yang kuat. Disekitar mulut gua sebaiknya gunakan pohon sebagai back up anchor, boulder atau pasang dua spit untuk Y anchor. Apabila jarak antara back up anchor dan main anchor terlalu jauh pasang anchor lagi (back up kedua) sebelum main anchor. Ini berguna agar caver tidak berayun jauh saat akan turun.
Gambar Back Up Anchor
4.5. Buat Main Anchor (Anchor Utama)
yaitu anchor yang secara langsung mendapatkan beban saat lintasan digunakan. Tempatkan posisi main anchor dimana tali akan dapat bergantung bebas dan ketika main anchor terlepas arah jatuhnya tali tidak mengalami friksi pada batuan yang tajam yang dapat memotong tali. Kalau itu tidak bisa dihindari buatlah dua anchor atau gunakan Y anchor .
Gambar Main Anchor
4.6. Perhitungkan Fall Faktor
Hal ini adalah salah satu yang harus diperhatikan dalam pemasangan anchor. Ini berguna untuk menghindari beban sentak yang terlalu besar ketika main anchor telepas karena bisa menyebabkan back up anchor terlepas atau pinggang kita tidak kuat menerima sentakan yang bisa mengakibatkan cedera. Rumus fall faktor adalah Jarak Jatuh / Panjang Tali. Untuk caving yang menggunakan tali static fall faktor maximal FF.
Gambar Perhitungan Fall Faktor
Dibawah ini cara pemasangan back up anchor dan main anchor yang memperhatikan atau memperhitungkan FF nya.
Gambar Cara Pemasangan Back Up Anchor
4.7. Membuat Intermediete
Ini dilakukan apabila terjadi friksi pada tali. Perhatikanlah panjang pendulum. Terlalu pendek akan susah dilewati, terlalu panjang akan berbahaya apabila anchor terlepas karena caver akan jauh terjatuh kebawah. Ukuran idialnya adalah 2m.
Hindari sambungan tali dekat dengan intermediate karena akan menguras tenaga dan waktu. Untuk menghindari itu buatlah sambungan tali pada anchor intermediate, dengan cara mengaitkan kedua loop simpul dan sisa talinya digulung.
Gambar Pembuatan Intermediete
4.8. Deviasi
Sama fungsinya dengan intermediate, yaitu mengindarkan tali dari friksi dengan batu. bedanya dengan intermediate tali tidak dibuat ancor tetapi dibuat dengan cara menarik tali kesamping menjauh dari batu. Deviasi menggunakan sling yang diujungnya dipasang carabiner yang dikaitkan ketali.
Yang harus diperhatikan dalam membuat deviasi yaitu besaran sudutnya. Semakin besar sudut deviasi semakin besar juga beban masuk ke anchor. Umum digunakan 15° atau sebaiknya 10° - 30°. Hal lain yang penting juga adalah jarak tali kedeviasi jangan terlalu jauh karena akan susah dilewati.
Gambar Pembuatan Deviasi
4.9. Tyroliens
Biasa juga disebut lintasan traverses atau lintasan tali tegang . lintasan ini terdiri dari dua jenis yaitu tyrolien horizontal dan tyrolien sloping. Tyrolien dibuat untuk menyeberangi sungai, melewati air terjun dan daerah yang curam didalam gua terutama untuk rescue.
Gambar Tyroliens
Ada beberapa teknik menegangkan tali, yaitu dengan menggunakan Italian hitch untuk menahan tali pada saat melakukan Z Rigg sekaligus sebagai anchor atau dengan menggunakan Autostop (penggunaan Auto Stop hanya pada kondisi tertentu seperti rescue) sebagai pengganti Italian hitch. Lihat gambar dibawah ini :
Gambar Teknik Menegangkan Tali
V. SELF RESCUE
Teknik Rescue sangat sulit dan kompleks. Ini memerlukan banyak latihan, banyak belajar dan mencoba banyak Teknik Rescue. Mahir melakukan teknik rescue pada saat latihan bukan menjadi jaminan anda akan mampu melakukan rascue pada kondisi yang sebenarnya. Faktor mental sangat berpengaruh. Persiapkanlah diri anda mengahadapi kondisi ini.
Perbanyaklah teknik rescue yang anda miliki dan rajinlah berlatih dengan mengulang-ulang teknik yang anda telah kuasai. Pada dasarnya seseorang yang mulai memasuki gua gua vertical tanpa mengetahui teknik rescue bisa dikatakan orang itu adalah caver yang tidak bertanggung jawab.
Bekali juga diri anda dengan pengetahuan medical practice karena juga akan sangat berguna. Terutama bagaimana mengenali kondisi korban dan cara pemberian pertolongan pertama. Sebelum melakukan tindakan, buatlahlah keputusan tentang teknik apa yang akan anda gunakan.dibawah ini ada beberapa kemungkinan tindakan atau teknik bisa anda lakukan antara lain :
5.1. Mendekati Korban
langkah inilah yang pertama harus dilakukan. Untuk kondisi korban yang tergantung di tali kita harus melakukan Rappelling untuk mendekati korban. Ini akan mudah apabila ada tali cadangan yang tersedia. Tetapi kalau tidak anda terpaksa harus menggunakan tali yang digunakan korban. Dengan kondisi tali yang tegang tentunya akan susah untuk meniti tali. Teknik yang lebih mudah adalah turun dengan memanfaatkan peralatan untuk naik dengan cara menggeser kebawah secara bergantian Jammer dan Croll.
Kelemahan teknik ini adalah lambat dalam meniti tali kebawah. Teknik lain yang bisa lebih cepat yaitu Rappelling tali tegang dengan menggunakan simple atau autostop dengan cara tertentu. Yaitu tali dimasukkan kedalam Descender tidak melewati dua bulatan kumparan Descender (seperti pemasangan normal) melainkan dimasukkan diantara sela dua bulatan.
Teknik yang menggunakan simple dimana lubang cantolan carabiner pada simple dipasang dua carabiner tidak bisa dilakukan untuk simple yang buatan sekarang karena lubangnya kecil hanya bisa masuk satu carabiner (Untuk Simple jenis ini ikuti teknik menggunakan Auto Stop). Lihat gambar dibawah ini :
Gambar Teknik Menggunakan Auto Stop
5.2. Melepaskan Korban Dari Tali Dan Membawa Turun
Ada beberapa macam teknik mengenai hal ini. Yaitu :
a. Metode Foot Loop Dan Croll, caranya :
Bergeraklah ke posisi korban
Cantolkan Cowstail Pendek ke bagian bawah Maillon Rapide (MR) korban sebagai pengaman.
Lepaskan Ascender penolong dari tali .
Lepaskan Footloop dan Carabinernya dari Jammer lalu masukkan bagian tengah Footloop ke Carabiner Jammer korban, lalu Carabiner Footloop dicantolkan pada lubang atas Croll dan bagian sisi Footloop dekat Loop dimasukkan kedalam Croll penolong. Sisakan jarak antara Carabiner Footloop dengan Carabiner Jammer korban sepanjang 10 cm.
Injak Footloop korban, berdiri sambil menarik Footloop untuk menaikkan posisi Croll lebih keatas hingga pada posisi yang diinginkan.
Dorong pantat korban keatas. Dorongan tangan akan membantu Footloop menarik korban keatas hingga Croll korban mulai tidak terbebani. Pasang Descender, kencangkan talinya, lalu kunci.
Lepaskan Croll korban dan buka kunci descender. Kemudian kencangkan descender lalu kunci kembali . Injak footloop korban, berdiri sambil melepaskan Croll penolong, Footloop dari Carabiner Jammer korban dan Croll korban.
Setelah itu pasang dua carabiner dikaitkan ke maillon rapide penolong dan maillon rapide korban yang fungsinya sebagai tempat menggantung penolong dari korban.
Lepaskan Jammer, lepaskan kunci Descender lalu bawa korban turun.
Gambar Teknik Membawa Korban Turun
5.3. Metode Counterweight Dengan Cowstail Panjang.
Caranya yaitu :
Mendekatlah keposisi korban.
Cantolkan Carabiner ke bagian bawah Maillon Rapide korban
Lepaskan Jammer penolong dari tali, lalu lepaskan Cowstail Panjang dari Jammer.
Pasang Carabiner Cowstail Panjang pada lubang bagian atas Croll. Berdiri dengan menggunakan Footloop korban lalu kaitkan bagian tengah Cowstail panjang ke Carabiner Jammer korban. Sisakan jarak 10 cm antara carabiner cowstail dengan carabiner jammer.
Lepaskan Croll penolong. Selanjutnya beban penolong bepindah ke cowstail panjang.
Dorong pantat korban keatas, dorongan tangan akan membantu tarikan Cowstail Panjang menarik korban keatas, hingga Croll korban kendur atau tidak terbebani.
Pasang Descender lalu kunci. Lepaskan Croll korban. Buka kunci Descender kencangkan talinya lalu kunci kembali.
Berdiri dengan menginjak Foot Loop korban, lepaskan Carabiner Cowstail panjang dari lubang bagian atas Croll korban, lepaskan bagian tangah Cowstail panjang dari Carabiner Jammer Korban.
Pasang dua buah Carabiner lalu kaitkan ke Maillon Rapide penolong kemudian kaitkan lagi ke Maillon Rapide korban (berfungsi tempat menggantung penolong dari korban).
Lepaskan Jammer, lalu bawa turun korban.
Gambar Teknik Counterweight Dengan Cowstail Panjang
5.4. MEMOTONG TALI
Caranya yaitu :
Mendekatlah keposisi korban lalu cantolkan Cowstail pendek penolong ke Maillon Rapide korban.
Lepaskan Cowstail panjang korban dari Jammer. Biarkan Footloop korban tetap pada tempatnya.
Jika penolong bergerak dari bawah sebaiknya membawa ujung tali keatas pada saat naik dan ujung tali tersebut yang di cantolkan ke jammer setelah dibuat simpul delapan. Tetapi jika penolong bergerak dari atas kebawah pada saat mendekati korban buatlah loop sekitar dua meter lalu buat simpul delapan dan cantolkan ke carabiner jammer.
Perhatikan jarak antara Jammer dan Croll korban, yaitu minimal 30 cm.
Pasanglah Descender pada tali yang baru terpasang tadi lalu dikunci.
Doronglah Descender korban keatas apabila akan mengencangkan tali antara Jammer dan Descender.
Pasang kembali Jammer penolong untuk mendapatkan posisi yang sejajar dengan korban. hal ini dilakukan untuk memudahkan kita memotong tali.
Ambil pisau dan potonglah tali tepat diatas Croll korban.
Injak Foot Loop korban untuk melepaskan Jammer penolong.
Pasang dua Carabiner lalu kaitkan ke Maillon Rapide penolong dan Maillon Rapide korban yang fungsinya sebagai tempat menggantung penolong dari korban.
Beban akan berpindah ke descender korban. Selanjutnya penolong melepaskan kunci descender lalu membawa korban kebawah.
Gambar Teknik Memotong Tali Korban
5.5. Membawa Turun Korban Melewati Intermediete
Caranya yaitu :
Turunlah dengan membawa korban dan berhenti ketika Descender sejajar dengan Anchor, lalu kuncilah Descender.
Pasang satu lagi Descender kemaillon rapide korban bersebelahan dengan descender yang pertama. Ambil tali yang dibawah anchor pasang ke descender yang kedua lalu kunci.
Lepaskan kunci descender yang pertama, ulurkan talinya hingga beban berpindah ke descender yang kedua. Lepaskan tali dari descender yang pertama dan turunlah dengan descender kedua.
Gambar Membawa Turun Korban Melewati Intermediete
5.6. Melewati Sambungan Tali.
Caranya yaitu :
Berhenti dua meter diatas simpul dan kunci Descender. Buat Simpul Delapan dekat simpul sambungan tali lalu loopnya masukkan ke Carabiner Jammer.
Pasang Jammer yang telah disambungkan dengan Loop simpul tadi ke tali diatas Descender.
Ambil Descender yang kedua lalu pasang ke Maillon Rapide korban bersebelahan dengan Descender yang pertama. Pasang Descender kedua ketali dibawah simpul yang tercantol pada Jammer dan kunci.
Dorong Jammer keatas untuk mengencangkan tali antara Descender dengan Jammer.
Lepaskan kunci Descender yang pertama, kendurkan talinya sampai beban berpindah ke descender yang kedua.
buka kunci descender pertama dan lepaskan dari tali. Buka kunci descender kedua dan rappelling dengan membawa korban kebawah.
Gambar Melewati Sambungan Tali
Rabu, 02 Desember 2009
ANALISIS KINERJA BIROKRASI PEMERINTAH (STUDY KASUS PADA DINAS PENDIDIKAN KABUPATEN BONE)
ABSTRAK
Penelitian ini bertjuan untuk mengetahui kinerja birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan tingkat efesiensi organisasi, kerja, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan, serta faktor pendukung dan penghambat kinerja birokrasi pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone.
Populasi penelitian ini adalah keseluruhan pegawai dinas pendidikan kabupaten bone sebanyak 109 orang, selanjutnya dilakukan penarikan sampel sebanyak 49 orang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja birokrasi berada taraf baik. Hal ini terutama terlihat pada semua variabel penelitian, yakni, efesiensi, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan. Faktor pendukung kinerja birokrasi antara lain; tingkat kerjasama yang solid, hubungan vertical dan horizontal yang harmonis, serta dukungan dari pemerintah dan masyarakat yang cukup memadai. Faktor penghambat antara lain, alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai relatif rendah, kurangnya inisiatif dari dinas untuk menyusun program pengembangan pegawai, pola pengembangan pegawai saat ini masih sangat sentralistik, inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri masih rendah; dan jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan jumlah pegawai yang dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan.
Implikasi yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini seperti berikut; (1) perlu rasionalisasi pegawai dan penataan struktur organisasi dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, (2) Pengelolaan organisasi birokrasi yang hanya menekankan pada pendekatan prosedur harus disempurnakan melalui perubahan visi, misi, pendekatan, strategi dan kegiatan operasional agar dapat tercipta, kerjasama tim yang prima, hubungan kerja berdasarkan pendekatan partisipasi dan kelompok kerja (teamwork) guna dapat mencapai misi organisasi yang efisiensi, efektif dan berkeadilan kearah yang lebih baik
DAFTAR ISI
PRAKATA iii
ABSTRAK iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 9
C. Tujuan Penelitian 9
D. Manfaat Penelitian 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 11
A. Administrasi Pembangunan dan Reformasi Administrasi 11
B. Arah Perkembangan Administrasi Publik 16
C. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa 24
D. Konsep Kinerja 28
E. Kinerja Organisasi Birokrasi 32
F. Kualitas Individu dan Pembelajaran Organisasi 40
G. Efesiensi, Efektivitas dan Kesehatan Organisasi Birokrasi 44
H. Kerangka Pikir 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 51
A. Jenis Dan Lokasi Penelitian 51
B. Variabel, Definisi Operasional, Indikator dan Pengukuran Variabel 52
C. Populasi dan Sampel 54
D. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data 55
E. Analisis Data 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 57
A. Kinerja Dinas Pendidikan 57
B. Efesiensi Organisasi 60
C. Kepuasan Kerja Organisasi 64
D. Kerjasama Tim 67
E. Hubungan Kerjasama Pimpinan dengan Bawahan 72
F. Faktor Pendukung dan Penghambat 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 80
A. Kesimpulan 80
B. Saran-saran 82
DAFTAR PUSTAKA 83
LAMPIRAN 87
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Persepsi Responden tentang Tingkat Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 57
2. Persepsi Responden tentang Tingkat Efisiensi Organisasi Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 61
3. Persepsi Responden tentang Tingkat Kerjasama Tim Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 68
4. Persepsi Responden tentang Tingkat Hubungan Kerja Antara Pimpinan dan Bawahan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 72
DAFTAR GAMBAR
Gambar Uraian Halaman
1. Jenis Sasaran dan Kinerja Organisasi Yang Ingin Dicapai 31
2. Metode Analisis Kinerja Birokrasi Pemerintah: (Kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone) 50
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Angket Penelitian 86
2. Pedoman Wawancara 92
3. Skor Angket Penelitian 94
4. Univariate Procedure 102
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan paradigma studi ilmu administrasi negara sangat cepat dan mengikuti perubahan lingkungan yang mempengaruhinya. Seperti studi yang sistematis yang dilakukan oleh Nicholas Henry (1995) yang mengelompokkan paradigma administrasi negara atas; (a) dikhotami politik administrasi, (b) paradigma prinsip-prinsip administrasi negara, (c) paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik, (d) paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi, dan (e) paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi negara sampai pada tahun 1970. Setelah tahun 1970, paradigma administrasi negara berkembang menjadi paradigma administrasi pembangunan (J.B Kritiadi:1997). Dalam paradigma ini peran pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang sangatlah besar. Oleh karena itu menurut Abdullah (1984) peran administrasi pembangunan dalam proses pembangunan adalah sebagai ”Agen of Change”. Hal ini berarti proses perencanaan, perumusan kebijaksanaan, implementasi dan pengendalian pelaksanaan pembangunan semuanya dilakukan oleh pemerintah.
Studi yang dilakukan oleh David Osborne dan Gaebler (1992) menggugat tesis tersebut, bahwa pemerintah tidaklah cukup mampu untuk melakukan sendiri kegiatan sektor publik; pemerintah tidak memiliki cukup biaya untuk membiayai kegiatan sektor publik. Oleh karena itu keterlibatan unsur swasta, masyarakat dan kelembagaan masyarakat lainya dalam menyelenggarakan sektor publik merupakan pilihan tepat untuk menciptakan efisiensi, efektifitas, pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dari sinilah peran pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan sektor publik berubah, dimana tidak hanya pemerintah yang terlibat dalam proses pembangunan, tetapi pihak swasta, kelembagaan masyarakat dan LSM merupakan tiga pilar utama yang harus berperan aktif dalam melakukan proses pembangunan.
Salah satu fungsi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka organisasi birokrasi harus profesional, tanggap, aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang dilayani. Seiring dengan hal tersebut pembinaan aparatur negara dilakukan secara terus menerus, agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintah maupun untuk menggerakkan pembangunan secara lancar dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian terhadap masyarakat.
Seiring dengan hal tersebut Abdullah (1984) mengatakan bahwa determinan penting untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah adalah dibutuhkan ”Infra-Struktur Admnistrasi” yang memiliki kesiapan dan ketangguhan pada semua tingkatan dan tahapan yang meliputi : (a) organisasi pelaksana yang berintikan birokrasi yang mantap dan tangguh; (b) sistem administrasi atau tata laksana yang efektif dan efisien; dan (c) susunan aparatur atau personalia yang berkemampuan tinggi dari segi profesional, orientasional yang disertai rasas dedikasi yang tinggi. Hal ini berarti bahwa kinerja birokrasi pemerintah dalam merencanakan, mengimplementasikan dan evaluasi serta pengendalian proses pembangunan dan pelayanan masyarakat sangat ditentukan oleh faktor kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia, aparatur dan dukungan sarana dan prasarana yang tersedia.
Sorotan tajam tentang kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik menjadi wacana yang aktual dalam studi administrasi negara akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan dan pada sisi lain munculnya konsep privatisasi, swastanisasi, kontak kerja yang pada intinya ingin meminimalkan campur tangan pemerintah yang terlalu besar dalam pelayanan publik (Savas, 1983, Osborne, 1992).
Studi yang dilakukan oleh Savas (1983), LAN Jawa Barat (1999) menunjukkan bahwa kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik lebih rendah ketimbang yang dilakukan oleh pihak swasta atau kelembagaan masyarakat lainnya. Bahkan Savas mengatakan bahwa tugas pemerintah adalah mengarahkan bukan mengayuh perahu. Memberikan pelayanan adalah mengayuh dan pemerintah tidaklah pandai mengayuh.
Di kalangan masyarakat masih terdapat keluhan berbagai pelayanan pemerintah (birokrasi) bahkan pameo masyarakat mengatakan bahwa kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah dan bila ada pilihan lain untuk mendapat KTP selain dari Kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan, maka saya akan memilih ke Supermaket karena disana pegawainya ramah, suka senyum, menanyakan apa yang dapat dibantu. Sebaliknya kalau anggota warga masyarakat ke kantor Kelurahan atau Kecamatan sangat paradoksal dengan apa yang terjadi di Supermaket untuk mendapat pelayanan (Zanapiha, 1999).
Selama ini seperti yang diakui oleh Moestopadidjaja (1997) bahwa pelayanan publik oleh birokrasi cenderung dipersulit, prosedur berbelit-belit, rendahnya ketidakpastian waktu pelayanan. Gejala ini oleh Bryant dan White (1987) sebagai suatu gejala ketidak mampuan administratif, umumnya terjadi di Negara-negara sedang berkembang.
Penilaian kinerja birokrat pemerintah selama ini cenderung didasarkan pada faktor-faktor input seperti jumlah pegawai, anggaran, peraturan perundangan dan termasuk pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan; dan bukan pada faktor-faktor output atau outcomes-nya, misalnya tingkat efisiensi biaya, kualitas layanan, jangkauan dan manfaat pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik masih terdapat berbagai masalah antara lain perbedaan antara kinerja yang diharapkan (intended perfomance) dengan praktek sehari-hari (actual perfomance), perbedaan antara tuntutan kebutuhan masyarakat dengan kemampuan pelayanan aparatur pemerintah, perbedaan antara keterbatasan sumber daya anggaran pemerintah dengan kebocoran pada tingkat pelaksanaanya (LAN Jawa Barat, (1999). Studi lainnya dilakukan oleh Hardjo Soekarto (1999) menunjukkan bahwa pelayanan publik selama ini masih menunjukkan mental model birokrat sebagai yang di layani oleh masyarakat, bukan justru sebaliknya aparat yang harus melayani masyarakat. Hal ini terjadi karena pendekatan kekuasaan birokrasi lebih dominan ketimbang keberadaan aparatur sebagai pelayan masyarakat. Kekuasaan birokrat sangat kuat sekali dan bahkan tak ada organisasi sosial kemasyarakatan yang mampu mengontrolnya sehingga praktek penyelenggaraan pelayanan publik selama ini yang menjadi beban masyarakat dan birokrat cenderunng melakukan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Mohammad, 1999).
Sementara itu peran aparatur negara (birokrasi) sejak beberapa dekade yang lalu lebih disiarkan sebagai penyandang dua peran yaitu sebagai Abdi Negara dan sebagai Abdi masyarakat dan peran sebagai abdi negara menjadi sangat dominan ketimbang peran sebagai abdi masyarakat. Siklus pelayanan lebih berakses ke kekuasaan birokrasi ketimbang melayani masyarakat. Akibatnya aparatur cenderung melayani dirinya sendiri dan meminta layanan dari masyarakat (Thoha, 1993, Idrus, 1995). Berkaitan dengan hal ini Kaufman (1976) mengatakan bahwa tugas aparatur sebagai pelayan harus lebih diutamakan terutama yang berkaitan dengan mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan masyarakat, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan publik.
Berdasarkan studi yang dilakukan LAN Sulsel (1997) menunjukkan bahwa pelayanan aparat birokrat terhadap masyarakat/ dunia usaha masih menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya 4.396 jenis pungutan yang dilakukan aparatur mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dari jumlah pungutan tersebut, sekitar 27% dari total biaya produksi dialokasikan untuk memperoleh pelayanan aparatur. Hal ini menunjukkan birokrat menjadi penghambat bagi tumbuhnya daya asing masyarakat itu sendiri.
Tjokroamidjojo (1988) mengidentifikasi ada empat faktor besar yang menghambat efisiensi administrasi negara (birokrasi), yaitu : (1) kecenderungan membengkaknya birokrasi baik dalam arti struktur maupun luasnya campur tangan terhadap kehidupan masyarakat, (2) lemahnya kemampuan manajemen pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, dan pengawasan, dan (3) rendahnya produktivitas pegawai negeri. Sementara Siagian (1987), mengidentifikasikan ada tiga jenis kelemahan yang melekat pada pegawai negeri (birokrat) kita, adalah (1) kemampuan manajerial, yaitu kurangnya kemampuan memimpin, menggerakkan bawahan, melakukan koordinasi dan mengambila keputusan, (2) kemampuan teknis, yaitu kurangnya kemampuan untuk secara terampil melakukan tugas-tugas, baik yang bersifat rutin, maupun yang bersifat pembangunan, dan (3) kemampuan teknologis, yaitu kurangnya kemampuan untuk memanfaatkan hasil-hasil penemuan teknologi dalam pelaksanaan tugas.
Penelitian LAN Perwakilan Sulawesi Selatan (2000) tentang tingkat kemampuan tenaga perencana Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan tenaga perencana pembangunan masih rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya iklim organisasi yang mendukung berkembangnya kemampuan pegawai, tak ada kebijakan tentang jabatan fungsional perencana dan rendahnya penghargaan pemerintah terhadap jabatan tersebut sehingga motivasi tenaga perencana untuk mengembangkan diri masih rendah. Studi lain adalah yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa profesionalisme pegawai rendah, baik dilihat dari tingkat pendidika, pengalaman, produktivitas kerja, ataupun disiplin kerja terbukti rendah (PPK-UGM, 1991/1992:2). Penelitian yang sama oleh FISIPOL-UGM pada kantor Bappeda di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lombok menemukan bahwa penampilan Bappeda sangat dipengaruhi oleh para aparatnya dalam menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi; juga oleh tingkat profesionalisme pegawai, organisasi dan mutu kepemimpinan dalam lembaganya (FISIPOL-UGM, 1991:4).
Studi empiris lain yang berkaitan dengan kinerja organisasi pemerintah dilihat dari pendekatan proses misalnya penelitian yang dilakukan oleh Baddu (1994), suatu analisis tentang prestasi kerja dan hubungannya dengan kepuasaan dan semangat kerja pada Kantor Setwilda Tk. I Sul-Sel, penelitian yang dilakukan oleh Thahir, M.M. (1997), suatu analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai pada kantor Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang.
Beberapa penelitian empiris di atas baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh kalangan akademik menunjukkan bahwa penelitian tentang kinerja birokrasi pemerintah dilihat dari sudut pendekatan proses masih bersifat parsial, yaitu hanya berkaitan dengan analisis pada tingkat individu pegawai, tetapi belum melihat secara komprehensif dari sudut kinerja birokrasi pemerintah secara keseluruhan.
Semua ini menunjukkan bahwa kerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih memerlukan kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh sehingga peran birokrasi sebagai instrumen masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dapat diwujudkan.
Kasus pelayanan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten khususnya di Kabupaten Bone menarik dikaji terutama yang berkaitan dengan perumusan kebijakan, implementasi, pengendalian dan evaluasi melibatkan birokrat daerah (lokal). Disamping itu pula pelayanan pendidikan ini menyentuh kebutuhan seluruh masyarakat.
Penelitian ini diarahkan untuk mengevaluasi dan menjelaskan fenomena kinerja birokrasi pemerintah kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dengan menggunakan pendekatan proses (internal process approach), terutama memahami dan menjelaskan fenomena dalam hal efisiensi pelayanan, kerja, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan. Variabel kinerja ini penting diteliti karena didasarkan atas alasan bahwa kinerja output yang diberikan kepada lingkungan akan sangat tergantung pada tinggi rendahnya kinerja proses. Hal ini berarti organisasi birokrasi pemerintah tak dapat meningkat kebertanggungjawabannya (accountability), kepercayaan, menciptakan keadilan, efektivitas eksternal dan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja eksternalnya tanpa memiliki kinerja internal yang baik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone ?
2. Faktor apa yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kinerja birokrasi pemerintahan khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone
2. Untuk mengetahuai faktor yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
D. Manfaat Penelitian
1. Secara akademik; sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang mengkaji kinerja birokrasi pemerintah pada masa yang akan datang .
2. Secara metodologi; penelitian ini memperkaya indikator pengukuran tentang kinerja birokrasi pemerintah khususnya dilihat dalam sudut pandang pendekatan proses.
3. Secara praktis; penelitian ini dapat menjadi bahan untuk evaluasi kinerja instansi Pemerintah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menyempurnakan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masa datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Administrasi Pembangunan dan Reformasi Administrasi
Seperti yang diakui oleh Kristiadi (1994) bahwa administrasi pembangunan sebenarnya merupakan salah satu paradigma admnistrasi negara yaitu paradigma yang berkembang setelah ilmu administrasi negara sebagai ilmu administrasi pada sekitar tahun 1970. Mengacu dari kerangka perkembangan administrasi pembangunan seperti tersebut di atas, Kristiadi memberi pengertian tentang Administrasi Pembangunan adalah ”Administrasi Negara yang mampu mendorong kearah proses perubahan dan pembaharuan serta penyesuaian”. Oleh karena itu administrasi pembangunan juga merupakan pendukung perencanaan dan implementasinya.
Masalah yang serius dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah lemahnya kemampuan birokrasi dalam menyelenggarakan pembangunan. Dari latar belakang ini, maka administrasi pembangunan yang berkembang di negara-negara sedang berkembang memiliki perbedaan ruang lingkup dan karakteristik dengan negara-negara yang telah maju. Dasar inilah Bintoro Tjokroamidjojo (1995) mengemukakan bahwa administrasi pembangunan mempunyai tiga fungsi:
Pertama, penyusunan kebijaksanaan penyempurnaan administrasi negara yang meliputi: upaya penyempurnaan organisasi, pembinaan lembaga yang diperlukan, kepegawaian dan pengurusan sarana-sarana administrasi lainnya. Ini disebut the development of administration (pembangunan administrasi), yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “Administrative Reform” (reformasi admnistrasi).
Kedua, perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-programa pembangunan di berbagai bidang serta pelaksanaannya secara efektif. Ini disebut the administration of development (Administrasi untuk pembangunan). Administrasi untuk pembangunan (the development of administration) dapat dibagi atas dua; yaitu; (a) Perumusan kebijaksanaan pembangunan, (b) pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan secara efektif.
Ketiga, pencapaian tujuan-tujuan pembangunan tidak mungkin terlaksana dari hasil kegiatan pemerintahan saja. Faktor yang lebih penting adalah membangun partisipasi masyarakat.
Seperti yang diuraikan di atas bahwa administrasi pembangunan adalah administrasi negara yang cocok diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang, namun Bintoro Tjokroamidjojo membedakan bahwa administrasi pembangunan lebih banyak memberika perhatian terhadap lingkungan yang berbeda-beda, terutama lingkungan masyarakat yang baru berkembang. Sedangkan administrasi pembangunan berperan aktif dan berkempentingan terhadap tujuan-tujuan pembangunan, sedangkan dalam ilmu administrasi negara bersifat netral terhadap tujuan-tujuan pembangunan. Administrasi pembangunan berorientasi pada upaya yang mendorong perubahan-perubahan kearah ke keadaan yang lebih baik dan berorientasi mada depan, sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada pelaksanaan kegiatan secara efektif/tertib, efisien pada masing-masing unit pemerintahan.
Administrasi pembangunan berorientasi pada pelaksanaan tugas-tugas pembangunan yaitu kemampuan merumuskan kebijakan pembangunan sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada tugas-tugas rutin dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Administrasi pembangunan mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan-tujuan pembangunan diberbagai bidang, Ilmu administrasi negara lebih memperhatikan pada kerapihan/ketertiban aparatur administrasinya sendiri. Administrator pada administrasi pembangunan merupakan penggeraka perubahan (change agent), sedangkan administrator pada administrasi pembangunan berorientasi pada lingkungan, kegiatan dan pemecahan masalah sedangkan pada administrasi negara lebih bersifat legalitas.
Reformasi administrasi atau pembaharuan administrasi dilakukan karena ketidakmampuan administratif untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya. Studi yang dilakukan Heady (1995), menemukan lima ciri yang umum administrasi publik di negara-negara berkembang, yaitu: (1) pola dasar (basic pattern) administrasi publik bersifat ciplakan (imitative) daripada asli (indigenous), (2) birokrasi di negara berkembang kekurangan (difficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Yang justru kurang adalah administrator yang terlatif dengan kapasitas manajemen, keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills) dan penguasaan tesis yang kurang memadai, (3) birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding dengan pencapaian sasaran program. Dari sifat seperti ini lahir Nepotisme, korupsi dan penyalagunaan wewenang, (4) adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang hendak ditampilkan dengan kenyataan. Fenomena ini oleh Rigss disebut formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang pada wujud-wujud dan ekspresi formal dibanding dengan sesungguhnya, dan (5) Birokrasi di negara berkembang acapakali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat.
Dari fenomena dan wajah administrasi publik ini, maka reformasi atau pembaharuan administrasi publik menjadi suatu tuntutan dan keharusan. Berdasarkan kasus administrasi negara di Indonesia oleh Bintoro (1999) mengajukan pada: (a) reformasi kearah sistem politik yang demokratis, partisipatif dan egalitarian, (b) reformasi ABRI (TNI) sebagai birokrasi pemerintahan, (c) reformasi sistem pemerintahan yang sentralistik kearah desentralisasi, dan (d) reformasi terhadap upaya penciptaan clean goverment. Pada bukunya yang lain, Bintoro Tjokroamidjojo (1998), mengatakan bahwa pembangunan administrasi publik atau reformasi birokrasi pemerintah diarahkan pada program-program sebagai berikut: (1) deregulasi dan debirokratisasi ekonomi serta dekonsetrasi dan desentralisasi pemerintah, (2) meningkatkan efisiensi birokrasi (termasuk mengurangi pungutan-pungutan tak resmi), (3) mutu, orientasi, pelayanan dan pemberdayaan birokrasi, (4) sistem karier dan efektivitas birokrasi, (5) kesejahteraan pegawai dan pelayanan administrasi kepegawaian.
Menurut Riggs (1996), pembaharuan administrasi merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan efektivitas pemanfaatannya sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Birokrasi itu sendiri menurut pandangan Riggs, merupakan sebuah organisasi yang konkrit, terdiri dari peran-peran yang bersifat hirarkis dan saling berkaitan, yang bertindak secara formal sebagai alat (agent) untuk suatu kesatuan (entity) atau sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian menurut pandangan ini, tujuan dari birokrasi ditetapkan oleh kekuasaan di luar kewenangan birokrasi itu sendiri. Atas dasar ini, maka kebertanggungjawaban (accountability) dari birokrasi dalam menjalankan tugasnya sangat esensial sifatnya. Oleh karena itu, pembaharuan administrasi akan berkaitan erat dengan peningkatan kebertanggungjawaban dalam proses pengambilan keputusan atau dalam hal bagaimana sumber daya instrumental dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs melihat pembaharuan administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara struktural Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran-peran yang makin terspesialisasi (role spesealization) dan pembagian pekerjaan yang makin tajam dalam masyarakat modern. Sedangkan mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja organisasi secara keseluruhan. Ia menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork dalam mencapai tujuan.
Sementara Wallis dalam Ginanjar (1997) mengartikan pembaharuan admnistratif sebagai dalam dimensi; (a) perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan sebelumnya, (b) perbaikan diperoleh dengan upaya yang sengaja dan bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa usaha, dan (c) perbaikan yang terjadi bersifat jangka panjang dan tidak sementara, untuk kemudian kembali lagi ke keadaan semula.
Sementara Esman (1995), menunjukkan bahwa memperbaiki kinerja birokrasi harus meliputi ketanggapan (responsiveness) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu upaya perbaikan administrasi meliputi peningkatan keterampilan, penguasaan teknologi informasi dan manajemen finansial, pengaturan atau pengelompokkan kembali realignment fungsi-fungsi, sistem insentif, memanusiakan manajemen (humanising management) dan mendorong partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan serta cara rekruitmen yang harus lebih bersifat representatif.
B. Arah Perkembangan Administrasi Publik
Perubahan paradigma manajemen pemerintahan telah mendorong perkembangannya administrasi publik yang sangat dinamis mengikuti dinamika lingkungannya. Perubahan paradigma itu antara lain oleh Savas (1983), Osborne (1992), Effendi (1995), Mustopadidjaja (1997), Mifta Thoha (1997) mengatakan sebagai berikut :
a. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi pasar. Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama untuk mengatasi segala macam persoalan yang timbul dimasyarakat. Pasar (dapat berupa rakyat atau masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Sekarang ini, paradigmanya berubah, orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Segala aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
b. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egelitarian dan demokrasi.
c. Perubahan paradigama dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami perubahan kerah boundryless organization.
e. Perubahan dari paradigma yang mengikuti tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureacracy government, atau perubahan dari manajemen pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (phsical structure) ke tatanan manajemen pemerintahan berdasarkan pada logical structure. Dengan kata lain, suatu tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperles.
Sebagai dampak dari perubahan global, administrasi publik akan mengalami perubahan mendasar terutama peran dan orientasi yang ingin dicapai. Dalam era global kita melihat berkembang dan tumbuhnya sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin efisien, efektif. Pergeseran peran telah mulai terjadi dimana fungsi pemerintah dalam berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial telah bergeser dari peran pemerintah yang begitu besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk mengambil bagian yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat (Osborne 1993, Kartasasmita 1996, Kristiadi 1997). Pemeritnah cukup hanya berfungsi sebagai pengarah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur yang dominan. Hal ini berimplikasi pada adanya keinginan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Perubahan peran administrasi publik akan selalu seiring dengan dinamika masyarakat dimana sistem administrasi negara itu berada. Frederickson (1983), efektifitas, rasionalitas dan produktivitas, tetapi yang lebih penting adalah administrasi negara harus menciptakan keadilan sosial, berdasarkan kebutuhan pada semua lapisan masyarakat. Hal ini berarti administrasi negara berusaha untuk merubah kebijakan-kebijakan maupun struktur-struktur yang secara sistematis merintangi terciptanya keadilan sosial.
Administrasi publik memiliki fungsi untuk menjalankan kebijaksanaan dan program-program kegiatan pemerintahan untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keerangka hirarki kebijaksanaan (Bromley: 1984). Sehubungan dengan hal ini perkembangan administrasi publik akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perkembangan tuntutan dan aspirasi dan pelayanan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu dinamis.
Nicholas Henry (1995) telah mengidentifikasi alur perkembangan administrasi publik sebagai kajian akademik ke dalam lima paradigma. Paradigma pertama adalah dikhotomi politik administrasi publik, yang antara lain dipelopori oleh Woodrow Wilson (1887 dengan tulisannya yang berjudul The Study of Administration). Paradigma kedua adalah prinsip-prinsip administrasi yang berkembang antara tahun 1927-1937. paradigma ketiga disebut paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik. Paradigma keempat, yang berkembang antara tahun 1956 hingga 1970 memandang administrasi publik sebagai ilmu administrasi. Dalam konteks ini terdapat perkembangan untuk menempatkan locus disiplin administrasi publik secara proposial pada akar keilmuan administrasi dan manajemen yang berkembang sejak Henry Fayol menulis bukunya yang berjudul Industrial and General Administration (1949). Paradigma kelima yang berkembang sejak tahun 1970, menempatkan administrasi publik sebagai disiplin akademik administrasi publik. Dalam hal ini bahwa administrasi publik telah berkembang sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Administrasi publik yang berkembang setelah paradigma kelima yang diidentifikasikan oleh Henry menurut Kristiadi (1997) adalah paradigma administrasi pembangunan. Hal ini didasarkan pada temuan-temuan hasil kajian kelompok studi komparatid administrasi (CAG) yang menyebutkan bahwa ”adminsitrasi publik lebih berorientasi untuk mendukung usaha-usaha pembangunan negara-negara yang belum maju”. Pada umumnya proses kegiatan ini disebut sebagai administrasi pembangunan. Sedangkan di negara-negara maju dewasa ini, administrasi publik lebih diarahkan kepada upaya pencarian bentuk kelembagaan yang tepat, ketatalaksanaan dan aspek kualitas sumebr daya manusia aparatus yang pada intinya adalah reformasi administrasi. Setelah perkembangan paradigma administrasi publik sebagai administrasi pembangunan, menurut Bintoro (1999), paradigma berikutnya adalah mewirausahakan birokrasi yang dipelopori oleh Osborne, Gaebler (1992) dan perkembangan yang terakhir adalah penyeleggaraan kepemerintahan/administrasi publik yang baik (good governance) yang bercirikan kepastian hukum, keterbukaan, akuntability dan konsistensi.
Sementara beberapa teoritir administrasi berpendapat bahwa peranan administrasi publik harus makin terfokuskan pada upaya menghasilkan barang dan inilah menurut Kristiadi (1997) efisiensi dalam pelayanan publik melalui pengadaan barang-barang publik (public goog) dan pelayanan jasa publik sama pentingnya dengan mekanisme pasar yang dilaksanakan oleh pemerintah yang bercirikan good governance. Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Osborne dan Gaebler (1992), administrasi publik perlu didukung oleh birokrasi yang memiliki semangant wirausaha.
Perubahan orientasi dan peran administrasi publik diperlukan untuk merespon dinamika masyarakat yang tinggi terutama dalam menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif serta menciptakan keadilan sosial bagi warga masyarakat. Hal ini perlukan karena administrasi publik berfungsi sebagai instrumen publik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian fungsi aparatur sebagai pelayanan masyarakat harus dominan dan diutamakan ketimbang fungsi sebagai abdi negara. Kartasasmita (1996) melakukan analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan (birokrasi) yang selama 32 tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa, yaitu : perubahan dalam polarisasi: (1) orientasi birokrasi bergeser dari yang kuat kepada yang lemah dan kurang berdaya, (2) birokrasi harus membangun partisipasi rakyat, (3) peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan ke mengarahkan, dan (4) birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
Senada dengan itu, Moestopadijaja (1998) mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ke depan harus didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan, partisipasi, kemitraan, dan desentralisasi.
Fungsi pemberdayaan, aparatur pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (steering rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam proses pembangunan.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai kegiatan sosial ekonomi masyrakat, dan (c) pengembangan proses untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social learning process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani (a spirit of public services), dan menjadi mitra masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat Esman dalam Moestopadidjaja (1997). Hal ini memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjamahkan dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah.
Di samping itu, dalam pelaksanaan kode etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen publik harus bersikap terbuka, transparan dan accountable, untuk mendorong para pemimpin dan seluruh sumber daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih dan menjadi panutan bagi masyarakat.
Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan dalam membangun yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku melayani, bukan dilayani, mendorong bukan menghambat, mempermudah bukan mempersulit, sederhana bukan berbelit-belit, terbuka untuk setiap orang bukan hanya untuk segelintir orang. Dengan demikian makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara yang harus melayani publik harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara.
Partisipasi masyarakat harus diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather than serving), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi harus ditingkatkan.
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan sangat memerlukan keterbukan birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, pengawasan pembangunan.
Inti dari perubahan peran dan orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada sekarang harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi dan rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin organisasi birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi kedepan dicirikan oleh 7 S, yaitu: (1) system, (2) structure, (3) strategy, (4) staff, (5) skill, (6) leadership style, dan (7) share value. Aspek sistem meliputi pemahaman terhadap visi dan misi organisasi berdasarkan tuntutan perubahan lingkungan, nilai dan budaya yang dimiliki organisasi yang menjadi ciri khas organisasi dan sekaligus menjadi perekat dan motivasi anggota organisasi untuk mengembangkan berbagai aktivitas keorganisasian baik dalam melakukan hubungan secara internal maupun dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan aspek strategi mencangkup kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, pemahaman kemampuan memanfaatkan peluang, tantangan, ancaman dan kelemahan serta kekuatan yang dimiliki organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan pada akhirnya dapat survie dan meraih kemampuan kompetitif. Aspek soft struktur organisasi meliputi staff, skill, style, dan share value menyarakatkan proses pembelajaran yang secara terus menerus untuk mencapainya. Administrasi publik (Birokrasi) ke depan harus menata kembali visi, misi tujuan, sasaran dan strategi pencapaiannya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang cepat, efisien, terbuka, dan akuntabel.
C. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa
Peran pemerintah sangat besar dan mencangkup seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah memiliki berbagai sumber daya untuk menunaikan kewajibannya, tetap saja tuntutan masyarakat selalu lebih tinggi tuntutannya dibanding dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhinya.
Adanya kesenjangan antara tuntutan dengan kemampuan pemerintah inilah yang pada gilirannya menyebabkan munculnya berbagai gagasan untuk memberi energi baru kepada pemerintah. Barzelay (1992), misalnya memandang bahwa ditengah-tengah fenomena perubahan dunia, birokrasi membutuhkan inovasi baru yang bersifat strategis. Demikian pula Osborne (1996) mengemukakan lima strategis sebagai instrumen implementasi lebih lanjut dari prinsip Reinventing Government yang diajukan Osborne dan Gaebler, yaitu (1) creating clarity of purpose, (2) creating consequences form performance, (3) putting the custumer in the driver’s seat, (4) shifting control away from the top and the center, (5) creating entrepreneural culture.
Pada intinya pandangan baru yang berkembang tentang peran pemerintah adalah bahwa pemerintah harus mampu menciptakan nilai-nilai baru (value creating) dalam rangka meningkat pelayanan kepada masyarakat.
Istilah governance secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengarahan, pembinaan atau dalam bahasa inggrisnya adalah Guiding. Gevernance adalah suatu proses dimana suatu sistem sosial ekonomi atau sistem organisasi yang kompleks lainnya dikendalikan. Pinto dalam (Karhi: 1997) mendefinisikan Governance sebagai ’’ praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya’’. Pengertian governance dalam hal ini adalah proses pengaturan, pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Secara bebas good governance dapat diterjemahkan menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau pemerintahan yang amanah.
Secara umum governance mengandung unsur-unsur utama yang terdiri dari: (1) akuntability, (2) transparansi, (3) openness, (4) rule of law (Bhatta: 1996) dalam (Karhi: 1997).
Akuntabilitas adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari pemerintahan yang baik (good governance) Akuntabilitas aparatur pemerintah terdiri dari tiga jenis yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas hukum (Brautigam, 1991). Sedangkan menurut LAN (1998) akuntabilitas pemerintah di bagi atas Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas keuangan, dan akuntabilitas operasional.
Akuntabilitas politik berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan mekanisme sistem pemilu dan mekanisme ceck and blances kekuasaan yang ada pada masyarakat. Akuntabilitas keuangan yaitu kewajiban aparat mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan negara kepada rakyat. Sedangkan akuntabilitas hukum berkaitan dengan semua unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya, termasuk organisasi pemerintahan yang pada prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakannya.
Transparansi merupakan instrumen penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Rakyat harus mengetahui secara terbuka atas segala proses perumusan kebijaksanaan publik dan implementasinya. Dengan demikian segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah harus dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pula harus terbuka dan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan kritikan dan tanggapan terhadap pemerintah yang dinilai tidak transparan. Pemerintah yang baik dan terbuka akan memberikan informasi dan data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan.
Sementara itu menurut Toha (1997) pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat tergantung pada : (1) pelaku-pelaku pemerintah (kualitas sumber daya manusia aparaturnya), (2) kelembagaan yang dipergunakan untuk pelaku-pelaku pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya, (3) perimbangan kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem pemerintah itu harus diberlakukan, dan (4) kepemimpinan dalam birokrasi publik.
Senada dengan hal tersebut Rasyid (1997) bahwa pembangunan pemerintahan diarahkan pada dimensi administrasi, yaitu administrasi yang baik, organisasi yang efisien, serta aparatur yang berkompeten dan jujur. Kultur administrasi yang melayani, memberdayakan dan membangun berlandaskan semangat entrepreneurship perlu dibina secara berkesinambungan. Berkaitan dengan itu peranan motivasi dan efisien mekanisme dan prosedur kerja birokrasi terutama dalam proses pelayanan dan pengambilan keputusan harus lebih disederhanakan.
Determinan utama untuk menciptakan pemerintahan yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia aparatur yang berkualitas. Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi sebagai perencana, implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh program-program pembangunan. Oleh karena itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah aparatur harus (1) bermoral dan berakhlak yang tinggi yang ditandai oleh kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup, bersih harta dan bersih pergaulan sosial; (2) berpengetahuan dan berkemampuan untuk melaksanakan tugas yang diembannya secara profesional.
Aspek kelembagaan pemerintah ke depan akan berubah sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari ”rowing” kearah steering. Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus disesuaikan dengan platform more steering the rowing, yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat.
Perimbangan kekuasaan menandaskan adanya mekanisme check and balances antara beberapa pemegang kekuasaan, baik kekuasaan yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di masyarakat. Faktor kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya, bersih dan tidak cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor kepemimpinan sangat menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan, terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan individu atau golongan. Syarat intelektualitas dan wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin birokrasi memiliki visi yang jauh kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan kepentingan umum dan kemampuan menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai tujuan yang diinginkan.
D. Konsep Kinerja
Kata kerja populer digunakan untuk menjelaskan hasil kerja yang dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun organisasi sesuai dengan tugas, kewenangan yang dimiliki untuk mencapai tujuan organisasi. Padanan istilah kinerja diidentikkan dengan istilah perfomance. Menurut The Cribner-Bantanm English Dictionary (1997) terdapat keterangan sebagai berikut. Berasal dari akar kata ”to perform” yang mempunyai beberapa padanan, berikut: (1) to door carry out; execute; (2) to diacharge or fulfill; as a vow; (3) to portray, as a character in a play; (4) to render by the voice or a musical instrument; (5) to execute or complete an undertaking; (6) to act a part in a play; (7) to perform music; (8) to do what is expectred of person or machine.
Arti padanan tersebut adalah (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan; (2) memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar; (3) menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan; (4) menggambarkan dengan suara atau alat musik; (5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab; (6) melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan; (7) memainkan suatu pertunjukan musik; dan (8) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin.
Dalam hubungan dengan penelitian ini, maka padanan kata yang cocok digunakan adalah: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan; (2) memenuhi atau menjalankan nazar; (5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab; (8) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh orang atau mesin.
Arti kata performance merupakan kata benda (noun) dimana salah satu padanan katanya adalah “thing done” (sesuatu hasil yang dikerjakan). Menurut Prawirosentono (1999) performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia senidri, sampai edisi sekarang kata kinerja belum tercantum. Istilah-istilah yang sering dipakai yang berkaitan dengan kinerja adalah efisien, efektivitas dan bahkan Frederickson (1984) menambahkan keadilan sosial untuk menilai apakah administrasi negara telah berhasil mengemban misinya sebagai isntrumen publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gaspersz (1997) mengatakan bahwa kinerja dibangun dari kualitas, dan kualitas adalah terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan yang dihasilkan oleh organisasi untuk memuaskan semua unsur yang berkaitan dengan organisasi baik internal maupun eksternal.
Mengacu pada pengertian diatas, bahwa unsur pembentuk kinerja organisasi adalah terdiri atas: efisiensi, efektivitas, kualitas dan keadilan, maka dapat didefinisikan bahwa kinerja organisasi adalah:
”hasil kerja yang secara akumulatif dicapai oleh organisasi berdasarkan sasaran yang ditetapkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya”.
Sasaran organisasi, menurut Martani, terdiri dari: (a) sasaran lingkungan, yaitu kondisi dimana organisasi telah mendapat pengakuan dari lingkungannya, termasuk bagaimana sikap, perasaan dan persepsi dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dengan organisasi tersebut; (b) sasaran output, yaitu bentuk dan banyaknya output yang dihasilkan organisasi; (c) sasaran sistem adalah kesehatan dan perawatan organisasi itu sendiri yang menggambarkan ukuran, iklim organisasi, bentuk organisasi, tingkat kepuasan pegawai; (d) sasaran produk yaitu karakteristik produk atau jasa yang akan diberikan kepada konsumen. Sasaran ini menetapkan jumlah, mutu jenis, corak dan karakteristik lainnya yang menggambarkan karakteristik produk ataupun jasa yang ditawarkan; dan (e) sasaran bagian, yaitu menggambarkan sasaran dari suatu bagian, ataupun suatu satuan kerja yang merupakan bagian dari suatu organisasi. Sasaran bagian ini merupakan alat untuk mencapai sasaran output ataupun sasaran sistem dari suatu organisasi.
Gambar 1
Jenis Sasaran dan Kinerja Organisasi Yang Ingin Dicapai
JENIS SASARAN ORGANISASI KINERJA ORGANISASI
Sasaran Lingkungan
Kinerja Organisasi mencapai sasaran lingkungan
Sasaran Ouput Kinerja Organisasi mencapai sasaran output
Sasaran Sistem Kinerja Organisasi mencapai sasaran sistem
Sasaran Produk Kinerja Organisasi mencapai sasaran produk
Sasaran Bagian Kinerja Organisasi mencapai sasaran bagian
Sumber : Peter (1997: 112)
Untuk mengukur tingkat keberhasilan mencapai sasaran tersebut, maka insikator yang biasa dipakai adalah efisiensi, efektivitas dan kualitas. Jadi dengan demikian, kinerja organisasi dapat diukur berdasarkan tingkat pencapaian hasil kerja berdasarkan sasaran yang ditetapkan sebelumnya. Demikian pula mengukur tentang hasil kerja organisasi bukan hanya hasil kerja yang secara output diberikan kepada lingkungan eksternalnya yaitu masyarakat atau pelanggannya, tetapi hasil kerja dapat pula diberikan kepada pelanggan internalnya, yaitu pegawai yang berfungsi mengelola organisasi guna mencapai tujuannya. Dengan demikian konsep tentang kinerja organisasi sangat luas ruang lingkupnya; bukan hanya kinerja yang dihasilkan untuk lingkungannya eksternalnya, tetapi kinerja dapat pula diperuntukkan bagi sasaran internal organisasi. Oleh karena itu pendekatan untuk mengukur kinerja suatu organisasi sangat tergantung susut pandang yang digunakan; dapat berupa kinerja pada sisi Input kinerja pada sisi proses atau kinerja pada sisi output. Masing-masing pendekatan ini memiliki indikator yang berbeda. Pada penelitian ini pengukuran kinerja organisasi menggunakan pendekatan proses (internal proces approach), yaitu kinerja organisasi birokrasi diukur dari efisiensi organisasi dan kesehatan organisasi; kesehatan organisasi diukur dari tingkat kepuasan pegawai yang diberikan oleh organisasi, yaitu dengan menggunakan mengukur kinerja pencapaian sasaran sistem organisasi tersebut.
E. Kinerja Organisasi Birokrasi
Birokrasi dalam literatur ilmu administrasi dipergunakan dalam beberapa pengertian yang berbeda dan bahkan bertentangan. Matrin Albrow mengemukakan tujuh konsep moder tentang birokrasi yaitu : (1) birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) birokrasi sebagai inefisiensi organisasi; (3) birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat; (4) birokrasi sebagai administrasi negara (publik); (5) birokrasi sebagai admnistrasi yang dijalankan oleh pejabat; (6) birokrasi sebagai sebuah organisasi; dan (7) birokrasi sebagai masyarakat modern.
Dalam penelitian ini birokrasi dipakai dalam pengertian yang terbatas yaitu sebagai organisasi pemerintahan atau administrasi negara (publik) yang berfungsi menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan fungsi pembangunan.
Seperti yang diakui oleh Abdullah (1984) pembahasan birokrasi dalam kalangan ilmu sosial sering menimbulkan berbagai perbedaan pendapat karena berbagai pengertian yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sorotan tajam penggunaan istilah birokrasi pada pengertian yang kurang baik, yaitu birokrasi sebagai inefisiensi organisasi (administrative inefficiency). Biasanya pengertian yang kurang baik ini mencerminkan cara kerja aparatur pelayanan pemerintah yang memiliki kinerja rendah.
Rumusan birokrasi berdasarkan hasil seminar Persadi (1984) adalah birokrasi atau disebut pula sebagai organisasi dari aparatur negara adalah susunan yang terorganisir secara hirarkis dengan struktur hubungan kewenangan yang jelas untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara mengkoordinasi secara sistematis pekerjaan dari banyak orang.
Pengertian ini menandaskan bahwa birokrasi itu terdapat pada semua organisasi kerjasama manusia, termasuk organisasi birokrasi pemerintah yang berfungsi sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan; peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas pendidikan, menciptakan ketertiban keamanan dan pelayanan serta pengayoman masyarakat atau dengan kata lain mencakup seluruh tugas dan fungsi pemerintah umum.
Sementara itu, Max Weber (Martani) sendiri tidak memberikan defenisi yang jelas tentang birokrasi. Weber hanya mengajukan ciri-ciri ideal birokrasi, yaitu (1) adanya pengaturan ataupun pengorganisasian fungsi-fungsi resmi untuk suatu kesatuan yang utuh; (2) adanya pembagian kerja yang jelas di dalam organisasi; (3) adanya pengorganisasian yang mengikuti prinsip-prinsip hirarki, yaitu tingkatan yang lebih rendah diawasi dan diatur oleh tingkatan yang lebih tinggi; (4) adanya sistem penerimaan dan penempatan karyawan yang didasarkan atas kemampuan teknis, tanpa memperhatikan koneksi, hubungan keluarga maupun favoritisme; (5) adanya pemisahan antara pemilikan alat produksi maupun administrasi dari kepemimpinan organisasi; (6) adanya obyektivitas dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan suatu jabatan dalam organisasi; dan (7) kegiatan administratif, keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan dalam organisasi selalu dituangkan dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud birokrasi disini adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat dalam berbagai unit organisasi pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Ruang lingkup birokrasi dapat diketahui berdasarkan perbedaan tugas pokok dan misi yang mendasari organisasi birokrasi adalah :
1. Birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum dari tingkat pusat sampai daerah (Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa/Kelurahan).
2. Birokrasi fungsional, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan umum pemerintahann
3. Birokrasi pelayanan (Service-Bureaucracy), yaitu unit organisasi yang pada hakekatnya melaksanakan pelayanan langsung dengan masyarakat. Termasuk dalam konsep ini apa yang disebut oleh Michael Lipsky sebagai ”Street-level Bureaucracy”, yaitu mereka yang menjalankan tugas dan berhubungan langsung dengan warga masyarakat.
Perkembangan pengukuran kinerja organisasi sangat berhubungan erat dengan pendekatan dalam mempelajari organisasi. Pendekatan klasik misalnya memandang kinerja organisasi sama dengan efisiensi organisasi. Menurut teori ini kinerja organisasi. Jadi, kinerja organisasi sama dengan efisiensi.
Demikian pula pendekatan neo-klasik kinerja organisasi diukur dari terciptanya suasana yang harmonis antara pegawai sebagai anggota organisasi. Menurut teori ini suatu organisasi dikatakan memiliki kinerja tinggi apabila anggotanya merasa puas terhadap apa yang diberikan oleh organisasi. Pandangan ini merupakan kelanjutan dari pandangan penganut paham hubungan antar manusia, yang menempatkan kepuasaan anggota sebagai inti persoalan organisasi dan manajemen. Sementara pendekatan modern sebagai suatu pendekatan sistem memandang bahwa kinerja organisasi tidak saja ukur dari variabel input, variabel proses dan variabel output, tetapi juga ketiga variabel tersebut padu dalam interaksi dengan variabel lingkungan yang mempengaruhi organisasi.
Menurut Indrawijaya (1986), teori yang komprehensif mengukur kinerja organisasi berdasarkan banyak macam ukuran. Pandangan ini berpendapat bahwa susunan organisasi memang merupakan suatu hal yang penting. Tetapi dalam kebebasan bertindak sangat penting untuk memungkinkan adanya kebebasan bertindak para anggota organisasi secara keseluruhan dapat lebih menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Jadi ukuran kinerja organisasi selain berhubungan dengan aspek internal organisasi juga berhubungan dengan aspek eksternal organisasi, yaitu berkaitan dengan kemampuan beradaptasi dan fleksibelitas terhadap pengaruh lingkungan luar.
Emitasi Etzioni (dalam Indrawijaya: 1986) megemukakan pengukuran kinerja organisasi menggunakan System Model, mencakup empat kriteria yaitu adaptasi, integrasi, motivasi dan produksi. Kriteria adaptasi dipersoalkan adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Indikator ini antara lain adalah tolok ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja, ruang lingkup kegiatan organisasi. Hal terakhir mempertanyakan seberapa jauh kemanfaatan organisasi tersebut bagi lingkungan. Kriteria integrasi, yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi lain. Kriteria motivasi anggota diukur keterikatan dan hubungan antara pelaku organisasi dengan organisasinya dan kelengakapan sarana bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Sementara kriteria produksi, yaitu usaha untuk pengukuran efektivitas organisasi dihubungkan dengan jumlah dan mutu keluaran organisasi serta intensitas kegiatan suatu organisasi.
Menurut Ducan (1981) kinerja organisasi dapat diukur dengan indikator: (1) efisiensi, yaitu jumlah dan mutu dari hasil organisasi dibanding dengan masukan sumber; (2) keseimbangan antara subsistem sosial dan antar personil; (3) antisipasi dan persiapan untuk menghadapi perubahan.
Kajian yang dilakukan oleh Osborne dan Patrick (1998) yang mengatakan bahwa kinerja organisasi publik dapat dilihat dari aspek tujuan (purpose), insentif, akuntabilitas, kekuasaan (power), budaya (culture) organisasi. Aspek tujuan berkaitan dengan rendahnya pemahaman birokrat terhadap visi dan misi organisasi sehingga antara perilaku, orientasi kerja tidak sejalan dengan visi dan misi organisasi. Sedangkan aspek yang berkaitan dengan insentif adalah kurangnya perhatian khusus terhadap birokrat yang memiliki prestasi yang baik sehingga berdampak rendahnya kemampuan birokrat dalam mengemban tugasnya. Sedangkan aspek akuntabilitas adalah kemampuan organisasi itu mempertanggung jawabkan atas semua kewenangan, sumber daya organisasi, kebijakan yang dihasilkan atas penilaian yang obyektif dari orang/badan dan masyarakat yang memberi tugas.
Martani Husein, menggunakan tiga pendekatan untuk mengukur tingkat pengukuran efektivitas organisasi yaitu; (1) pendekatan sasaran (goal approach ), (2) pendekatan sumber (system resource approach), (3) pendekatan proses (internal process approach).
Efektivitas menurut Martini (tanpa tahun: 55) adalah merupakan gambaran tingkat keberhasilan dalam mencapai sasarannya. Dengan demikian, efektivitas disini sama dengan hasil kerja yang dicapai oleh organisasi guna mencapai sasaran atau tujuannya. Hal ini berarti afaktivitas mengandung makna kinerja yang dicapai oleh organisasi guna mencapai tujuannya.
Pendekatan sasaran dan dalam pengukurannya dimulai dengan mengindentifikasi sasaran mengukur tingkat keberhasilan organisasi. Ukuran keberhasilan organisasi dapat dilihat dari fakktor efisiensi, produktivitas, tingkat keuangan, pertumbuhan organisasi, kepemimpinan organisasi pada lingkungannya, dan stabilitas organisasi. Sedangkan pendekatan sumber adalah mengukur tingkat keberhasilan organisasi mendapatkan berbagai sumber yang dibutuhkan terutama untuk memelihara sistem organisasi. Ukuran pada pendekatan ini meliputi; kemampuan organisasi untuk memanfaatkan lingkungan untuk memperoleh berbagai jenis sumber yang bersifat langka dan nilainya tinggi, kemampuan para pengambil keputusan dalam organisasi untuk menginterpretasikan sifat-sifat lingkungan secara cepat, kemampuan organisasi untuk menghasilkan output tertentu dengan menggunakan sumber-sumber yang berhasil diperoleh, kemampuan organisasi dalam memelihara kegiatan opersionalnya sehari-hari, dan kemampuan organisasi untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
Pendekatan Proses menganggap efektivitas sebagai efisiensi dan kondisi (kesehatan) dari organisasi internal. Indikator untuk mengukur pendekatan ini diantaranya, adalah; efisiensi, perhatian atasan terhadap karyawan, semangat, kerjasama dan loyalitas kelompok kerja, saling percaya dan komunikasi antara karyawan dengan pimpinan, desentralisasi dalam pengambilan keputusan, adanya komunikasi vertikal dan horisontal yang lancar dalam organisasi, adanya usaha dari setiap individu maupun keseluruhan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan, adanya sistem imbalan yang merangsang pimpinan untuk mengusahakan terciptanya kelompok-kelompok kerja yang efektif dalam organisasi dan bagian-bagian bekerjasama secara baik, dan konflik yang terjadi selalu diselesaikan dengan mengacu pada kepentingan bersama.
Sementara Gibson (1996), menggunakan pendekatan untuk mengukur kinerja organisasi melalui pendekatan dimensi periode waktu, yaitu tahap jangka pendek, tahap jangka menengah, dan tahap jangka panjang. Keseluruhan proses tahap tersebut adalah suatu sistem yang tak berpisah, bahkan periode waktu jangka pendek merupakan prasyarat untuk dapat memasuki periode waktu jangka menengah, demikian selanjutnya periode waktu jangka menengah merupakan prasyarat untuk memasuki tahap jangka panjang. Pada akhirnya organisasi yang tidak memiliki kinerja bagus pada periode waktu jangka pendek tak dapat survive untuk masa depan. Indikator untuk mengukur periode jangka pendek adalah produksi, mutu, efisiensi, fleksibelitas dan kepuasan masyarakat yang dilayani. Sedangkan Indikator untuk mengukur periode jangka menengah adalah persaingan, yaitu menggambarkan posisi organisasi dalam lingkungan termasuk nilai bargaining position, dan pengembangan, yaitu kemampuan organisasi menginventarisasi sumber daya untuk memenuhi permintaan lingkungan. Indikator periode jangka panjang adalah kelangsungan hidup organisasi, yaitu kemampuan organisasi untuk tetap bertahan dan hidup seiring dengan perubahan lingkungan yang berubah.
Analisis kinerja organisasi tak dapat dilepaskan dari kinerja individu. Terhadap hubungan yang sangat kuat antara kinerja individu dengan kinerja organisasi. Organisasi yang memiliki kinerja individunya tinggi akan memberi konstribusi besar terhadap kinerja organisasi. Studi ini lakukan oleh Thoha (1991) yang mengatakan bahwa kinerja individu sangat ditentukan oleh karakteristik-karakteristik individu seperti kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan pengharapan. Sedangkan karakteristik organisasi birokrasi adalah hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem reward dan sistem kontrol. Interaksi antara karakteristik individu dan karakteristik organisasi akan melahirkan perilaku organisasi sekaligus kinerja organisasi.
F. Kualitas Individu dan Pembelajaran Organisasi
Seperti diketahui bahwa kualitas individu sangat menentukan kinerja organisasi, bahkan berkembangnya organisasi sangat terkait dengan kemampuan individu-individu yang mengelola organisasi. Ducan dalam Indrawijaya (1989) mengatakan bahwa prestasi (P) adalah fungsi perkalian dari motivasi dari (M) dengan kemampuan (K). Dengan demikian ada dua faktor pembentuk kualitas seseorang yaitu; kemampuannya yang menunjukkan potensi seseorang untuk melakukan tugasnya, dan kedua adalah faktor motivasi, yaitu merupakan proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang.
Gibson mengatakan ada tiga variabel yang mempengaruhi perilaku individu, yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Variabel individu berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografi. Sedangkan variabel organisasi berhubungan dengan sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan. Sementara variabel psikologis berkaitan dengan persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi.
Peter M. Senge (1997), mengajukan teori yang terbaru mengenai kualitas individu dan hubungannya dengan organisasi dalam menghadapi perubahan lingkungan. Sange mengemukakan Disiplin Kelima (Fifth Disiplin) dalam pembelajaran organisasi (Learning organization), yaitu system tingking, personal mastery, mental models, building shared vision dan team learning. Kedepan organisasi pembelajaran merupakan salah satu ciri organisasi abad 21, karena organisasi yang demikian itu mampu menjawab tantangan yang dihadapi dan sekaligus menjamin keberlangsungannya ditengah-tengah perubahan.
Systems thinking atau berfikir secara sistem merupakan tonggak konseptual (conceptual corner stone) yang mendasari semua pilar disiplin pembelajaran. Berfikir sistem sangat berkepentingan terhadap pergeseran pola fikir (shift of mind) dari cara pandang parsial menuju cara pandang yang holistik. Oleh karena itu berfikir sistem merupakan paradigma yang melihat pada superioritas kesatuan yang menyeluruh (a paradigma premised upon the primary of the whole). Berfikir sistem merupakan disiplin yang melihat fenomena secara keseluruhan sehingga lebih menekankan kepada kerangka pikir yang saling berkaitan (interconnectedness). Berfikir sistem juga merupakan cara pandang yang berfokus pada perubahan (pattern of change) sehingga tidak melihat suatu fenomena yang hanya didasarkan pada cara yang statis.
Personal mastery atau personal vision pada hakekatnya merupakan disiplin pribadi yang secara terus-menerus berusaha mencapai visi pribadi melalui focusing dan refocusing dengan melihat realitas secara obyektif agar pilihan-pilihan yang diambil mengakomodasikan visi pribadi dan realitas yang dihadapi dengan jalan menfokuskan energi dan mengembangkan kesabarannya. Meningkatkan penguasaan diri pribadi merupakan suatu hal penting dalam organisasi karena komitmen membangun pembelajaran diawali oleh komitmen individu. Organisasi akan lebih cepat mencapai tujuannya apabila setiap individu dalam organisasi memiliki tingkat kemampuan diri yang tinggi. Karakteristik Personal Mastery pada tingkat yang tinggi adalah; mempunyai komitmen yang tinggi, berinisiatif, kreatif, mempunyai visi pribadi yang jelas, memiliki kepercayaan diri yang dalam, mempunyai rasa tanggung jawab yang mendalam, selalu berusaha mengembangkan diri, mempunyai kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan mampu melihat realitas secara obyektif.
Mental model suatu kerangka untuk memandang sesuatu yang dianggap benar tetapi belum dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian mental model merupakan jendela kaca dari mana seseorang melihat dan bagaimana mengadaptasikan diri dengan lingkungan yang berubah. Nilai seseorang sangat ditentukan oleh konstribusi mental model yang dimilikinya. Mental model yang baik memungkinkan pemiliknya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya.
Building Shared Vision (membangun visi bersama) salah satu disiplin pembelajaran yang berfungsi menyatupadukan potensi organisasi untuk meraih sukses bersama-sama. Visi bersama adalah visi yang dibentuk dari visi indvidu-individu, dengan tujuan agar visi organisasi dapat merupakan kepemilikan bersama karena seluruh anggota mempunyai andil dalam pembentukannya. Visi adalah gambaran atau imajinasi yang ingin diwujudkan. Visi menyatakan masa depan yang menjanjikan (attractive future), nyata (realistic) dan dapat dipercaya (credible).
Misi memberi jawaban atas pertanyaan apa yang individu / organisasi kerjakan. Misi bersifat menantang dan memberikan kekuatan (energizibng) kepada seseorang maupun organisasi. Menurut Osborne (1995) pemerintahan yang digerakkan oleh misi lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel, dan mempunyai semangat yang tinggi ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan.
Nilai adalah sikap atau perilaku dalam mengejar visi; sikap terhadap orang dalam organisasi, sikap menghargai pelanggan, masyarakat sikap pelayanan dan batas-batas simbol tuntutan perilaku yang akan menolong orang bergerak menuju visi.
Team learning suatu proses pengembangan kapasitas suatu tim untuk menciptakan atau mencapai hasil yang sesungguhnya diinginkan oleh anggota-anggota tim. Bangunan dari team learning adalah saling percaya, saling menjunjung tinggi, anggota saling mengisi. Pembelajaran sebenarnya adalah kegiatan untuk meningkatkan kapasitas (knowledge skill) dan menerapkan dengan efektif (increasing one’s capacity to take efective action). Team learning memiliki tiga dimensi, yaitu: keharusan untuk berfikir jernih dan mendalam menghadapi issue yang pelik, kebutuhan untuk bertindak inovatif dan terkoordinasi, dan kesediaan anggota tim untuk berperan dalam tim-tim lain sehingga saling melengkapi dan saling menunjang.
G. Efisiensi, Efektivitas dan Kesehatan Organisasi Birokrasi
Menurut Riggs (1966) ukuran kinerja birokrasi, bukan hanya kinerja perorangan (personal perfomance) atau suatu unit, tetapi juga yang diukur adalah kinerja organisasi (social perfomance). Ada dua aspek penting dalam pengukuran kinerja menurut Riggs, yaitu aspek efektivitas dan efisiensi. Efektivitas berkaitan seberapa jauh sasaran telah dapat dicapai, dan efisiensi menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibanding dengan usaha, biaya atau pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran. Dengan perkataan lain efektivitas adalah hasil guna yang dicapai oleh organisasi untuk mencapai sasaran atau tujuannya. Jadi, makna efektivitas memiliki konsep yang lebih luas dari pada konsep efisiensi. Efektivitas dapat berkaitan dengan variabel internal dan juga berkaitan dengan variabel eksternal organisasi. Sedangkan efisiensi hanya berkaitan dengan proses internal organisasi, yaitu perbandingan yang rasional atau terbaik antara Input dengan Output.
Efisiensi berkaitan dengan pencapaian Output. Sedangkan Output diakibatkan dari Input. Dengan demikian efisiensi adalah perbandingan terbaik antara hasil Output yang diperoleh dan kegiatan yang dilakukan serta sumber-sumber atau input yang dipergunakan dalam sumber-sumber tersebut tercakup tenaga kerja, biaya, material, alat-alat kerja, waktu dan sebagainya.
William M. Evan (dalam Martani), mengukur kinerja organisasi dengan menggunakan pendekatan proses, yaitu menghitung efisiensi, yaitu menghitung besarnya ongkos untuk pengadaan input (I), menghitung ongkos transformasi (T) serta menghitung nilai output (O) ketiga variabel ini dapat dikombinasikan untuk mengukur berbagai aspek tentang kinerja organisasi. Cara yang paling sering yang digunakan untuk mengukur efisiensi adalah dengan menggunakan rasio O/ I. Bagi Dinas Keberhasilan Rasio ini dapat diartikan Tingkat biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut sampah M3/ hari perbulan. Dari perbandingan rasio tersebut dapat diketahui tingkat efisiensi Dinas Pendidikan dalam melaksanakan tugasnya.
Kondisi kesehatan organisasi, dilihat dari sudut pandang sasaran output merupakan proses, bukan hasil atau kinerja yang dihasilkan oleh organisasi. Akan tetapi dari sasaran sistem, adalah merupakan output dari proses itu sendiri. Dengan kata lain organisasi yang sehat merupakan output dari sasaran sistem, dimana organisasi mampu menciptakan suasana yang harmonis antara semua unsur yang terlibat dalam proses organisasi.
Kinerja organisasi yang sehat menurut Martani dicirikan oleh tingginya perhatian atasan terhadap bawahan, semangat, loyalitas dan kerjasama yang sangat dinamis, saling percaya dan komunikasi antara pegawai dengan pimpinan, tingginya otonomi dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan, tumbuhnya komunikasi vertikal dan horisontal yang lancar dalam organisasi dan organisasi memiliki sistem imbalan yang merangsang setiap individu / kelompok berprestasi.
H. Kerangka Pikir
Berdasarkan pendekatan analisis kinerja organisasi menurut Huseini seperti yang diuraikan di atas bahwa ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis yaitu; (1) pendekatan sumber, pendekatan proses dan pendekatan sasaran. Sebagai acuan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan prosas (internal process approach) dalam menganalisis kinerja organisasi. Pendekatan ini menganggap kinerja organisasi sebagai efisiensi dan kondisi (kesehatn) dari organisasi internal. Pada organisasi yang kinerjanya baik; proses internal berjalan dengan lancar, pegawai bekerja dengan kegembiraan dan kepuasan yang tinggi, kegiatan masing-masing bagian terkoordinasi dengan baik dengan produktivitas yang tinggi, tingginya perhatian atasan terhadap bawahan, semangat, kerjasama dan loyalitas kelompok kerja, saling percaya dan komunikasi antara pegawai dengan pimpinan, desentralisasi dalam pengambilan keputusan, komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar, adanya usaha dari setiap individu maupun keseluruhan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan, sistem imbalan yang merangsang pimpinan untuk mengusahakan terciptanya kelompok-kelompok kerja yang efektif, organisasi dan bagian-bagian bekerjasama secara baik dan tumbuhnya yang tinggi serta konflik selalu diselesaikan dengan acuan kepentingan organisasi.
Sementara menurut Etzioni seperti yang diuraikan terdahulu kinerja organisasi dapat diukur melalui system model yang mencakup empat kriteria, yaitu adaptasi, integrasi, motivasi dan produktivitas. Dalam hubungan dengan pengukuran penelitian ini indikator motivasi menurut Etzioni adalah keterikatan dan hubungan antara perilaku organisasi dengan organisasinya dan kelengkapan sarana bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Motivasi merupakan faktor penting untuk meningkatkan kinerja. Pegawai yang memiliki motivasi tinggi, akan memiliki kinerja tinggi.
Demikian pula Menurut Ducan dalam Indrawijaya, kinerja organisasi dapat diukur dengan indikator efisiensi, yaitu jumlah dan mutu dari hasil organisasi dibanding dengan masukan sumber dan keseimbangan antara susbsistem sosial dan antara personal. Hal senada pula dikemukakan Gibson sebelumnya bahwa indikator untuk mengukur kinerja organisasi dilihat dari pendekatan jangka pendek adalah efisiensi, mutu, fleksibilitas. Efisiensi adalah kunci utama agar organisasi itu dapat survive dan memasuki era persaingan. Demikian pula mutu hanya dapat dicapai melalui proses internal dengan menggunakan teknologi, sumber daya manusia yang trampil, berkemampuan tinggi, memiliki motivasi tinggi.
Berdasarkan teori motivasi dari Hezberg (Gibson, 1996) dapat dideteksi bahwa berasal dari faktor instrinsik, yaitu faktor-faktor atau situasi yang merupakan sumber yang antara lain terdiri dari keberhasilan, pengakuan, tanggung jawab dan pengembangan; dan faktor ekstrinsik, adalah faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan antara lain terdiri dari supervisi, keamanan kerja, kondisi kerja kebijaksanaan organisasi dan gaji. Perbaikan dari faktor-faktor ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, namun tidak menimbulkan kepuasan.
Kerjasama dalam tim merupakan potensi organisasi yang sangat besar dalam mencapai sasaran organisasi. Oleh karena itu kerjasama tim harus dikembangkan melalui proses pengembangan kapasitas tim (team learning). Menurut Senge seperti yang diuraikan di atas bahwa bangunan tim learning adalah saling percaya, saling menjunjung tinggi, dan anggota saling mengisi antara sesama tim, dengan begitu proses kerjasama tim akan tercipta.
Terciptanya hubungan pimpinan dan bawahan dalam organisasi yang harmonis, transparan, persuasif dapat mendorong meningkat kinerja organisasi secara keseluruhan. Pimpinan tak dapat bekerja dengan baik apabila tidak mendapat dukungan dari bawahan, demikian pula bawahan tak dapat mengekspresikan diri, mengaktulisasi segala potensi dan motivasinya tanpa dukungan pimpinan. Oleh karena itu antara keduanya harus saling percaya, terbuka, memberdayakan dan partisipastif.
Iklim organisasi merupakan suasana secara internal organisasi melakukan aktivitas. Menurut Gibson, iklim organisasi sangat potensial menciptakan organisasi yang sehat, terutama bagi kelangsungan interaksi anggota dan kelompok organisasi itu sendiri. Iklim organisasi yang baik dicirikan oleh otonomi dan fleksibilitas, menaruh kepercayaan dan keterbukaan, simpatik dan memberi dukungan dan pertumbuhan pribadi dalam organisasi tersebut.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka model penelitian ini dapat disimplikasi menjadi (1) pendekatan analisis yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi adalah pendekatan proses (internal process approach) yang menekankan pada efisiensi dan kesehatan organisasi sebagai ukuran kinerja organisasi. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka konsep kinerja organisasi dapat diukur melalui variabel-variabel: (1) efisiensi organisasi; (2) kerjasama tim; dan (3) hubungan pimpinan dengan bawahan.
KERANGKA PIKIR
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone sebagai salah satu unit Birokrasi Pemerintah Kabupaten secara fungsional bertanggungjawab terhadap terwujudnya pembangunan pendidikan. Alasan pemilihan lokasi ini didasarkan pada : (1) Dinas Pendidikan merupakan unit organisasi birokrasi yang berhadapan langsung dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan bidang pendidikan,; (2) untuk memberi pelayanan bidang pendidikan, maka kinerja organisasi Dinas Pendidikan harus mendapat perhatian utama untuk ditingkatkan kapasitasnya terutama menyangkut sumber daya dan kelembagaan yang memungkinkan anggota organisasi mengaktualisasi kinerjanya; (3) fungsi Dinas Pendidikan sebagai institusi yang bergerak dalam pembangunan pendidikan, mencerdaskan bangsa, dilakukan bermitra dengan pemerintah, swasta dan kelembagaan masyarakat.
Berkaitan dengan tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan tentang fenomena dan fakta sosial yang terjadi secara obyektif di lapangan, maka jenis penelitian yang cocok dengan tujuan penelitian itu adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang mendeskripsikan tentang kinerja birokrasi pemerintah dilihat dari sudut pendekatan proses.
B. Variabel, Definisi Operasional, Indikator dan Pengukuran Variabel
Konsep kinerja birokrasi pemerintah dapat dijabarkan ke dalam beberapa variabel, yaitu:
1. Variabel Efisiensi Pelayanan Dinas adalah pebandingan antara input untuk menghasilkan output dalam pengelolaan dan pengembangan pendidikan.
Indikator yang diukur adalah:
1. Jumlah waktu yang digunakan
2. Jumlah biaya yang digunakan
3. Jumlah pegawai yang dipakai
4. Intentitas waktu dan kuantitas pelayanan
2. Kerjasama Tim adalah kemampuan bekerjasama dalam satu kelompok kerja melalui proses pembelajaran bersama untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Indikator yang diukur adalah:
1. Saling percaya
2. Saling menjunjung tinggi
3. Anggota saling mengisi
3. Hubungan Pimpinan dengan Bawahan adalah jalinan komunikasi yang harmonis untuk bekerjasama berdasarkan fungsi tugas dan tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi.
Indikator yang diukur adalah:
1. Dukungan
2. Pemberdayaan
3. Partisipasi
4. Tanggung jawab
Ketiga variabel tersebut (Efisiensi organisasi, Kerjasama tim, dan Hubungan pimpinan dengan bawahan), pengukurannya menggunakan Skala Ordinal didasarkan dari jumlah skor yang dihasilkan dari penggabungan beberapa indikator variabel. Untuk mendapatkan kategori penilaian adalah dengan memberikan skor atau diindeks, yaitu yang tertinggi 5,4,3,2 dan yang terendah 1.
C. Populasi dan sampel
Keseluruhan obyek yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dan mendapat tugas pada saat dilaksanakannya peneltian ini. Berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik di atas, ternyata jumlah populasi yang tersedia di lingkungan Kantor Dinas Pendidikan adalah 109 orang pegawai.
Karena jumlah populasi yang cukup banyak, maka dalam penelitian ini ditarik sampel dengan sistem acak, yakni sebanyak 49 orang diambil dari masing-masing 7 dari 7 sub bidang yang ada.
D. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari responden dengan menggunakan kuesioner, wawancara dan observasi. Data ini berkaitan dengan Kinerja Birokrasi Pemerintah yang meliputi; efisiensi pelayanan birokrasi, Dinas Pendidikan , kerjasama tim, dan hubungan pimpinan-bawahan berdasarkan persepsi responden (individu) yang dituangkan dalam daftar pernyataan (statement) yang disusun secara sistematis berdasarkan variabel dan indikator.
2. Data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan dari instansi/unit kerja Pemda Kabupaten Bone; Dinas Pendidikan, Bagian Keuangan, Bagian Kepegawaian. Jenis data sekunder yang dibutuhkan adalah:
a. Data pegawai; jenis pendidikan, pangkat/golongan, jenis diklat.
b. Data tentang peraturan dan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
c. Jumlah dana untuk Dinas Pendidikan baik rutin maupun pembangunan.
d. Jumlah sarana dan prasarana yang ada.
E. Analisis Data
Tahapan pengolahan data setelah terkumpul dari responden adalah :
1. Editing, yaitu peneliti memeriksa seluruh kuesioner yang terkumpul dari responden untuk memastikan kecocokan pengisian sesuai dengan petunjuk pengisian, termasuk disini mengecek kembali ke responden bila ada jawaban yang belum jelas.
2. Pengkodean nomor responden untuk memudahkan tabulasi data pada tahap berikutnya.
3. tabulasi data, yaitu mencatat semua jawaban responden mulai dari responden pertama sampai responden terakhir. Dari hasil tabulasi data ini diperoleh skor berdasarkan Skala Likert berdasarkan variabel-variabel penelitian.
4. langkah selanjutnya adalah mencari Rata-rata, Variance dan Standar Deviasi dari pengukuran Skala Likert dengan rumus yang digunakan adalah:
a. Rata-rata X =
b. Variance S2 =
c. Standard Deviasi S =
5. Dari perhitungan tersebut di atas dapat disimpulkan sesuai dengan persepsi responden untuk masing-masing skala Likert, yaitu dengan memberi sebutan dari hasil indeks jawaban skala Likert dengan sebutan: Tinggi, Sedang, Rendah dan Rendah Sekali. Setiap kategori yang disimpulkan memiliki implikasi, antara lain berupa saran kongkrit untuk peningkatan kinerja birokrasi pemerintah Kabupaten Bone. Semua hasil pengolahan data tersebut selanjutnya dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif.
Pengkategorian nilai dalam bentuk skala likert sebagai berikut :
Variabel efesiensi pelayanan dinas
Interval Kategori
12 – 23 Sangat rendah
24 – 25 Rendah
36 – 47 Sedang
48 – 60 Tinggi
Variabel kerjasama tim
Interval Kategori
9 – 17 Sangat rendah
18 – 25 Rendah
26 – 34 Sedang
35 – 45 Tinggi
Variabel hubungan kerja
Interval Kategori
12 – 23 Sangat rendah
24 – 25 Rendah
36 – 47 Sedang
48 – 60 Tinggi
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja birokrasi pemerintah, khususnya dalam kasus Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, maka pembahasan berikut ini akan dijelaskan variabel-variabel penelitian kinerja birokrasi; efisiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan kerja pimpinan dengan bawahan. Uraian awal akan dideskripsikan terlebih dahulu tentang karakteristik responden dalam penelitian ini.
A. Karakteristik Responden
Subyek penelitian ini memiliki karateristik secara umum yakni pegawai di lingkungan Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, pada saat penelitian ini dilakukan berstatus sebagai pegawai aktif. Namun dari karateristik khusus yang secara terinci berbeda dari setiap responden. Karateristik yang dimaksud pada bagian ini meliputi, Jenis kelamin, Usia, dan Pendidikan terakhir responden.
1. Jenis kelamin
Responden dalam penelitian ini adalah pegawai di lingkungan Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bone. Untuk melihat karateristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pegawai
Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki
Perempuan
20
29
40,81
59,18
Total 49 100,00
Sumber data : Penelitian lapangan tahun 2007
Berdasarkan pada Tabel 1 di atas maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin pegawai pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Kondisi ini memungkinkan dapat berpengaruh terhadap kinerja pegawai, karena tingkat ketelitian perempuan dalam bekerja lebih tinggi dibanding laki-laki.
2. Tingkat usia responden
Untuk melihat secara keseluruhan, tingkat usia rata-rata responden dapat dilihat pada tabel 2. Data tabel menggambarkan bahwa dari 49 responden, 1 orang berusia 20 sampai 29 tahun, 31 orang berusia antara 30 sampai 39 tahun, 12 orang berusia antara 40 sampai 49 tahun dan 5 orang berusia antara 50 sampai 59 tahun.
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tingkat Umur
Pegawai Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Tingkat Umur Frekuensi Persentase
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59 1
31
12
5 2.04
63,26
24,48
10,20
Total 49 100.00
Sumber data : Penelitian lapangan tahun 2007
Hal ini menunjukkan bahwa komposisi usia responden terkonsentrasi pada usia 30 sampai 49 tahun atau masih dalam kategori usia produktif. Usia merupakan salah satu indentitas yang dapat memberikan petunjuk untuk mengetahui kemampuan fisik dan kemampuan daya pikir seseorang. Semakin tua usia seseorang semakin tinggi tingkat kematangan berpikirnya dalam proses pencapaian tujuan yang hendak dicapai. Pada usia produktif sangat memungkinkan seseorang untuk mencapai Kinerja dan meningkatkan Kinerja kerja karena masih didukung oleh kekuatan fisik dan energi yang menunjang untuk menjalankan aktivitas pengajaran, dan pelatihan serta bimbingan terhadap warga belajar.
3. Tingkat pendidikan
Dalam jenjang pendidikan terakhir responden, penelitia dapat menguraikan pada tabel 3
Tabel 3
Distribusi Responden Menurut Jenjang Pendidikan
Tingkat Umur Frekuensi Persentase
Sarjana Muda/ D III
Sarjana (S1)
Magister (S2) 3
43
3 6,12
87,75
6,12
Total 35 100.00
Sumber data : Penelitian lapangan tahun 2007
Data tabel 3 di atas, menunjukkan bahwa dari 49 respondedn 3 orang adalah lulusan Sarjana Muda / D III, 43 orang lulusan Sarjana (S1) dan 3 orang lulusan Magister (S2).
Komposisi pendidikan terakhir responden yang terkonsentrasi pada jenjang pendidikan Sarjana (S1). Hal ini sangat menguntungkan karena tingkat pendidikan dapat mempengaruhi profesionalisme dan kualitas kerja pegawai.
B. Kinerja Dinas Pendidikan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kinerja Birokrasi Pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan diukur melalui pendekatan proses. Variabel untuk mengukur kinerja organisasi melalui pendekatan ini adalah (1) efisiensi pelayanan dinas; (2) kerjasama tim; dan (3) hubungan kerja pimpinan dengan bawahan.
Tabel 4
Persepsi Responden tentang Tingkat Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Variabel Kinerja n Total
Skor Total Rata-rata SD Variance
• Efisiensi Pelayanan Dinas 49 1764 36,00 3,01 9,05
• Kerjasama Tim 49 1680 34,29 2,14 4,58
• Hubungan kerja Pimpinan dengan bawahan 49 2007 40,96 2,10 4,41
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Variabel efisiensi organisasi, seperti yang diperagakan pada tabel 1 menunjukkan rata-rata skor Skala Likert sebesar 36,00 skor ini berada pada kategori ’setuju’ Skala Likert, SD 3,01. Hal ini menunjukkan bahwa variance nilai untuk efisiensi sangat kecil, lebih kecil dari nilai rata-rata. Indikasi ini menunjukkan bahwa pola efisiensi organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone cenderung sama, yaitu berada pada kategori ’setuju’. Kesimpulan yang diambil untuk variabel efisiensi organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone adalah bahwa tingkat efisiensi organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam taraf ’sedang’, yaitu dalam skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi.
Kerjasama Tim, berdasarkan hasil penelitian ini, rata-rata skor skala Likert mencapai 34,29 atau termasuk ’setuju’ dalam skala Likert dengan SD 2,14. Ini berarti bahwa tidak ada variance nilai yang berarti untuk variabel kerjasama tim. Artinya responden mempunyai persepsi yang sama tentang kerjasama tim, yaitu berada pada kategori ’setuju’. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kerjasama tim di Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’sedang’, dalam skala nilai 9 - 17 = sangat rendah, 18 - 25 = rendah, 26 - 34 = sedang, dan 35 – 45 = tinggi. Artinya kerjasama tim yang dibangun atau diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam melaksanakan misi organisasi kategori sedang, kerjasama tim yang ada belum dapat menjadi sumber daya organisasi yang efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
Hasil penelitian mengenai hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan berdasarkan rata-rata skor skala Likert mencapai rata-rata skor 40,96. Skor ini menurut hasil penelitian berada pada kategori ’sangat setuju’ dan SD 2,10. Ini berarti bahwa variance nilai untuk variabel ini sangat rendah, masih lebih kecil di bawah angka rata-rata skor skala Likert. Indikasi ini memberi pengertian bahwa terdapat kecenderungan yang sama menurut persepsi responden tentang hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, yaitu cenderung sangat setuju. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa tingkat kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menciptakan hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan bertaraf ’tinggi’ dengan skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan tentang rendahnya kinerja birokrasi pemerintah seperti hasil temuan penelitian ini adalah teori Osborne & Gaebler (1992) tentang transformasi birokrasi kearah mewirausahakan birokrasi. Teori ini menjelaskan bahwa organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efisien ketimbang organisasi yang digerakkan oleh prosedur, organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efektif ketimbang organisasi hanya dapat ditingkatkan melalui perubahan visi, misi dan tujuan organisasi. Organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone adalah organisasi birokrasi yang digerakkan oleh kekuasaan/prosedur dengan pendekatan hubungan hirarki berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan.
1. Efisiensi Organisasi
Keberhasilan organisasi mengelola sumber daya yang dimiliki untuk mencapai misinya sangat ditentukan oleh tingkat efisiensi yang dicapainya. Bahkan efisiensi sangat menentukan tingkat kemampuan organisasi memenuhi harapan dan kepuasan pelanggannya.
Tingkat efisiensi organisasi adalah perbandingan antara faktor-faktor input; berupa sumber daya organisasi untuk menghasilkan satu-satuan output berupa barang atau jasa. Dalam hal ini yang dihasilkan oleh Dinas Pendidikan dapat berupa pelayanan dalam pembangunan pendidikan. Sedangkan sumber daya dapat berupa dana, tenaga manusia, peralatan, waktu yang digunakan untuk menghasilkan output.
Sesuai dengan indikator efisiensi dalam penelitian ini adalah jumlah waktu yang dipakai untuk dapat menjalankan program-program dalam bidang pendidikan, jumlah biaya yang dipakai dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan.
Tabel 5
Persepsi Responden tentang Tingkat Efisiensi Organisasi
Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Indikator Efisiensi n Total
Skor Total Rata-rata SD Variance
• Waktu yang digunakan 49 495 10,10 1,50 2,26
• Biaya yang Dipakai 49 357 7,29 0,97 0,95
• Pegawai yang digunakan 49 491 10,02 1,31 1,72
• Intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan 49 421 8,59 0,76 0,58
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa tingkat efisiensi organisasi yang diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’baik’ dalam skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi. Oleh karena itu, untuk menjelaskan tentang fenomena tingkat efisiensi organisasi dapat dilihat pada masing-masing indikator yang dipakai seperti pada peraga tabel 2 di atas.
a. Indikator waktu yang digunakan dalam pelaksanaan program pembangunan pendidikan
Indikator waktu yang digunakan dianalisis dengan 3 item pertanyaan. Hasil penelitian berdasarkan rata-rata skor Likert berada pada skor 10,10 atau masuk kategori ’setuju’ dan SD 1,50. Dengan demikian bahwa indikator waktu yang digunakan dalam pembangunan pendidikan berdasarkan persepsi responden tidak memiliki variasi berarti. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesamaan persepsi responden tentang waktu yang dipakai, yaitu’setuju’. Kesimpulan yang diambil untuk indikator ini adalah waktu yang ditetapkan untuk pelaksanaan program-program pembangunan pendidikan tingkat pencapaiannya berada pada taraf ’sedang’ dalam skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
b. Indikator biaya yang dipakai
Untuk mengukur indikator biaya yang dipakai untuk pelaksanaan program pendidikan dideteksi melalui 3 item pernyataan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata skala Likert sebesar 7,29 dan SD 0,97. Skor 7,29 berada pada kategori ragu-ragu’. Hasil ini memberi pengertian bahwa SD sangat kecil dan tidak memiliki variasi. Ini berarti bahwa responden memiliki pola jawaban yang sama bahwa biaya yang digunakan dinas pendidikan kabupaten Bone adalah rendah atau ’ragu-ragu’. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa biaya yang digunakan untuk pelaksanaan program-program pendidikan kurang baik dalam skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
c. Indikator pegawai yang dipakai
Untuk mengukur indikator pegawai yang dipakai untuk melayani pendidikan dapat dipantau melalui 3 item pernyataan. Hasil penelitian indikator peralatan, skor skala Likert 10,02 atau termasuk kategori ’setuju’ dan SD 1,31. Hal ini menunjukkan bahwa variasi jawaban responden sangat kecil, lebih rendah dari angka rata-rata skor skala Likert. Ini berarti bahwa responden mempunyai pola jawaban yang sama bahwa pegawai yang tersedia saat ini sudah memadai atau dengan pernyataan ’setuju’. Kesimpulan adalah tingkat ketersediaan pegawai yang dipakai dalam taraf ’sedang’ yaitu skala antara : skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Dengan pengertian lain bahwa pegawai yang dimiliki oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone saat ini sudah memadai dibandingkan dengan kebutuhan dalam pembangunan pendidikan.
d. Indikator Intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan
Indikator intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dijaring melalui 3 item pernyataan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan yang dapat dicapai oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berdasarkan skala Likert berada pada skor 8,59 atau termasuk kategori ’kurang setuju’ dan SD 0,76. Data ini berarti responden memiliki pola jawaban yang sama bahwa intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone tidak bervariasi. Artinya, dapat disimpulkan bahwa tingkat intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf berkinerja ’rendah’, yaitu dalam skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
2. Kerjasama Tim
Salah satu sumber daya organisasi yang handal adalah adanya kerjasama Tim (team work) yang tangguh dan prima. Kerjasama tim harus dibangun dan dikembangkan secara terus menerus sesuai dengan tuntutan dan tantangan tugas-tugas yang dihadapi oleh organisasi. Oleh karena itu, dalah satu kinerja organisasi yang penting yang harus dicapai oleh organisasi adalah membangun kerjasama tim yang tangguh.
Organisasi dapat mencapai kinerja outputnya yang tinggi sangat ditentukan solidnya kerjasama tim untuk mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawab organisasi. Untuk membangun kerjasama tim yang tangguh tidak hanya adanya pembagian tugas yang jelas antara masing-masing individu dan besarnya kewenangan yang dimiliki untuk mengerjakan pekerjaan. Tetapi yang lebih penting adalah sebuah tim yang tangguh harus saling percaya antara satu orang dengan orang lain terhadap integritas, motivasai, nilai dan segala atribut yang dimiliki oleh anggota tim.
Di samping anggota Tim saling percaya, juga harus saling menjunjung tinggi atas segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh anggota tim yang lainnya. Saling menjunjung tinggi memberi dorongan kepada semua anggota tim untuk loyal dan memiliki motivasi yang tinggi untuk terlibat dalam proses kerjasama tim.
Indikator yang ketiga yang sangat penting tumbuhnya kapasitas kerjasama tim yang tangguh adalah saling mengisi antar anggota tim. Saling mengisi, menandaskan tim tersebut melakukan proses pembelajaran (learning process) yang secara terus-menerus, terutama dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Disinilah tim melakukan proses pemberdayaan anggota timnya dan proses pembangunan tim (team building) tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya tak ada lagi yang dapat memisahkan diantara mereka, mereka diikat oleh visi dan misi tim yang sama, yaitu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara bersama-sama.
Tabel 6
Persepsi Responden tentang Tingkat Kerjasama Tim
Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Indikator Kerjasama Tim n Total
Skor Total Rata-rata SD Variance
• Saling Percaya 49 532 10,86 1,39 1,95
• Saling menjunjung tinggi 49 565 11,35 0,89 0,79
• Saling mengisi 49 231 11,90 1,77 1,38
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam membangun kerjasama tim berada dalam rata-rata skor skala Likert mencapai 34,29 atau termasuk setuju dalam skala Likert dengan SD 2,14. Ini berarti bahwa tidak ada variance nilai yang berarti untuk variabel kerjasama tim. Artinya responden mempunyai persepsi yang sama tentang kerjasama tim, yaitu berada pada kategori setuju. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kerjasama tim di Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’sedang’, dalam skala nilai 9 - 17 = sangat rendah, 18 - 25 = rendah, 26-34 = sedang, dan 35 – 45 = tinggi. Artinya kerjasama tim yang dibangun atau diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam melaksanakan misi organisasi baik, kerjasama tim yang ada belum dapat menjadi menjadi sumber daya organisasi yang efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
Kerjasama tim yang ada hanya sebatas kerjasama yang secara jelas diatur selalui uraian tugas. Jadi, sebenarnya belum ada terbentuk kerjasama tim yang kompak yang bukan didasarkan hubungan atasan dan bawahan.
a. Indikator saling percaya
Indikator saling percaya semua unsur organisasi seperti yang diperagakan pada tabel 4 dijaring melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan hasil penelitian untuk indikator saling percaya antara anggota tim dalam organisasi berada dalam skor 10,86 skala Likert atau termasuk kategori setuju’ dan SD relatif kecil, yaitu hanya 1,39. Simpulan dalam penelitian ini adalah tingkat saling percaya antara semua unsur dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’sedang’ dalam skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Saling percaya antara sesama anggota organisasi/tim dalam hal tugas yang diberikan dan tanggungjawab yang diemban oleh masing-masing anggota tim.
b. Indikator saling menjunjung
Demikian pula untuk indikator saling menjunjung tinggi, dideteksi melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan kriteria tersebut maka dapat diketahui menurut hasil penelitian untuk indikator saling menjunjung tinggi antara semua unsur dan lapisan dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam skor 11,35 atau termasuk kategori ’setuju’ dan SD 0,89 lebih rendah nilai variance daripada skor rata-rata. Kesimpulan untuk indikator adalah saling menjunjung tinggi antara semua unsur dan lapisan dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone ini berada dalam taraf yang masih ’sedang’ yaitu Skala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
c. Indikator saling mengisi
Hal serupa pengukuran indikator saling mengisi dilakukan melalui 3 item pernyataan, seperti pula pada indikator saling percaya, maka berdasarkan hasil penelitian seperti yang diperagakan pada tabel 4 di atas menunjukkan skor 11,90 atau termasuk kategori ’setuju’ dan SD 1,38 dengan kesimpulan bahwa tingkat saling mengisi dan menerima antara semua unsur dalam dinas ini berada dalam taraf ’sedang’ dalam Skala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Kinerja tim dalam hal saling mengisi antar sesama anggota tim ini terutama dalam hal saling mengajarkan atas hal-hal baru yang belum pernah diperoleh oleh anggota tim lainnya, memberi saran dan dukungan atas kekurangan anggota tim lainnya.
Kondisi ini cukup memenuhi syarat untuk menciptakan kerjasama tim yang prima karena antara pegawai/pekerja, pimpinan dan bawahan masih cukup transparan, saling percaya dan saling menghargai atas segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Pendapat responden tentang tingkat kepercayaan dan rasa saling menjunjung tinggi ini disebabkan : (1) ada sebagian pegawai mendapat tempat yang ’basah’, padahal pekerjaan yang dilakukan bukan pekerjaan pokok hanya pekerjaan penunjang; (2) belum seimbang pengabdian dengan imbalan yang diterima pegawai/pekerja sehingga keterlibatan secara total pegawai atas pekerjaannya masih rendah; (3) perlakukan/kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten Bone atas pekerja yang rajin, pintar dan yang mempunyai kemampuan sama saja; dan (4) tidak adanya penilaian kinerja yang jelas tingkat keberhasilan seorang pegawai dalam melakukan pekerjaannya, baik dalam tim/seksi/bagian maupun secara pribadi.
Fenomena yang dapat dijelaskan tentang rendahnya kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam membangun kerjasama tim adalah pola kerjasama yang terjalin cenderung berdasarkan pendekatan kewenangan dan kekuasaan, dimana hubungan kerjasama antara pegawai didasarkan atas pembagian tugas yang secara hirarkial sangat kaku dengan batasan tugas pokok dan fungsi yang telah ada. Prinsip ini dikenal dalam Tipe Ideal Birokrasi Weber, dimana salah satu Prinsip ideal birokrasi adalah adanya hubungan hirarkial-struktural dalam jaringan kerjasama. Pola dan pendekatan Birokrasi Weberian seperti ini tak mampu memciptakan kerjasama tim yang prima, kerjasama tim yang tangguh dan prima hanya dapat dilakukan atas dasar asas kesamaan dan kesederajatan, saling percaya, saling menjunjung tinggi dan saling mengisi antara satu dengan lainnya sehingga semua anggota organisasi ’tidak merasa’ diperintah dan ’tidak merasa’ ada yang memerintah.
3. Hubungan Kerja antara Pimpinan dengan Bawahan
Dalam organisasi birokrasi modern pola hubungan kerja pimpinan dengan bawahan sangat menentukan efektivitas dan efisiensi organisasi. Hubungan kerja yang terjalin dengan baik dan harmonis dapat memungkin pimpinan dan bersama bawahan untuk mendayagunakan sumber daya secara optimal, dapat menciptakan koordinasi, singkronisasi, simplikasi proses kegiatan organisasi secara efisien dan efektif.
Tabel 7
Persepsi Responden tentang Tingkat Hubungan Kerja
Antara Pimpinan dan Bawahan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Indikator Hubungan Kerja n Total
Skor Total Rata-rata SD Variance
• Dukungan 49 561 11,45 0,89 0,79
• Pemberdayaan 49 480 9,80 0,91 0,83
• Partisipasi 49 486 9,92 1,03 1,07
• Tanggung Jawab 49 480 9,80 1,08 1,66
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Hasil penelitian tentang tingkat kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menciptakan hubugan kerja antara Pimpinan dan Bawahan seperti yang telah diuraikan sebelumnya berada dalam rata-rata skor skala Likert mencapai rata-rata skor 40,96. Skor ini menurut hasil penelitian berada pada kategori ’sangat setuju’ dan SD 2,10. Ini berarti bahwa variance nilai untuk variabel ini sangat rendah, masih lebih kecil di bawah angka rata-rata skor skala Likert. Indikasi ini memberi pengertian bahwa terdapat kecenderungan yang sama menurut persepsi responden tentang hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, yaitu cenderung setuju. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa tingkat kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menciptakan hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan bertaraf ’sedang’ dengan skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi.
Untuk menjelaskan fenomena hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan diuraikan melalui indikator penelitian berikut ini.
a. Indikator dukungan
Guna menjelaskan tentang indikator dukungan bawahan terhadap atasan dijaring melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan peraga tabel 4 di atas dapat diketahui skor rata-rata skala Likert untuk indikator dukungan bawahan terhadap pimpinan adalah 11,45, atau termasuk kategori ’setuju’, dengan SD lebih kecil dari angka rata-rata yaitu 0,89. Ini berarti responden memiliki persepsi yang sama tentang dukungan terhadap pimpinan yaitu cenderung ’sedang’. Skala dalam menarik kesimpulan berdasarkan indikator ini adalah : Skala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil adalah tingkat dukungan terhadap pimpinan berada dalam taraf ’sedang’. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden bawahan, memberikan keterangan bahwa dukungan terhadap pimpinan terutama dalam menyelesaikan tugas diberikan, patuh dan taat terhadap perintah dan selalu mengikuti garis kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan karena pimpinan memiliki kewenangan untuk memerintah dan menjatuhkan sanksi atas bawahannya.
b. Pemberdayaan
Indikator pemberdayaan, dimana skor rata-rata skal Likert berada pada skor 9,80 yang dijaring melalui 3 item pernyataan. Skor 9,80 ini berada pada kategori ’setuju’ dengan kesimpulan adalah pemberdayaan bawahan oleh pimpinan berada dalam taraf ’baik’ kala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Hasil wawancara dengan responden pimpinan adalah, wujud dari pemberdayaan bawahan adalah (1) memberi telaahan atas tugas pokok dan fungsinya dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya; (2) mendorong untuk bekerja keras; (3) mendorong untuk mengembangkan diri dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kinerjanya.
c. Indikator partisipasi
Untuk menjelaskan indikator partisipasi bawahan dijaring melalui 3 pernyataan. Seperti hasil penelitian yang diperagakan pada tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata skor skala Likert untuk indikator partisipasi menunjukkan skor 9,92 atau termasuk kategori ’setuju’ dan SD 1,03 atau variance lebih rendah daripada angka rata-rata skor skala Likert. Kesimpulannya adalah bahwa tingkat pertisipasi bawahan dalam melaksanakan perintah pimpinan berada dalam taraf ’sedang’ yaitu dalam kala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Bentuk partisipasi bawahan ini adalah melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan garis perintah, mendukung atas setiap kebijakan pimpinan dan menjalankan taat terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku yang diperintahkan oleh pimpinan.
d. Indikator tanggung jawab
Untuk menjelaskan tentang indikator tanggung jawab bawahan atas tugas yang dilimpahkan oleh pimpinan dilakukan melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan hasil penelitian rata-rata total skor untuk indikator tanggung jawab adalah 9,80 termasuk kategori ’setuju’, SD 1,08 atau lebih rendah variance terhadap skor rata-rata skala Likert. Untuk menarik kesimpulan mengenai tingkat tanggung jawab bawahan menggunakan kala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Dengan demikian tanggung jawab bawahan dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan berada dalam taraf ’sedang’. Artinya pegawai memilih tanggung jawab yang tinggi atas tugas yang diberikan oleh pimpinannya.
Walaupun hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan berada dalam taraf yang ’baik’ atau dengan perkataan lain tingkat kinerja hubungan pimpinan dengan bawahan berada dalam kategori baik, akan tetapi dalam penelitian ini tidak mempunyai hubungan erat dengan tingkat keterlibatan, partisipasi, rasa kebertanggung jawaban jajaran dinas ini terhadap pencapaian tugas pokok dan fungsi dinas, khususnya pada pelaksanaan kegiatan operasional.
Hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan dapat dijelaskan pula oleh informasi menurut informan, bahwa semua pegawai/staf Dinas Pendidikan Kabupaten Bone harus tunduk dan taat segala perintah pimpinan karena pimpinan memiliki wewenan untuk memerintah, mengelola sumber daya dinas, mengawasi atas semua tingkah laku bawahan. Keberhasilan Dinas ini melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya sangat tergantung dari pimpinan. Oleh karena itu pula apabila tugas pokok dan fungsi dinas tercapai dengan efisien, efektif, dapat memuaskan pegawai maupun masyarakat maka orang yang pertama merasa sukses adalah pimpinan.
Dengan demikian kesimpulan penting yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian berdasarkan wawancara respondendan informan tentang variabel hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan dalam organisasi birokrasi adalah (1) hubungan yang terjalin didasarkan atas hubungan hirarkial, bukan atas dasar kerjasama tim; (2) pemberdayaan bawahan oleh pimpinan dalam konteks hirarkis, yaitu berdasarkan kekuasaan yang dimiliki oleh atasan; (3) dukungan yang diberikan oleh bawahan kepada pimpinan atas dasar bahwa pimpinan memliki kewenangan untuk memerintah dan bawahan wajib memberi dukungan dan harus loyal atas setiap perintah atasan; (4) partisipasi bawahan didasarkan atas perintah dan ketentuan yang ditetapkan oleh pimpinan.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Kinerja Birokrasi Pemerintah Kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa kinerja birokrasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone merupakan aktivitas dari seorang pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Bone setelah menerapkan semua persyaratan atau tugas sesuai dengan kompetensinya. Adapun hal-hal yang dinilai dalam penelitian ini untuk mengukur kinerja birokrasi pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone adalah meliputi, efesiensi organisasi, kepuasan kerja, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan.
1. Faktor Pendukung Kinerja Birokrasi Pemerintah pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap responden, ditemukan berbagai faktor pendukung dan penghambat dalam upaya peningkatkan kinerja birokrasi di Dinas Pendidikan Kabupaten Bone. Faktor-faktor ini dapat terjadi baik secara internal maupun eksternal organisasi. Faktor internal meliputi unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh organisasi, yakni Dinas Pendidikan Kabupaten Bone. Kemudian faktor eksternal aspek yang bersumber dari luar Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, seperti pemerintah, instansi yang relevan dan masyarakat.
Dalam hal efesiensi organisasi, terdapat faktor pendukung dan penghambat. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan faktor-faktor tersebut. Faktor pendukung efesiensi organisasai meliputi ; (1) adanya kesadaran dari pegawai dalam menjalankan peran dan fungsinya dengan waktu yang sebaik-baiknya, (2) penggunaan anggaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan pendidikan cukup tepat sasaran, (3) penggunaan pegawai dalam job description yang tepat dan profesional dikembangkan dalam dinas, (4) keterpaduan antara jumlah program dengan kualitas yang diinginkan. Selain faktor tersebut, indikator lain yang dapat diukur dari faktor pendukung adalah; (1) dukungan dan kerjasama dari pegawai yang cukup solid, (2) hubungan baik vertikal maupun horizontal berjalan baik dalam tubuh organisasi sehingga tercipta suasana harmonis, (3) pembagian kerja yang cukup profesional, (4) dukungan pemerintah Kabupaten Bone yang baik, (5) partisipasi masyarakat yang cukup baik.
2. Faktor Penghambat Kinerja Birokrasi Pemerintah pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Apabila dikonfirmasi dengan data hasil wawancara dengan informan dapat diketahui bahwa tingkat kinerja birokrasi mendapat hambatan utamanya: (1) alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai relatif rendah; (2) kurangnya inisiatif dari dinas untuk menyusun program pengembangan pegawai; (3) pola pengembangan pegawai saat ini masih sangat sentralistik; (4) inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri masih rendah; (5) jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan jumlah pegawai yang dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan di wilayah-wilayah terpencil.
Kemudian faktor penghambat ditemukan berdasarkan hasil wawancara adalah (1) sangat padatnya program pendidikan yang kadang kala tumpang tindih sehingga sangat menyita waktu dan perhatian pegawai. Intensitas pekerjaan yang tinggi tentunya berpengaruh pada kualitas kinerjanya, (2) anggaran yang diberikan dari pemerintah daerah masih minim dibanding dengan kebutuhan pendidikan yang sebenarnya, (3) jumlah pegawai yang relatif sedikit dibanding kebutuhan kerja, sehingga mempengaruhi efesiensi kerja, utamanya dalam mengejar kualitas kerja.
Dinas Pendidikan Kabupaten Bone melalui kebijakan pimpinan mengeluarkan serangkankain kebijakan dalam rangka meningkatkan faktor pendukung efesiensi dan berusaha mengeliminir faktor penghambat tersebut. Usaha yang dilakukan meliputi; (1) melakukan koordinasi setiap elemen dalam birokrasi, (2) mengusahakan membangian anggaran dalam setiap program secara profesional, (3) mengadakan studi mendalam tentang program-program apa saja yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan pembangunan pendidikan, dan (4) mengusahakan kerjasama dari instansi lain yang relevan dengan program pendidikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berdasarkan pendekatan proses.
1. Tingkat Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam melaksanakan fungsi berada dalam taraf berkinerja sedang.
2. Efisiensi organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam mencapai fungsi pengelolaan pendidikan berada dalam taraf baik. Dilihat dari indikator waktu yang digunakan dalam pelaksanaan pelayanan dalam bidang pendidikan. Dilihat dari indikator biaya yang dipakai yang tergolong masih rendah dibanding dengan kebutuhan yang ada. Demikian pula pegawai yang dipakai untuk pelaksanaan pelayanan pembangunan pendidikan kurang memadai dibandingkan dengan kebutuhan yang diperlukan.
3. Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam membangun kerjasama tim yang prima untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi dinas terbentuk berdasarkan atas dasar saling percaya, saling menjunjung tinggi dan saling mengisi diantara semua unsur dan lapisan dinas. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan kerjasama tim yang diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf sedang. Proses kerjasama yang terjadi dalam menciptakan kerjasama tim bersifat berdasarkan pendekatan kewenangan yang tertulis dan secara psikologis pegawai terikat dalam satu kerjasama tim (teamwork) yang utuh.
4. Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menciptakan hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan berada dalam taraf tinggi, yaitu melalui dukungan, pemberdayaan, partisipasi dan tanggung jawab dalam batasan kewenangan yang dimiliki. Hubungan yang terjalin diidasarkan atas kekuasaan sehingga bawahan harus tunduk kepada kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan untuk melakukan perintah dan mengambil keputusan serta memberi sanksi.
5. Faktor pendukung kinerja organisasi adalah antara lain; (1) dukungan dan kerjasama dari pegawai yang cukup solid, (2) hubungan baik vertikal maupun horizontal berjalan baik dalam tubuh organisasi sehingga tercipta suasana harmonis, (3) pembagian kerja yang cukup profesional, (4) dukungan pemerintah Kabupaten Bone yang baik, (5) partisipasi masyarakat yang cukup baik. Kinerja birokrasi mendapat hambatan utamanya : (1) alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai relatif rendah; (2) kurangnya inisiatif dari dinas untuk menyusun program pengembangan pegawai; (3) pola pengembangan pegawai saat ini masih sangat sentralistik; (4) inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri masih rendah; (5) jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan jumlah pegawai yang dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan di wilayah-wilayah terpencil.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis merekomendasikan berupa saran-saran sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan efisiensi Dinas dalam pelayanan pendidikan perlu rasionalisasi pegawai dan penataan kembali struktur organisasi dinas yang ada sekarang yang disesuaikan berdasarkan tuntutan kebutuhan tugas dinas.
2. Pengelolaan organisasi birokrasi yang hanya menekankan pada pendekatan prosedur harus disempurnakan melalui perubahan visi, misi, pendekatan, strategi dan kegiatan operasional agar dapat tercipta kepuasa kerja, kerjasama tim yang prima, hubungan kerja berdasarkan pendekatan partisipasi dan kelompok kerja (teamwork) guna dapat mencapai misi organisasi yang efisiensi, efektif dan berkeadilan kearah yang lebih baik
3. Penelitian ini belum komprehensif, karena hanya melihat kinerja organisasi dari segi pendekatan proses, maka untuk kebutuhan penelitian berikutnya bagi yang berminat meneliti kinerja organisasi birokrasi dapat menggunakan pendekatan output, yaitu mengukur produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh birokrasi pemerintah berdasarkan tingkat kepuasaan dan ekspektasi masyarakat yang dilayani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukur, M., Aspek Kepemimpinan Dalam Birokrasi (Pengembangan Kemampuan Administrasi Dalam Menunjang Pembangunan Nasional, Persadi, Ujung Pandang, 1984.
Ahmad, Baddu, Suatu Analisis tentang Prestasi Kerja dan Hubungannya dengan Kepuasaan dan Semangat Kerja pada Kantor Setwilda Tk. I Sulsel, Tesis S2 Unhas, Ujung Pandang, 1994.
Albrow, Martin, Birokrasi, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1989.
Armstrong Michael and Angela Baron, Performance Management the New Realities, Isntitute of Personnel and Development, London, 1998.
Creech, Bill, Lima Pilar Manajeme Mutu Terpadu (Cara membuat Total Qualitty Manajemen Bekerja Bagi Anda), Binarupa Aksara, Jakarta, 1996.
Dajan, Anton, Pengantar Metode Statistik, LP3ES, Jilid I, Jakarta, 1993.
Drucker, Peter, F., Managing In a Time of Great Change (Manajemen di Tengah Perubahan Besar), Efek Media Komputelindo, Jakarta, 1997.
Frederickson, H., George, Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta, 1984.
Fisipol UGM, Peranan Bappeda Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah di Indonesia, 1991
Gaspersz, Vincent, Manajemen Kualitas (Penerapan Konsep-konsep Kualitas Dalam Manajemen Bisnis Total), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Gibson, dkk., Organisasi: Perilaku, Struktu dan Proses,Binarupa Aksara, Jilid I & II, Jakarta, 1996.
Haselbein, Frances, Marshall Goldsmith, Ricard Beckhard, The Organization of The Future (Organisasi MAsa Depan), PT Elex Media Komputindi, Jakarta, 1997.
Henry, Nicholas, Administrasi Negara dan Masalah-masalah Publik, Rajawali Press, Jakarta 1995.
Kartaningsih, Elis, Gagasan Penilaian Kinerja Pelayanan Umum:Institusi Mekanisme dan Instrumen Penilaian, Jurnal Wacana Kinerja, No. 4 Thn 1, LAN Jawa Barat, 1999.
Kartasasmita, Ginanjar, Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1997.
__________, Pembangunan untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan), CIDES, Jakarta, 1996.
Kerlinger, Fred, N, Asas-asas Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995.
Korten, Frances, F., Robert Y., Siy, Jr., 1998, Transforming a Bureaucracy (the Experience of the Philipine National Irrigation Administration), Ateneo De Manila University Press.
Kristiadi, J.B, Persfektif Administrassi Publik Menghadapi Tantangan Abad 21, Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Edisi, Khusus, Volume I No. 2, 1997.
___________, Administrasi/Manajemen Pembangunan, LAN, Jakarta, 1994.
LAN Perwakilan Jawa Barat, 1998, Pelayanan Kebersihan Kota (Hasil Penelitian).
LAN, Pengetahuan Tentang Visi dan Misi, Jakarta, 1998.
___________, Strategi Pelayanan Prima, Jakarta, 1999.
___________, Konsep Pengembangan Tentang Pelayanan Prima, Jakarta, 1998.
Lubis, Hari, S.B, Martini Huseini, Teori Organisasi )suatu Pendekatan Makro), PusatAntar Universitas Ilmu-ilmu Sosial – UI.
M., M, Tahir, Suatu Analisis tentang Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kepuasan Kerja Pegawai pada Kantor Kopertis Wilayah IX,Tesis S2 Unhas, Ujung Pandang, 1997.
Makmur H, M.Si, Filsafat Administrasi, Bumi Aksara, Jakarta, Februari 2006
Mallo, Manase, Sri Trisnoningtias, Metode Penelitian Masyarakat, Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial – Universitas Indonesia.
Muhammad Arif Tiro, Instrumen Penelitian Sosial-Keagamaan, Andira Publisher, Makassar, Januari 2005
Muhammad Arif Tiro, Metode Penelitia Sosial-Keagamaan, Andira Publisher, Makassar, Januari 2005
Muhammad Arif Tiro, Masalah dan Hipotesis Penelitian Sosial-Keagamaan, Andira Publisher, Makassar, Mei 2005
Murtir Jeddawi, Hukum Pemerintahan Daerah, UII Pres Yogyakarta, Watampone, 2006
Mustopadidjaja, AR & Bintoro, Tjokroamodjojo, Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani, LAN, Jakarta, 1999.
__________, Format Pemerintahan Menghadapi Abad 21, Jurnal, Administrasi & Pembangunan, Edisi Khusus, Vol. I No. 2, LP3ES, Jakarta, 1997.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Nisjar, Karhi, S., Beberapa Catatan Tentang Good Governance, Jurnal Administrasi & Pembangunan, Edisi Khusus, Vol. I, No. 2, LP3ES, Jakarta 1997.
PERSADI, Pembangunan Administrasi di Indonesia, Jakarta, 1985.
Prawirosentono, Suyadi, Kebijaksanaan Kinerja Karyawan (Kiat Membangun Organisasi Kompetitif Menjalang Perdagangan Bebas Dunia), BPFE, Yogyakarta, 1999.
Quigley, V., Joseph, Vision (How Leaders Develop It, Share It, and Sustain It, Quigley and Associates, Inc, New York, 1993.
Rasyid, Ryaas, Pembangunan Pemerintahan Indonesia Memasuki Abad 21, Jurnal Adminsitrasi & Pembangunan, Edisi Khusus, Vol. I, No. 2, LP3ES, Jakarta, 1997.
Robbins, Stephen, Perilaku Organisasi (Konsep, Kontroversi, Aplikasi), Prenhalinde, Jakarta, 1996.
Savas, E. S., Privatization : The Key to Better Government, Chatham House Publisher, Inn., New Jersey, 1987.
Senge, Peter, M., The Fifth Dicipline (The Art and Practice of the Learning Organization), Doubleday Dell Publishing Group, 1997.
STIA Prima Sengkang, Pedoman Penyusunan Tesis Program Pascasarjana, Sengkang, September 2004
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 1987.
Syamsiah Badaruddin, Pembangunan Nasional & Pembangunan Regional, Lukman al-Hakim, Watampone, 2006
Tjokroamidjojo, Bintoro, Pengantar Adminsitrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1985.
Thoha, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara), jilid II, Rajawali Press, Jakarta, 1987.
___________, Pokok-pokok pikiran Tentang Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, Jurnal Administrasi dan PembangunanVol. I No. 2, LP3ES, Jakarta, 1997.
Osborne, David, Ted, Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasikan Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1992.
Osborne, David and Plastrik, Peter, Banishing Bureaucracy (The Five Strategic For Reinventing Government) Eddision Wesley Publishing Company, Inc., 1998.
Williams, S., Richard, Performance Management: Perspectives on Employee Performance, International Thomson Business Press, London, 1998.
Penelitian ini bertjuan untuk mengetahui kinerja birokrasi, khususnya yang berkaitan dengan tingkat efesiensi organisasi, kerja, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan, serta faktor pendukung dan penghambat kinerja birokrasi pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone.
Populasi penelitian ini adalah keseluruhan pegawai dinas pendidikan kabupaten bone sebanyak 109 orang, selanjutnya dilakukan penarikan sampel sebanyak 49 orang
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kinerja birokrasi berada taraf baik. Hal ini terutama terlihat pada semua variabel penelitian, yakni, efesiensi, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan. Faktor pendukung kinerja birokrasi antara lain; tingkat kerjasama yang solid, hubungan vertical dan horizontal yang harmonis, serta dukungan dari pemerintah dan masyarakat yang cukup memadai. Faktor penghambat antara lain, alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai relatif rendah, kurangnya inisiatif dari dinas untuk menyusun program pengembangan pegawai, pola pengembangan pegawai saat ini masih sangat sentralistik, inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri masih rendah; dan jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan jumlah pegawai yang dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan.
Implikasi yang dapat direkomendasikan dalam penelitian ini seperti berikut; (1) perlu rasionalisasi pegawai dan penataan struktur organisasi dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, (2) Pengelolaan organisasi birokrasi yang hanya menekankan pada pendekatan prosedur harus disempurnakan melalui perubahan visi, misi, pendekatan, strategi dan kegiatan operasional agar dapat tercipta, kerjasama tim yang prima, hubungan kerja berdasarkan pendekatan partisipasi dan kelompok kerja (teamwork) guna dapat mencapai misi organisasi yang efisiensi, efektif dan berkeadilan kearah yang lebih baik
DAFTAR ISI
PRAKATA iii
ABSTRAK iv
DAFTAR ISI vi
DAFTAR TABEL viii
DAFTAR GAMBAR ix
DAFTAR LAMPIRAN x
BAB I PENDAHULUAN 1
A. Latar Belakang 1
B. Rumusan Masalah 9
C. Tujuan Penelitian 9
D. Manfaat Penelitian 9
BAB II KAJIAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR 11
A. Administrasi Pembangunan dan Reformasi Administrasi 11
B. Arah Perkembangan Administrasi Publik 16
C. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa 24
D. Konsep Kinerja 28
E. Kinerja Organisasi Birokrasi 32
F. Kualitas Individu dan Pembelajaran Organisasi 40
G. Efesiensi, Efektivitas dan Kesehatan Organisasi Birokrasi 44
H. Kerangka Pikir 46
BAB III METODOLOGI PENELITIAN 51
A. Jenis Dan Lokasi Penelitian 51
B. Variabel, Definisi Operasional, Indikator dan Pengukuran Variabel 52
C. Populasi dan Sampel 54
D. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data 55
E. Analisis Data 55
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN 57
A. Kinerja Dinas Pendidikan 57
B. Efesiensi Organisasi 60
C. Kepuasan Kerja Organisasi 64
D. Kerjasama Tim 67
E. Hubungan Kerjasama Pimpinan dengan Bawahan 72
F. Faktor Pendukung dan Penghambat 77
BAB V KESIMPULAN DAN SARAN 80
A. Kesimpulan 80
B. Saran-saran 82
DAFTAR PUSTAKA 83
LAMPIRAN 87
DAFTAR TABEL
No. Halaman
1. Persepsi Responden tentang Tingkat Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 57
2. Persepsi Responden tentang Tingkat Efisiensi Organisasi Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 61
3. Persepsi Responden tentang Tingkat Kerjasama Tim Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 68
4. Persepsi Responden tentang Tingkat Hubungan Kerja Antara Pimpinan dan Bawahan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone 72
DAFTAR GAMBAR
Gambar Uraian Halaman
1. Jenis Sasaran dan Kinerja Organisasi Yang Ingin Dicapai 31
2. Metode Analisis Kinerja Birokrasi Pemerintah: (Kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone) 50
DAFTAR LAMPIRAN
No. Halaman
1. Angket Penelitian 86
2. Pedoman Wawancara 92
3. Skor Angket Penelitian 94
4. Univariate Procedure 102
BAB 1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Perkembangan paradigma studi ilmu administrasi negara sangat cepat dan mengikuti perubahan lingkungan yang mempengaruhinya. Seperti studi yang sistematis yang dilakukan oleh Nicholas Henry (1995) yang mengelompokkan paradigma administrasi negara atas; (a) dikhotami politik administrasi, (b) paradigma prinsip-prinsip administrasi negara, (c) paradigma administrasi negara sebagai ilmu politik, (d) paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi, dan (e) paradigma administrasi negara sebagai ilmu administrasi negara sampai pada tahun 1970. Setelah tahun 1970, paradigma administrasi negara berkembang menjadi paradigma administrasi pembangunan (J.B Kritiadi:1997). Dalam paradigma ini peran pemerintah dalam pembangunan negara-negara berkembang sangatlah besar. Oleh karena itu menurut Abdullah (1984) peran administrasi pembangunan dalam proses pembangunan adalah sebagai ”Agen of Change”. Hal ini berarti proses perencanaan, perumusan kebijaksanaan, implementasi dan pengendalian pelaksanaan pembangunan semuanya dilakukan oleh pemerintah.
Studi yang dilakukan oleh David Osborne dan Gaebler (1992) menggugat tesis tersebut, bahwa pemerintah tidaklah cukup mampu untuk melakukan sendiri kegiatan sektor publik; pemerintah tidak memiliki cukup biaya untuk membiayai kegiatan sektor publik. Oleh karena itu keterlibatan unsur swasta, masyarakat dan kelembagaan masyarakat lainya dalam menyelenggarakan sektor publik merupakan pilihan tepat untuk menciptakan efisiensi, efektifitas, pemberdayaan masyarakat itu sendiri. Dari sinilah peran pemerintah dalam menyelenggarakan kegiatan sektor publik berubah, dimana tidak hanya pemerintah yang terlibat dalam proses pembangunan, tetapi pihak swasta, kelembagaan masyarakat dan LSM merupakan tiga pilar utama yang harus berperan aktif dalam melakukan proses pembangunan.
Salah satu fungsi pemerintah yang utama adalah menyelenggarakan pelayanan umum sebagai wujud dari tugas umum pemerintahan untuk mewujudkan kesejahteraan masyarakat. Birokrasi merupakan instrumen pemerintah untuk mewujudkan pelayanan publik yang efisien, efektif, berkeadilan, transparan dan akuntabel. Hal ini berarti bahwa untuk mampu melaksanakan fungsi pemerintah dengan baik maka organisasi birokrasi harus profesional, tanggap, aspiratif terhadap berbagai tuntutan masyarakat yang dilayani. Seiring dengan hal tersebut pembinaan aparatur negara dilakukan secara terus menerus, agar dapat menjadi alat yang efisien dan efektif, bersih dan berwibawa, sehingga mampu menjalankan tugas-tugas umum pemerintah maupun untuk menggerakkan pembangunan secara lancar dengan dilandasi semangat dan sikap pengabdian terhadap masyarakat.
Seiring dengan hal tersebut Abdullah (1984) mengatakan bahwa determinan penting untuk meningkatkan kinerja birokrasi pemerintah adalah dibutuhkan ”Infra-Struktur Admnistrasi” yang memiliki kesiapan dan ketangguhan pada semua tingkatan dan tahapan yang meliputi : (a) organisasi pelaksana yang berintikan birokrasi yang mantap dan tangguh; (b) sistem administrasi atau tata laksana yang efektif dan efisien; dan (c) susunan aparatur atau personalia yang berkemampuan tinggi dari segi profesional, orientasional yang disertai rasas dedikasi yang tinggi. Hal ini berarti bahwa kinerja birokrasi pemerintah dalam merencanakan, mengimplementasikan dan evaluasi serta pengendalian proses pembangunan dan pelayanan masyarakat sangat ditentukan oleh faktor kelembagaan, ketatalaksanaan, sumber daya manusia, aparatur dan dukungan sarana dan prasarana yang tersedia.
Sorotan tajam tentang kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik menjadi wacana yang aktual dalam studi administrasi negara akhir-akhir ini. Hal ini disebabkan oleh rendahnya kinerja birokrasi dalam memberikan pelayanan dan pada sisi lain munculnya konsep privatisasi, swastanisasi, kontak kerja yang pada intinya ingin meminimalkan campur tangan pemerintah yang terlalu besar dalam pelayanan publik (Savas, 1983, Osborne, 1992).
Studi yang dilakukan oleh Savas (1983), LAN Jawa Barat (1999) menunjukkan bahwa kinerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik lebih rendah ketimbang yang dilakukan oleh pihak swasta atau kelembagaan masyarakat lainnya. Bahkan Savas mengatakan bahwa tugas pemerintah adalah mengarahkan bukan mengayuh perahu. Memberikan pelayanan adalah mengayuh dan pemerintah tidaklah pandai mengayuh.
Di kalangan masyarakat masih terdapat keluhan berbagai pelayanan pemerintah (birokrasi) bahkan pameo masyarakat mengatakan bahwa kalau bisa dipersulit mengapa harus dipermudah dan bila ada pilihan lain untuk mendapat KTP selain dari Kantor Kelurahan dan Kantor Kecamatan, maka saya akan memilih ke Supermaket karena disana pegawainya ramah, suka senyum, menanyakan apa yang dapat dibantu. Sebaliknya kalau anggota warga masyarakat ke kantor Kelurahan atau Kecamatan sangat paradoksal dengan apa yang terjadi di Supermaket untuk mendapat pelayanan (Zanapiha, 1999).
Selama ini seperti yang diakui oleh Moestopadidjaja (1997) bahwa pelayanan publik oleh birokrasi cenderung dipersulit, prosedur berbelit-belit, rendahnya ketidakpastian waktu pelayanan. Gejala ini oleh Bryant dan White (1987) sebagai suatu gejala ketidak mampuan administratif, umumnya terjadi di Negara-negara sedang berkembang.
Penilaian kinerja birokrat pemerintah selama ini cenderung didasarkan pada faktor-faktor input seperti jumlah pegawai, anggaran, peraturan perundangan dan termasuk pedoman dan petunjuk teknis pelaksanaan; dan bukan pada faktor-faktor output atau outcomes-nya, misalnya tingkat efisiensi biaya, kualitas layanan, jangkauan dan manfaat pelayanan yang dirasakan oleh masyarakat. Oleh karena itu dalam praktek penyelenggaraan pelayanan publik masih terdapat berbagai masalah antara lain perbedaan antara kinerja yang diharapkan (intended perfomance) dengan praktek sehari-hari (actual perfomance), perbedaan antara tuntutan kebutuhan masyarakat dengan kemampuan pelayanan aparatur pemerintah, perbedaan antara keterbatasan sumber daya anggaran pemerintah dengan kebocoran pada tingkat pelaksanaanya (LAN Jawa Barat, (1999). Studi lainnya dilakukan oleh Hardjo Soekarto (1999) menunjukkan bahwa pelayanan publik selama ini masih menunjukkan mental model birokrat sebagai yang di layani oleh masyarakat, bukan justru sebaliknya aparat yang harus melayani masyarakat. Hal ini terjadi karena pendekatan kekuasaan birokrasi lebih dominan ketimbang keberadaan aparatur sebagai pelayan masyarakat. Kekuasaan birokrat sangat kuat sekali dan bahkan tak ada organisasi sosial kemasyarakatan yang mampu mengontrolnya sehingga praktek penyelenggaraan pelayanan publik selama ini yang menjadi beban masyarakat dan birokrat cenderunng melakukan praktek Korupsi, Kolusi dan Nepotisme (Mohammad, 1999).
Sementara itu peran aparatur negara (birokrasi) sejak beberapa dekade yang lalu lebih disiarkan sebagai penyandang dua peran yaitu sebagai Abdi Negara dan sebagai Abdi masyarakat dan peran sebagai abdi negara menjadi sangat dominan ketimbang peran sebagai abdi masyarakat. Siklus pelayanan lebih berakses ke kekuasaan birokrasi ketimbang melayani masyarakat. Akibatnya aparatur cenderung melayani dirinya sendiri dan meminta layanan dari masyarakat (Thoha, 1993, Idrus, 1995). Berkaitan dengan hal ini Kaufman (1976) mengatakan bahwa tugas aparatur sebagai pelayan harus lebih diutamakan terutama yang berkaitan dengan mendahulukan kepentingan umum, mempermudah urusan masyarakat, mempersingkat waktu proses pelaksanaan urusan publik dan memberikan kepuasan publik.
Berdasarkan studi yang dilakukan LAN Sulsel (1997) menunjukkan bahwa pelayanan aparat birokrat terhadap masyarakat/ dunia usaha masih menimbulkan ekonomi biaya tinggi (high cost economy). Hal ini dapat dilihat dari terdapatnya 4.396 jenis pungutan yang dilakukan aparatur mulai dari tingkat pusat sampai tingkat daerah. Dari jumlah pungutan tersebut, sekitar 27% dari total biaya produksi dialokasikan untuk memperoleh pelayanan aparatur. Hal ini menunjukkan birokrat menjadi penghambat bagi tumbuhnya daya asing masyarakat itu sendiri.
Tjokroamidjojo (1988) mengidentifikasi ada empat faktor besar yang menghambat efisiensi administrasi negara (birokrasi), yaitu : (1) kecenderungan membengkaknya birokrasi baik dalam arti struktur maupun luasnya campur tangan terhadap kehidupan masyarakat, (2) lemahnya kemampuan manajemen pembangunan baik dalam perencanaan, pelaksanaan, koordinasi, dan pengawasan, dan (3) rendahnya produktivitas pegawai negeri. Sementara Siagian (1987), mengidentifikasikan ada tiga jenis kelemahan yang melekat pada pegawai negeri (birokrat) kita, adalah (1) kemampuan manajerial, yaitu kurangnya kemampuan memimpin, menggerakkan bawahan, melakukan koordinasi dan mengambila keputusan, (2) kemampuan teknis, yaitu kurangnya kemampuan untuk secara terampil melakukan tugas-tugas, baik yang bersifat rutin, maupun yang bersifat pembangunan, dan (3) kemampuan teknologis, yaitu kurangnya kemampuan untuk memanfaatkan hasil-hasil penemuan teknologi dalam pelaksanaan tugas.
Penelitian LAN Perwakilan Sulawesi Selatan (2000) tentang tingkat kemampuan tenaga perencana Pembangunan di Kawasan Timur Indonesia menunjukkan bahwa kemampuan tenaga perencana pembangunan masih rendah. Hal ini disebabkan karena kurangnya iklim organisasi yang mendukung berkembangnya kemampuan pegawai, tak ada kebijakan tentang jabatan fungsional perencana dan rendahnya penghargaan pemerintah terhadap jabatan tersebut sehingga motivasi tenaga perencana untuk mengembangkan diri masih rendah. Studi lain adalah yang dilakukan oleh Universitas Gadjah Mada di Kalimantan Timur menunjukkan bahwa profesionalisme pegawai rendah, baik dilihat dari tingkat pendidika, pengalaman, produktivitas kerja, ataupun disiplin kerja terbukti rendah (PPK-UGM, 1991/1992:2). Penelitian yang sama oleh FISIPOL-UGM pada kantor Bappeda di Jawa Tengah, Daerah Istimewa Yogyakarta dan Lombok menemukan bahwa penampilan Bappeda sangat dipengaruhi oleh para aparatnya dalam menjalankan fungsi-fungsi perencanaan, koordinasi, monitoring dan evaluasi; juga oleh tingkat profesionalisme pegawai, organisasi dan mutu kepemimpinan dalam lembaganya (FISIPOL-UGM, 1991:4).
Studi empiris lain yang berkaitan dengan kinerja organisasi pemerintah dilihat dari pendekatan proses misalnya penelitian yang dilakukan oleh Baddu (1994), suatu analisis tentang prestasi kerja dan hubungannya dengan kepuasaan dan semangat kerja pada Kantor Setwilda Tk. I Sul-Sel, penelitian yang dilakukan oleh Thahir, M.M. (1997), suatu analisis tentang faktor-faktor yang berpengaruh terhadap kepuasan kerja pegawai pada kantor Kopertis Wilayah IX Ujung Pandang.
Beberapa penelitian empiris di atas baik yang dilakukan oleh pemerintah maupun yang dilakukan oleh kalangan akademik menunjukkan bahwa penelitian tentang kinerja birokrasi pemerintah dilihat dari sudut pendekatan proses masih bersifat parsial, yaitu hanya berkaitan dengan analisis pada tingkat individu pegawai, tetapi belum melihat secara komprehensif dari sudut kinerja birokrasi pemerintah secara keseluruhan.
Semua ini menunjukkan bahwa kerja birokrasi dalam menyelenggarakan pelayanan publik masih memerlukan kajian yang mendalam dan sungguh-sungguh sehingga peran birokrasi sebagai instrumen masyarakat untuk meningkatkan kesejahteraan dapat diwujudkan.
Kasus pelayanan pendidikan yang dilakukan oleh pemerintah kabupaten khususnya di Kabupaten Bone menarik dikaji terutama yang berkaitan dengan perumusan kebijakan, implementasi, pengendalian dan evaluasi melibatkan birokrat daerah (lokal). Disamping itu pula pelayanan pendidikan ini menyentuh kebutuhan seluruh masyarakat.
Penelitian ini diarahkan untuk mengevaluasi dan menjelaskan fenomena kinerja birokrasi pemerintah kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dengan menggunakan pendekatan proses (internal process approach), terutama memahami dan menjelaskan fenomena dalam hal efisiensi pelayanan, kerja, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan. Variabel kinerja ini penting diteliti karena didasarkan atas alasan bahwa kinerja output yang diberikan kepada lingkungan akan sangat tergantung pada tinggi rendahnya kinerja proses. Hal ini berarti organisasi birokrasi pemerintah tak dapat meningkat kebertanggungjawabannya (accountability), kepercayaan, menciptakan keadilan, efektivitas eksternal dan kepuasan masyarakat sebagai indikator kinerja eksternalnya tanpa memiliki kinerja internal yang baik.
B. Rumusan Masalah
1. Bagaimana kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone ?
2. Faktor apa yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone ?
C. Tujuan Penelitian
1. Untuk mengetahui kinerja birokrasi pemerintahan khususnya berkaitan dengan efesiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan di Kabupaten Bone
2. Untuk mengetahuai faktor yang mendukung dan menghambat kinerja birokrasi pemerintah khususnya berkaitan dengan efesiensi pelayanan, kerjasama tim, dan hubungan pimpinan dengan bawahan kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
D. Manfaat Penelitian
1. Secara akademik; sebagai bahan informasi bagi peneliti lain yang mengkaji kinerja birokrasi pemerintah pada masa yang akan datang .
2. Secara metodologi; penelitian ini memperkaya indikator pengukuran tentang kinerja birokrasi pemerintah khususnya dilihat dalam sudut pandang pendekatan proses.
3. Secara praktis; penelitian ini dapat menjadi bahan untuk evaluasi kinerja instansi Pemerintah khususnya Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menyempurnakan dan meningkatkan kualitas pelayanan publik pada masa datang.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA DAN KERANGKA PIKIR
A. Administrasi Pembangunan dan Reformasi Administrasi
Seperti yang diakui oleh Kristiadi (1994) bahwa administrasi pembangunan sebenarnya merupakan salah satu paradigma admnistrasi negara yaitu paradigma yang berkembang setelah ilmu administrasi negara sebagai ilmu administrasi pada sekitar tahun 1970. Mengacu dari kerangka perkembangan administrasi pembangunan seperti tersebut di atas, Kristiadi memberi pengertian tentang Administrasi Pembangunan adalah ”Administrasi Negara yang mampu mendorong kearah proses perubahan dan pembaharuan serta penyesuaian”. Oleh karena itu administrasi pembangunan juga merupakan pendukung perencanaan dan implementasinya.
Masalah yang serius dihadapi oleh negara-negara berkembang adalah lemahnya kemampuan birokrasi dalam menyelenggarakan pembangunan. Dari latar belakang ini, maka administrasi pembangunan yang berkembang di negara-negara sedang berkembang memiliki perbedaan ruang lingkup dan karakteristik dengan negara-negara yang telah maju. Dasar inilah Bintoro Tjokroamidjojo (1995) mengemukakan bahwa administrasi pembangunan mempunyai tiga fungsi:
Pertama, penyusunan kebijaksanaan penyempurnaan administrasi negara yang meliputi: upaya penyempurnaan organisasi, pembinaan lembaga yang diperlukan, kepegawaian dan pengurusan sarana-sarana administrasi lainnya. Ini disebut the development of administration (pembangunan administrasi), yang kemudian lebih dikenal dengan istilah “Administrative Reform” (reformasi admnistrasi).
Kedua, perumusan kebijaksanaan-kebijaksanaan dan program-programa pembangunan di berbagai bidang serta pelaksanaannya secara efektif. Ini disebut the administration of development (Administrasi untuk pembangunan). Administrasi untuk pembangunan (the development of administration) dapat dibagi atas dua; yaitu; (a) Perumusan kebijaksanaan pembangunan, (b) pelaksanaan kebijaksanaan pembangunan secara efektif.
Ketiga, pencapaian tujuan-tujuan pembangunan tidak mungkin terlaksana dari hasil kegiatan pemerintahan saja. Faktor yang lebih penting adalah membangun partisipasi masyarakat.
Seperti yang diuraikan di atas bahwa administrasi pembangunan adalah administrasi negara yang cocok diterapkan di negara-negara yang sedang berkembang, namun Bintoro Tjokroamidjojo membedakan bahwa administrasi pembangunan lebih banyak memberika perhatian terhadap lingkungan yang berbeda-beda, terutama lingkungan masyarakat yang baru berkembang. Sedangkan administrasi pembangunan berperan aktif dan berkempentingan terhadap tujuan-tujuan pembangunan, sedangkan dalam ilmu administrasi negara bersifat netral terhadap tujuan-tujuan pembangunan. Administrasi pembangunan berorientasi pada upaya yang mendorong perubahan-perubahan kearah ke keadaan yang lebih baik dan berorientasi mada depan, sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada pelaksanaan kegiatan secara efektif/tertib, efisien pada masing-masing unit pemerintahan.
Administrasi pembangunan berorientasi pada pelaksanaan tugas-tugas pembangunan yaitu kemampuan merumuskan kebijakan pembangunan sedangkan ilmu administrasi negara lebih menekankan pada tugas-tugas rutin dalam rangka pelayanan kepada masyarakat. Administrasi pembangunan mengaitkan diri dengan substansi perumusan kebijaksanaan dan pelaksanaan tujuan-tujuan pembangunan diberbagai bidang, Ilmu administrasi negara lebih memperhatikan pada kerapihan/ketertiban aparatur administrasinya sendiri. Administrator pada administrasi pembangunan merupakan penggeraka perubahan (change agent), sedangkan administrator pada administrasi pembangunan berorientasi pada lingkungan, kegiatan dan pemecahan masalah sedangkan pada administrasi negara lebih bersifat legalitas.
Reformasi administrasi atau pembaharuan administrasi dilakukan karena ketidakmampuan administratif untuk melaksanakan fungsi-fungsi yang diembannya. Studi yang dilakukan Heady (1995), menemukan lima ciri yang umum administrasi publik di negara-negara berkembang, yaitu: (1) pola dasar (basic pattern) administrasi publik bersifat ciplakan (imitative) daripada asli (indigenous), (2) birokrasi di negara berkembang kekurangan (difficient) sumber daya manusia terampil untuk menyelenggarakan pembangunan. Kekurangan ini bukan dalam arti jumlah tetapi kualitas. Yang justru kurang adalah administrator yang terlatif dengan kapasitas manajemen, keterampilan-keterampilan pembangunan (development skills) dan penguasaan tesis yang kurang memadai, (3) birokrat lebih berusaha mewujudkan tujuan pribadinya dibanding dengan pencapaian sasaran program. Dari sifat seperti ini lahir Nepotisme, korupsi dan penyalagunaan wewenang, (4) adanya kesenjangan yang lebar antara apa yang hendak ditampilkan dengan kenyataan. Fenomena ini oleh Rigss disebut formalisme, yaitu gejala yang lebih berpegang pada wujud-wujud dan ekspresi formal dibanding dengan sesungguhnya, dan (5) Birokrasi di negara berkembang acapakali bersifat otonom, artinya lepas dari proses politik dan pengawasan masyarakat.
Dari fenomena dan wajah administrasi publik ini, maka reformasi atau pembaharuan administrasi publik menjadi suatu tuntutan dan keharusan. Berdasarkan kasus administrasi negara di Indonesia oleh Bintoro (1999) mengajukan pada: (a) reformasi kearah sistem politik yang demokratis, partisipatif dan egalitarian, (b) reformasi ABRI (TNI) sebagai birokrasi pemerintahan, (c) reformasi sistem pemerintahan yang sentralistik kearah desentralisasi, dan (d) reformasi terhadap upaya penciptaan clean goverment. Pada bukunya yang lain, Bintoro Tjokroamidjojo (1998), mengatakan bahwa pembangunan administrasi publik atau reformasi birokrasi pemerintah diarahkan pada program-program sebagai berikut: (1) deregulasi dan debirokratisasi ekonomi serta dekonsetrasi dan desentralisasi pemerintah, (2) meningkatkan efisiensi birokrasi (termasuk mengurangi pungutan-pungutan tak resmi), (3) mutu, orientasi, pelayanan dan pemberdayaan birokrasi, (4) sistem karier dan efektivitas birokrasi, (5) kesejahteraan pegawai dan pelayanan administrasi kepegawaian.
Menurut Riggs (1996), pembaharuan administrasi merupakan suatu pola yang menunjukkan peningkatan efektivitas pemanfaatannya sumber daya yang tersedia untuk mencapai tujuan yang telah ditetapkan. Birokrasi itu sendiri menurut pandangan Riggs, merupakan sebuah organisasi yang konkrit, terdiri dari peran-peran yang bersifat hirarkis dan saling berkaitan, yang bertindak secara formal sebagai alat (agent) untuk suatu kesatuan (entity) atau sistem sosial yang lebih besar. Dengan demikian menurut pandangan ini, tujuan dari birokrasi ditetapkan oleh kekuasaan di luar kewenangan birokrasi itu sendiri. Atas dasar ini, maka kebertanggungjawaban (accountability) dari birokrasi dalam menjalankan tugasnya sangat esensial sifatnya. Oleh karena itu, pembaharuan administrasi akan berkaitan erat dengan peningkatan kebertanggungjawaban dalam proses pengambilan keputusan atau dalam hal bagaimana sumber daya instrumental dimobilisasi untuk mencapai tujuan.
Riggs melihat pembaharuan administrasi dari dua sisi, yaitu perubahan struktural dan kinerja (performance). Secara struktural Riggs menggunakan diferensiasi struktural sebagai salah satu ukuran. Pandangan ini didasarkan atas kecenderungan peran-peran yang makin terspesialisasi (role spesealization) dan pembagian pekerjaan yang makin tajam dalam masyarakat modern. Sedangkan mengenai kinerja, Riggs menekankan sebagai ukuran bukan hanya kinerja seseorang atau suatu unit, tetapi bagaimana peran dan pengaruhnya kepada kinerja organisasi secara keseluruhan. Ia menekankan pentingnya kerjasama dan teamwork dalam mencapai tujuan.
Sementara Wallis dalam Ginanjar (1997) mengartikan pembaharuan admnistratif sebagai dalam dimensi; (a) perubahan harus merupakan perbaikan dari keadaan sebelumnya, (b) perbaikan diperoleh dengan upaya yang sengaja dan bukan terjadi secara kebetulan atau tanpa usaha, dan (c) perbaikan yang terjadi bersifat jangka panjang dan tidak sementara, untuk kemudian kembali lagi ke keadaan semula.
Sementara Esman (1995), menunjukkan bahwa memperbaiki kinerja birokrasi harus meliputi ketanggapan (responsiveness) terhadap pengawasan politik, efisiensi dalam penggunaan sumber daya dan efektivitas dalam pemberian pelayanan. Untuk itu upaya perbaikan administrasi meliputi peningkatan keterampilan, penguasaan teknologi informasi dan manajemen finansial, pengaturan atau pengelompokkan kembali realignment fungsi-fungsi, sistem insentif, memanusiakan manajemen (humanising management) dan mendorong partisipasi yang seluas-luasnya dalam pengambilan keputusan serta cara rekruitmen yang harus lebih bersifat representatif.
B. Arah Perkembangan Administrasi Publik
Perubahan paradigma manajemen pemerintahan telah mendorong perkembangannya administrasi publik yang sangat dinamis mengikuti dinamika lingkungannya. Perubahan paradigma itu antara lain oleh Savas (1983), Osborne (1992), Effendi (1995), Mustopadidjaja (1997), Mifta Thoha (1997) mengatakan sebagai berikut :
a. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang serba negara menjadi berorientasi pasar. Selama ini manajemen pemerintahan mengikuti paradigma yang lebih mengutamakan kepentingan negara. Kepentingan negara menjadi pertimbangan pertama dan utama untuk mengatasi segala macam persoalan yang timbul dimasyarakat. Pasar (dapat berupa rakyat atau masalah-masalah yang dihadapi oleh masyarakat. Sekarang ini, paradigmanya berubah, orientasi manajemen pemerintahan diarahkan kepada pasar. Segala aspirasi masyarakat menjadi lebih penting artinya untuk menjadi bahan pertimbangan pemerintah.
b. Perubahan paradigma dari orientasi manajemen pemerintahan yang otoritarian menjadi berorientasi kepada egelitarian dan demokrasi.
c. Perubahan paradigama dari sentralisasi kekuasaan menjadi desentralisasi kewenangan.
d. Perubahan manajemen pemerintahan yang hanya menekankan pada batas-batas dan aturan yang berlaku untuk satu negara tertentu, mengalami perubahan kerah boundryless organization.
e. Perubahan dari paradigma yang mengikuti tatanan birokrasi Weberian menjadi tatanan birokrasi yang post bureacracy government, atau perubahan dari manajemen pemerintahan yang mengikuti struktur fisik (phsical structure) ke tatanan manajemen pemerintahan berdasarkan pada logical structure. Dengan kata lain, suatu tatanan administrasi negara yang berorientasi pada paperwork menjadi tatanan administrasi negara yang paperles.
Sebagai dampak dari perubahan global, administrasi publik akan mengalami perubahan mendasar terutama peran dan orientasi yang ingin dicapai. Dalam era global kita melihat berkembang dan tumbuhnya sistem administrasi publik dan pemerintahan yang semakin efisien, efektif. Pergeseran peran telah mulai terjadi dimana fungsi pemerintah dalam berbagai segi kehidupan ekonomi, sosial telah bergeser dari peran pemerintah yang begitu besar ke arah mendorong lembaga-lembaga masyarakat/swasta untuk mengambil bagian yang besar dalam menjalankan sebagai fungsi-fungsi pelayanan kepada masyarakat (Osborne 1993, Kartasasmita 1996, Kristiadi 1997). Pemeritnah cukup hanya berfungsi sebagai pengarah tidak lagi berfungsi sebagai pengatur yang dominan. Hal ini berimplikasi pada adanya keinginan pemerintah untuk memberdayakan masyarakat dan meningkatkan partisipasi dalam pembangunan.
Perubahan peran administrasi publik akan selalu seiring dengan dinamika masyarakat dimana sistem administrasi negara itu berada. Frederickson (1983), efektifitas, rasionalitas dan produktivitas, tetapi yang lebih penting adalah administrasi negara harus menciptakan keadilan sosial, berdasarkan kebutuhan pada semua lapisan masyarakat. Hal ini berarti administrasi negara berusaha untuk merubah kebijakan-kebijakan maupun struktur-struktur yang secara sistematis merintangi terciptanya keadilan sosial.
Administrasi publik memiliki fungsi untuk menjalankan kebijaksanaan dan program-program kegiatan pemerintahan untuk mecapai tujuan yang telah ditetapkan dalam keerangka hirarki kebijaksanaan (Bromley: 1984). Sehubungan dengan hal ini perkembangan administrasi publik akan sangat dipengaruhi oleh kondisi perkembangan tuntutan dan aspirasi dan pelayanan kebutuhan masyarakat yang cenderung selalu dinamis.
Nicholas Henry (1995) telah mengidentifikasi alur perkembangan administrasi publik sebagai kajian akademik ke dalam lima paradigma. Paradigma pertama adalah dikhotomi politik administrasi publik, yang antara lain dipelopori oleh Woodrow Wilson (1887 dengan tulisannya yang berjudul The Study of Administration). Paradigma kedua adalah prinsip-prinsip administrasi yang berkembang antara tahun 1927-1937. paradigma ketiga disebut paradigma administrasi publik sebagai ilmu politik. Paradigma keempat, yang berkembang antara tahun 1956 hingga 1970 memandang administrasi publik sebagai ilmu administrasi. Dalam konteks ini terdapat perkembangan untuk menempatkan locus disiplin administrasi publik secara proposial pada akar keilmuan administrasi dan manajemen yang berkembang sejak Henry Fayol menulis bukunya yang berjudul Industrial and General Administration (1949). Paradigma kelima yang berkembang sejak tahun 1970, menempatkan administrasi publik sebagai disiplin akademik administrasi publik. Dalam hal ini bahwa administrasi publik telah berkembang sebagai disiplin ilmu yang berdiri sendiri.
Administrasi publik yang berkembang setelah paradigma kelima yang diidentifikasikan oleh Henry menurut Kristiadi (1997) adalah paradigma administrasi pembangunan. Hal ini didasarkan pada temuan-temuan hasil kajian kelompok studi komparatid administrasi (CAG) yang menyebutkan bahwa ”adminsitrasi publik lebih berorientasi untuk mendukung usaha-usaha pembangunan negara-negara yang belum maju”. Pada umumnya proses kegiatan ini disebut sebagai administrasi pembangunan. Sedangkan di negara-negara maju dewasa ini, administrasi publik lebih diarahkan kepada upaya pencarian bentuk kelembagaan yang tepat, ketatalaksanaan dan aspek kualitas sumebr daya manusia aparatus yang pada intinya adalah reformasi administrasi. Setelah perkembangan paradigma administrasi publik sebagai administrasi pembangunan, menurut Bintoro (1999), paradigma berikutnya adalah mewirausahakan birokrasi yang dipelopori oleh Osborne, Gaebler (1992) dan perkembangan yang terakhir adalah penyeleggaraan kepemerintahan/administrasi publik yang baik (good governance) yang bercirikan kepastian hukum, keterbukaan, akuntability dan konsistensi.
Sementara beberapa teoritir administrasi berpendapat bahwa peranan administrasi publik harus makin terfokuskan pada upaya menghasilkan barang dan inilah menurut Kristiadi (1997) efisiensi dalam pelayanan publik melalui pengadaan barang-barang publik (public goog) dan pelayanan jasa publik sama pentingnya dengan mekanisme pasar yang dilaksanakan oleh pemerintah yang bercirikan good governance. Untuk mewujudkan hal tersebut, menurut Osborne dan Gaebler (1992), administrasi publik perlu didukung oleh birokrasi yang memiliki semangant wirausaha.
Perubahan orientasi dan peran administrasi publik diperlukan untuk merespon dinamika masyarakat yang tinggi terutama dalam menciptakan pelayanan yang efisien dan efektif serta menciptakan keadilan sosial bagi warga masyarakat. Hal ini perlukan karena administrasi publik berfungsi sebagai instrumen publik untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat. Dengan demikian fungsi aparatur sebagai pelayanan masyarakat harus dominan dan diutamakan ketimbang fungsi sebagai abdi negara. Kartasasmita (1996) melakukan analisis reposisi terhadap paradigma administrasi pembangunan (birokrasi) yang selama 32 tahun memiliki peran yang besar dalam pembangunan bangsa, yaitu : perubahan dalam polarisasi: (1) orientasi birokrasi bergeser dari yang kuat kepada yang lemah dan kurang berdaya, (2) birokrasi harus membangun partisipasi rakyat, (3) peranan birokrasi bergeser dari mengendalikan ke mengarahkan, dan (4) birokrasi harus mengembangakan keterbukaan dan kebertanggungjawaban.
Senada dengan itu, Moestopadijaja (1998) mengatakan bahwa penyelenggaraan pemerintahan ke depan harus didasarkan pada prinsip-prinsip: pemberdayaan, pelayanan, partisipasi, kemitraan, dan desentralisasi.
Fungsi pemberdayaan, aparatur pemerintah tidak harus berupaya melakukan sendiri, tetapi mengarahkan (steering rather then rowing). Sesuatu yang sudah bisa dilakukan oleh masyarakat, jangan dilakukan oleh pemerintah. Apabila masyarakat atau sebagian dari mereka belum mampu atau tidak berdaya, maka harus diberdayakan (empowering). Pemberdayaan berarti pula memberi peran kepada masyarakat lapisan bawah di dalam keikutsertaannya dalam proses pembangunan.
Dalam rangka pemberdayaan masyarakat dalam pambangunan, peran pemerintah dapat ditingkatkan antara lain melalui (a) pengurangan hambatan dan kendala-kendala bagi kreativitas dan partisipasi masyarakat, (b) perluasan akses pelayanan untuk menunjang beerbagai kegiatan sosial ekonomi masyrakat, dan (c) pengembangan proses untuk lebih memberikan kesempatan kepada masyarakat belajar dan berperan aktif (social learning process) dalam memamfaatkan dan mendayagunakan sumber daya produktif yang tersedia sehingga memiliki nilai tamabah guna meningkatkan kesejahteraan mereka.
Upaya pemberdayaan memerlukan semangat untuk melayani (a spirit of public services), dan menjadi mitra masyarakat (partner of society); yaitu melakukan kerjasama dengan masyarakat Esman dalam Moestopadidjaja (1997). Hal ini memerlukan perubahan perilaku yang antara lain dapat dilakukan melalui pembudayaan kode etik (code of ethical conducts) yang didasarkan pada dukungan lingkungan (enabling strategy) yang diterjamahkan dalam standar tingkah laku yang dapat diterima umum dan dijadikan acuan perilaku aparatur pemerintah.
Di samping itu, dalam pelaksanaan kode etik tersebut, aparatur dan sistem manajemen publik harus bersikap terbuka, transparan dan accountable, untuk mendorong para pemimpin dan seluruh sumber daya manusia aparatur menjadi berwibawa, bersih dan menjadi panutan bagi masyarakat.
Pelayanan berarti pula semangat pengabdian yang mengutamakan efisiensi dan keberhasilan dalam membangun yang dimanifestasikan antara lain dalam perilaku melayani, bukan dilayani, mendorong bukan menghambat, mempermudah bukan mempersulit, sederhana bukan berbelit-belit, terbuka untuk setiap orang bukan hanya untuk segelintir orang. Dengan demikian makna administrasi publik sebagai wahana penyelenggaraan pemerintahan negara yang harus melayani publik harus benar-benar dihayati para penyelenggara pemerintahan negara.
Partisipasi masyarakat harus diikutsertakan dalam proses menghasilkan public good atau services dengan mengembangkan pola kemitraan dan kebersamaan dan bukan semata-mata dilayani. Untuk itulah kemampuan masyarakat harus diperkuat (empowering rather than serving), kepercayaan masyarakat harus meningkat dan kesempatan masyarakat untuk berpartisipasi harus ditingkatkan.
Upaya pemberdayaan masyarakat dan dunia usaha, peningkatan partisipasi dan kemitraan sangat memerlukan keterbukan birokrasi pemerintah, juga disamping itu memerlukan langkah-langkah yang tegas dalam mengurangi peraturan dan prosedur yang menghambat kreativitas dan aktivtas mereka dan memebri kesempatan kepada masyarakat untuk dapat berperan serta dalam proses penyusunan peraturan kebijaksanaan, pelaksanaan, pengawasan pembangunan.
Inti dari perubahan peran dan orientasi administrasi publik adalah bahwa bentuk organisasi birokrasi yang ada sekarang harus berubah sesuai dengan tuntutan perubahan itu sendiri, yaitu bentuk organisasi yang terbuka, fleksibel, ramping atau pipih (flat), efisiensi dan rasional, terdesentralisasi, kaya fungsi miskin struktur sehingga memungkin organisasi birokrasi lebih cepat menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan. Bahkan menurut Mc Kinsey (Kristiadi:1997) desain organisasi kedepan dicirikan oleh 7 S, yaitu: (1) system, (2) structure, (3) strategy, (4) staff, (5) skill, (6) leadership style, dan (7) share value. Aspek sistem meliputi pemahaman terhadap visi dan misi organisasi berdasarkan tuntutan perubahan lingkungan, nilai dan budaya yang dimiliki organisasi yang menjadi ciri khas organisasi dan sekaligus menjadi perekat dan motivasi anggota organisasi untuk mengembangkan berbagai aktivitas keorganisasian baik dalam melakukan hubungan secara internal maupun dalam melakukan hubungan eksternal. Sedangkan aspek strategi mencangkup kemampuan organisasi menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungan, pemahaman kemampuan memanfaatkan peluang, tantangan, ancaman dan kelemahan serta kekuatan yang dimiliki organisasi dapat menyesuaikan diri dengan perubahan tersebut dan pada akhirnya dapat survie dan meraih kemampuan kompetitif. Aspek soft struktur organisasi meliputi staff, skill, style, dan share value menyarakatkan proses pembelajaran yang secara terus menerus untuk mencapainya. Administrasi publik (Birokrasi) ke depan harus menata kembali visi, misi tujuan, sasaran dan strategi pencapaiannya dalam rangka memberikan pelayanan publik yang cepat, efisien, terbuka, dan akuntabel.
C. Penyelenggaraan Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa
Peran pemerintah sangat besar dan mencangkup seluruh dimensi kehidupan masyarakat. Meskipun pemerintah memiliki berbagai sumber daya untuk menunaikan kewajibannya, tetap saja tuntutan masyarakat selalu lebih tinggi tuntutannya dibanding dengan kemampuan pemerintah untuk memenuhinya.
Adanya kesenjangan antara tuntutan dengan kemampuan pemerintah inilah yang pada gilirannya menyebabkan munculnya berbagai gagasan untuk memberi energi baru kepada pemerintah. Barzelay (1992), misalnya memandang bahwa ditengah-tengah fenomena perubahan dunia, birokrasi membutuhkan inovasi baru yang bersifat strategis. Demikian pula Osborne (1996) mengemukakan lima strategis sebagai instrumen implementasi lebih lanjut dari prinsip Reinventing Government yang diajukan Osborne dan Gaebler, yaitu (1) creating clarity of purpose, (2) creating consequences form performance, (3) putting the custumer in the driver’s seat, (4) shifting control away from the top and the center, (5) creating entrepreneural culture.
Pada intinya pandangan baru yang berkembang tentang peran pemerintah adalah bahwa pemerintah harus mampu menciptakan nilai-nilai baru (value creating) dalam rangka meningkat pelayanan kepada masyarakat.
Istilah governance secara harfiah dapat diartikan sebagai suatu kegiatan pengarahan, pembinaan atau dalam bahasa inggrisnya adalah Guiding. Gevernance adalah suatu proses dimana suatu sistem sosial ekonomi atau sistem organisasi yang kompleks lainnya dikendalikan. Pinto dalam (Karhi: 1997) mendefinisikan Governance sebagai ’’ praktek penyelenggaraan kekuasaan dan kewenangan oleh pemerintah dalam pengelolaan urusan pemerintahan secara umum, dan pembangunan ekonomi pada khususnya’’. Pengertian governance dalam hal ini adalah proses pengaturan, pembinaan dan pengendalian kehidupan sosial ekonomi masyarakat. Secara bebas good governance dapat diterjemahkan menjadi pemerintahan yang bersih dan berwibawa atau pemerintahan yang amanah.
Secara umum governance mengandung unsur-unsur utama yang terdiri dari: (1) akuntability, (2) transparansi, (3) openness, (4) rule of law (Bhatta: 1996) dalam (Karhi: 1997).
Akuntabilitas adalah kewajiban bagi aparatur pemerintahan untuk bertindak selaku penanggung gugat atas segala tindakan dan kebijaksanaan yang ditetapkannya. Unsur ini merupakan inti dari pemerintahan yang baik (good governance) Akuntabilitas aparatur pemerintah terdiri dari tiga jenis yaitu akuntabilitas politik, akuntabilitas keuangan dan akuntabilitas hukum (Brautigam, 1991). Sedangkan menurut LAN (1998) akuntabilitas pemerintah di bagi atas Akuntabilitas manajerial, akuntabilitas keuangan, dan akuntabilitas operasional.
Akuntabilitas politik berkaitan dengan pertanggungjawaban pemerintah terhadap rakyat berkaitan dengan mekanisme sistem pemilu dan mekanisme ceck and blances kekuasaan yang ada pada masyarakat. Akuntabilitas keuangan yaitu kewajiban aparat mempertanggungjawabkan penggunaan keuangan negara kepada rakyat. Sedangkan akuntabilitas hukum berkaitan dengan semua unit-unit pemerintahan dapat bertanggung jawab secara hukum atas segala tindakannya, termasuk organisasi pemerintahan yang pada prakteknya telah merugikan kepentingan rakyat harus mampu mempertanggungjawabkan dan menerima tuntutan hukum atas tindakannya.
Transparansi merupakan instrumen penting untuk mewujudkan pemerintahan yang bersih dan berwibawa. Rakyat harus mengetahui secara terbuka atas segala proses perumusan kebijaksanaan publik dan implementasinya. Dengan demikian segala tindakan dan kebijaksanaan pemerintah harus dilaksanakan secara terbuka dan diketahui umum. Seiring dengan hal tersebut, pemerintah pula harus terbuka dan memberikan kesempatan bagi rakyat untuk mengajukan kritikan dan tanggapan terhadap pemerintah yang dinilai tidak transparan. Pemerintah yang baik dan terbuka akan memberikan informasi dan data yang memadai bagi masyarakat sebagai bahan untuk melakukan penilaian atas jalannya pemerintahan.
Sementara itu menurut Toha (1997) pemerintahan yang bersih dan berwibawa sangat tergantung pada : (1) pelaku-pelaku pemerintah (kualitas sumber daya manusia aparaturnya), (2) kelembagaan yang dipergunakan untuk pelaku-pelaku pemerintahan untuk mengaktualisasikan kinerjanya, (3) perimbangan kekuasaan yang mencerminkan seberapa jauh sistem pemerintah itu harus diberlakukan, dan (4) kepemimpinan dalam birokrasi publik.
Senada dengan hal tersebut Rasyid (1997) bahwa pembangunan pemerintahan diarahkan pada dimensi administrasi, yaitu administrasi yang baik, organisasi yang efisien, serta aparatur yang berkompeten dan jujur. Kultur administrasi yang melayani, memberdayakan dan membangun berlandaskan semangat entrepreneurship perlu dibina secara berkesinambungan. Berkaitan dengan itu peranan motivasi dan efisien mekanisme dan prosedur kerja birokrasi terutama dalam proses pelayanan dan pengambilan keputusan harus lebih disederhanakan.
Determinan utama untuk menciptakan pemerintahan yang berwibawa adalah kualitas sumber daya manusia aparatur yang berkualitas. Hal ini penting karena SDM aparatus dapat berfungsi sebagai perencana, implementasi, pengendali dan evaluasi seluruh program-program pembangunan. Oleh karena itu, hal penting yang harus diperhatikan adalah aparatur harus (1) bermoral dan berakhlak yang tinggi yang ditandai oleh kebersihan akidah, kebersihan akhlak, kebersihan tujuan hidup, bersih harta dan bersih pergaulan sosial; (2) berpengetahuan dan berkemampuan untuk melaksanakan tugas yang diembannya secara profesional.
Aspek kelembagaan pemerintah ke depan akan berubah sesuai dengan perubahan peran pemerintah yaitu dari ”rowing” kearah steering. Oleh karena itu desain kelembagaan pemerintah harus disesuaikan dengan platform more steering the rowing, yaitu organisasi yang bersifat flat, efisien, fleksibel, matrikial, kaya fungsi, miskin struktur dan yang lebih penting lagi adalah organisasi yang dapat menumbuhkan semangat pemberdayaan masyarakat.
Perimbangan kekuasaan menandaskan adanya mekanisme check and balances antara beberapa pemegang kekuasaan, baik kekuasaan yang ada di birokrasi maupun kekuasaan yang ada di masyarakat. Faktor kepemimpinan birokrasi terutama mensyaratkan akhlak mulya, bersih dan tidak cacat moral. Hal ini penting dipenuhi karena faktor kepemimpinan sangat menentukan dalam memberikan pelayanan yang adil, transparan, terbuka dan tidak berpihak kepada kepentingan individu atau golongan. Syarat intelektualitas dan wawasan kepemimpinan mengharuskan pemimpin birokrasi memiliki visi yang jauh kedepan, demokratis, responsif, mendahulukan kepentingan umum dan kemampuan menggunakan sumber daya organisasi untuk mecapai tujuan yang diinginkan.
D. Konsep Kinerja
Kata kerja populer digunakan untuk menjelaskan hasil kerja yang dicapai oleh seseorang, kelompok ataupun organisasi sesuai dengan tugas, kewenangan yang dimiliki untuk mencapai tujuan organisasi. Padanan istilah kinerja diidentikkan dengan istilah perfomance. Menurut The Cribner-Bantanm English Dictionary (1997) terdapat keterangan sebagai berikut. Berasal dari akar kata ”to perform” yang mempunyai beberapa padanan, berikut: (1) to door carry out; execute; (2) to diacharge or fulfill; as a vow; (3) to portray, as a character in a play; (4) to render by the voice or a musical instrument; (5) to execute or complete an undertaking; (6) to act a part in a play; (7) to perform music; (8) to do what is expectred of person or machine.
Arti padanan tersebut adalah (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan; (2) memenuhi atau menjalankan kewajiban suatu nazar; (3) menggambarkan suatu karakter dalam suatu permainan; (4) menggambarkan dengan suara atau alat musik; (5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab; (6) melakukan suatu kegiatan dalam suatu permainan; (7) memainkan suatu pertunjukan musik; dan (8) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh seseorang atau mesin.
Dalam hubungan dengan penelitian ini, maka padanan kata yang cocok digunakan adalah: (1) melakukan, menjalankan, melaksanakan; (2) memenuhi atau menjalankan nazar; (5) melaksanakan atau menyempurnakan tanggung jawab; (8) melakukan sesuatu yang diharapkan oleh orang atau mesin.
Arti kata performance merupakan kata benda (noun) dimana salah satu padanan katanya adalah “thing done” (sesuatu hasil yang dikerjakan). Menurut Prawirosentono (1999) performance atau kinerja adalah hasil kerja yang dapat dicapai oleh seseorang atau sekelompok orang dalam organisasi, sesuai dengan wewenang dan tanggung jawab masing-masing, dalam rangka upaya mencapai tujuan organisasi bersangkutan secara legal, tidak melanggar hukum dan sesuai dengan moral maupun etika.
Dalam Kamus Bahasa Indonesia senidri, sampai edisi sekarang kata kinerja belum tercantum. Istilah-istilah yang sering dipakai yang berkaitan dengan kinerja adalah efisien, efektivitas dan bahkan Frederickson (1984) menambahkan keadilan sosial untuk menilai apakah administrasi negara telah berhasil mengemban misinya sebagai isntrumen publik untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat. Gaspersz (1997) mengatakan bahwa kinerja dibangun dari kualitas, dan kualitas adalah terdiri dari segala sesuatu yang bebas dari kekurangan atau kerusakan yang dihasilkan oleh organisasi untuk memuaskan semua unsur yang berkaitan dengan organisasi baik internal maupun eksternal.
Mengacu pada pengertian diatas, bahwa unsur pembentuk kinerja organisasi adalah terdiri atas: efisiensi, efektivitas, kualitas dan keadilan, maka dapat didefinisikan bahwa kinerja organisasi adalah:
”hasil kerja yang secara akumulatif dicapai oleh organisasi berdasarkan sasaran yang ditetapkan untuk mencapai tujuan yang ditentukan sebelumnya”.
Sasaran organisasi, menurut Martani, terdiri dari: (a) sasaran lingkungan, yaitu kondisi dimana organisasi telah mendapat pengakuan dari lingkungannya, termasuk bagaimana sikap, perasaan dan persepsi dari berbagai pihak yang mempunyai kepentingan dengan organisasi tersebut; (b) sasaran output, yaitu bentuk dan banyaknya output yang dihasilkan organisasi; (c) sasaran sistem adalah kesehatan dan perawatan organisasi itu sendiri yang menggambarkan ukuran, iklim organisasi, bentuk organisasi, tingkat kepuasan pegawai; (d) sasaran produk yaitu karakteristik produk atau jasa yang akan diberikan kepada konsumen. Sasaran ini menetapkan jumlah, mutu jenis, corak dan karakteristik lainnya yang menggambarkan karakteristik produk ataupun jasa yang ditawarkan; dan (e) sasaran bagian, yaitu menggambarkan sasaran dari suatu bagian, ataupun suatu satuan kerja yang merupakan bagian dari suatu organisasi. Sasaran bagian ini merupakan alat untuk mencapai sasaran output ataupun sasaran sistem dari suatu organisasi.
Gambar 1
Jenis Sasaran dan Kinerja Organisasi Yang Ingin Dicapai
JENIS SASARAN ORGANISASI KINERJA ORGANISASI
Sasaran Lingkungan
Kinerja Organisasi mencapai sasaran lingkungan
Sasaran Ouput Kinerja Organisasi mencapai sasaran output
Sasaran Sistem Kinerja Organisasi mencapai sasaran sistem
Sasaran Produk Kinerja Organisasi mencapai sasaran produk
Sasaran Bagian Kinerja Organisasi mencapai sasaran bagian
Sumber : Peter (1997: 112)
Untuk mengukur tingkat keberhasilan mencapai sasaran tersebut, maka insikator yang biasa dipakai adalah efisiensi, efektivitas dan kualitas. Jadi dengan demikian, kinerja organisasi dapat diukur berdasarkan tingkat pencapaian hasil kerja berdasarkan sasaran yang ditetapkan sebelumnya. Demikian pula mengukur tentang hasil kerja organisasi bukan hanya hasil kerja yang secara output diberikan kepada lingkungan eksternalnya yaitu masyarakat atau pelanggannya, tetapi hasil kerja dapat pula diberikan kepada pelanggan internalnya, yaitu pegawai yang berfungsi mengelola organisasi guna mencapai tujuannya. Dengan demikian konsep tentang kinerja organisasi sangat luas ruang lingkupnya; bukan hanya kinerja yang dihasilkan untuk lingkungannya eksternalnya, tetapi kinerja dapat pula diperuntukkan bagi sasaran internal organisasi. Oleh karena itu pendekatan untuk mengukur kinerja suatu organisasi sangat tergantung susut pandang yang digunakan; dapat berupa kinerja pada sisi Input kinerja pada sisi proses atau kinerja pada sisi output. Masing-masing pendekatan ini memiliki indikator yang berbeda. Pada penelitian ini pengukuran kinerja organisasi menggunakan pendekatan proses (internal proces approach), yaitu kinerja organisasi birokrasi diukur dari efisiensi organisasi dan kesehatan organisasi; kesehatan organisasi diukur dari tingkat kepuasan pegawai yang diberikan oleh organisasi, yaitu dengan menggunakan mengukur kinerja pencapaian sasaran sistem organisasi tersebut.
E. Kinerja Organisasi Birokrasi
Birokrasi dalam literatur ilmu administrasi dipergunakan dalam beberapa pengertian yang berbeda dan bahkan bertentangan. Matrin Albrow mengemukakan tujuh konsep moder tentang birokrasi yaitu : (1) birokrasi sebagai organisasi rasional; (2) birokrasi sebagai inefisiensi organisasi; (3) birokrasi sebagai kekuasaan yang dijalankan oleh pejabat; (4) birokrasi sebagai administrasi negara (publik); (5) birokrasi sebagai admnistrasi yang dijalankan oleh pejabat; (6) birokrasi sebagai sebuah organisasi; dan (7) birokrasi sebagai masyarakat modern.
Dalam penelitian ini birokrasi dipakai dalam pengertian yang terbatas yaitu sebagai organisasi pemerintahan atau administrasi negara (publik) yang berfungsi menyelenggarakan fungsi pemerintahan dan fungsi pembangunan.
Seperti yang diakui oleh Abdullah (1984) pembahasan birokrasi dalam kalangan ilmu sosial sering menimbulkan berbagai perbedaan pendapat karena berbagai pengertian yang berbeda dengan sudut pandang yang berbeda pula. Sorotan tajam penggunaan istilah birokrasi pada pengertian yang kurang baik, yaitu birokrasi sebagai inefisiensi organisasi (administrative inefficiency). Biasanya pengertian yang kurang baik ini mencerminkan cara kerja aparatur pelayanan pemerintah yang memiliki kinerja rendah.
Rumusan birokrasi berdasarkan hasil seminar Persadi (1984) adalah birokrasi atau disebut pula sebagai organisasi dari aparatur negara adalah susunan yang terorganisir secara hirarkis dengan struktur hubungan kewenangan yang jelas untuk mencapai tujuan tertentu dengan cara mengkoordinasi secara sistematis pekerjaan dari banyak orang.
Pengertian ini menandaskan bahwa birokrasi itu terdapat pada semua organisasi kerjasama manusia, termasuk organisasi birokrasi pemerintah yang berfungsi sebagai instrumen pemerintah untuk mencapai tujuan-tujuan; peningkatan kesejahteraan masyarakat, kualitas pendidikan, menciptakan ketertiban keamanan dan pelayanan serta pengayoman masyarakat atau dengan kata lain mencakup seluruh tugas dan fungsi pemerintah umum.
Sementara itu, Max Weber (Martani) sendiri tidak memberikan defenisi yang jelas tentang birokrasi. Weber hanya mengajukan ciri-ciri ideal birokrasi, yaitu (1) adanya pengaturan ataupun pengorganisasian fungsi-fungsi resmi untuk suatu kesatuan yang utuh; (2) adanya pembagian kerja yang jelas di dalam organisasi; (3) adanya pengorganisasian yang mengikuti prinsip-prinsip hirarki, yaitu tingkatan yang lebih rendah diawasi dan diatur oleh tingkatan yang lebih tinggi; (4) adanya sistem penerimaan dan penempatan karyawan yang didasarkan atas kemampuan teknis, tanpa memperhatikan koneksi, hubungan keluarga maupun favoritisme; (5) adanya pemisahan antara pemilikan alat produksi maupun administrasi dari kepemimpinan organisasi; (6) adanya obyektivitas dalam melaksanakan tugas yang berkaitan dengan suatu jabatan dalam organisasi; dan (7) kegiatan administratif, keputusan-keputusan dan peraturan-peraturan dalam organisasi selalu dituangkan dalam bentuk tertulis.
Berdasarkan pengertian di atas, maka dapat ditegaskan bahwa yang dimaksud birokrasi disini adalah keseluruhan organisasi pemerintah yang melaksanakan tugas-tugas pemerintahan, pembangunan dan pelayanan masyarakat dalam berbagai unit organisasi pemerintah untuk menciptakan kesejahteraan masyarakat.
Ruang lingkup birokrasi dapat diketahui berdasarkan perbedaan tugas pokok dan misi yang mendasari organisasi birokrasi adalah :
1. Birokrasi pemerintahan umum, yaitu rangkaian organisasi pemerintahan yang menjalankan tugas-tugas pemerintahan umum dari tingkat pusat sampai daerah (Propinsi, Kabupaten, Kecamatan dan Desa/Kelurahan).
2. Birokrasi fungsional, yaitu organisasi pemerintahan yang menjalankan salah satu bidang atau sektor yang khusus guna mencapai tujuan umum pemerintahann
3. Birokrasi pelayanan (Service-Bureaucracy), yaitu unit organisasi yang pada hakekatnya melaksanakan pelayanan langsung dengan masyarakat. Termasuk dalam konsep ini apa yang disebut oleh Michael Lipsky sebagai ”Street-level Bureaucracy”, yaitu mereka yang menjalankan tugas dan berhubungan langsung dengan warga masyarakat.
Perkembangan pengukuran kinerja organisasi sangat berhubungan erat dengan pendekatan dalam mempelajari organisasi. Pendekatan klasik misalnya memandang kinerja organisasi sama dengan efisiensi organisasi. Menurut teori ini kinerja organisasi. Jadi, kinerja organisasi sama dengan efisiensi.
Demikian pula pendekatan neo-klasik kinerja organisasi diukur dari terciptanya suasana yang harmonis antara pegawai sebagai anggota organisasi. Menurut teori ini suatu organisasi dikatakan memiliki kinerja tinggi apabila anggotanya merasa puas terhadap apa yang diberikan oleh organisasi. Pandangan ini merupakan kelanjutan dari pandangan penganut paham hubungan antar manusia, yang menempatkan kepuasaan anggota sebagai inti persoalan organisasi dan manajemen. Sementara pendekatan modern sebagai suatu pendekatan sistem memandang bahwa kinerja organisasi tidak saja ukur dari variabel input, variabel proses dan variabel output, tetapi juga ketiga variabel tersebut padu dalam interaksi dengan variabel lingkungan yang mempengaruhi organisasi.
Menurut Indrawijaya (1986), teori yang komprehensif mengukur kinerja organisasi berdasarkan banyak macam ukuran. Pandangan ini berpendapat bahwa susunan organisasi memang merupakan suatu hal yang penting. Tetapi dalam kebebasan bertindak sangat penting untuk memungkinkan adanya kebebasan bertindak para anggota organisasi secara keseluruhan dapat lebih menyesuaikan diri dengan tuntutan perubahan. Jadi ukuran kinerja organisasi selain berhubungan dengan aspek internal organisasi juga berhubungan dengan aspek eksternal organisasi, yaitu berkaitan dengan kemampuan beradaptasi dan fleksibelitas terhadap pengaruh lingkungan luar.
Emitasi Etzioni (dalam Indrawijaya: 1986) megemukakan pengukuran kinerja organisasi menggunakan System Model, mencakup empat kriteria yaitu adaptasi, integrasi, motivasi dan produksi. Kriteria adaptasi dipersoalkan adalah kemampuan organisasi untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan. Indikator ini antara lain adalah tolok ukur proses pengadaan dan pengisian tenaga kerja, ruang lingkup kegiatan organisasi. Hal terakhir mempertanyakan seberapa jauh kemanfaatan organisasi tersebut bagi lingkungan. Kriteria integrasi, yaitu pengukuran terhadap tingkat kemampuan organisasi untuk mengadakan sosialisasi, pengembangan konsensus dan komunikasi dengan berbagai macam organisasi lain. Kriteria motivasi anggota diukur keterikatan dan hubungan antara pelaku organisasi dengan organisasinya dan kelengakapan sarana bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Sementara kriteria produksi, yaitu usaha untuk pengukuran efektivitas organisasi dihubungkan dengan jumlah dan mutu keluaran organisasi serta intensitas kegiatan suatu organisasi.
Menurut Ducan (1981) kinerja organisasi dapat diukur dengan indikator: (1) efisiensi, yaitu jumlah dan mutu dari hasil organisasi dibanding dengan masukan sumber; (2) keseimbangan antara subsistem sosial dan antar personil; (3) antisipasi dan persiapan untuk menghadapi perubahan.
Kajian yang dilakukan oleh Osborne dan Patrick (1998) yang mengatakan bahwa kinerja organisasi publik dapat dilihat dari aspek tujuan (purpose), insentif, akuntabilitas, kekuasaan (power), budaya (culture) organisasi. Aspek tujuan berkaitan dengan rendahnya pemahaman birokrat terhadap visi dan misi organisasi sehingga antara perilaku, orientasi kerja tidak sejalan dengan visi dan misi organisasi. Sedangkan aspek yang berkaitan dengan insentif adalah kurangnya perhatian khusus terhadap birokrat yang memiliki prestasi yang baik sehingga berdampak rendahnya kemampuan birokrat dalam mengemban tugasnya. Sedangkan aspek akuntabilitas adalah kemampuan organisasi itu mempertanggung jawabkan atas semua kewenangan, sumber daya organisasi, kebijakan yang dihasilkan atas penilaian yang obyektif dari orang/badan dan masyarakat yang memberi tugas.
Martani Husein, menggunakan tiga pendekatan untuk mengukur tingkat pengukuran efektivitas organisasi yaitu; (1) pendekatan sasaran (goal approach ), (2) pendekatan sumber (system resource approach), (3) pendekatan proses (internal process approach).
Efektivitas menurut Martini (tanpa tahun: 55) adalah merupakan gambaran tingkat keberhasilan dalam mencapai sasarannya. Dengan demikian, efektivitas disini sama dengan hasil kerja yang dicapai oleh organisasi guna mencapai sasaran atau tujuannya. Hal ini berarti afaktivitas mengandung makna kinerja yang dicapai oleh organisasi guna mencapai tujuannya.
Pendekatan sasaran dan dalam pengukurannya dimulai dengan mengindentifikasi sasaran mengukur tingkat keberhasilan organisasi. Ukuran keberhasilan organisasi dapat dilihat dari fakktor efisiensi, produktivitas, tingkat keuangan, pertumbuhan organisasi, kepemimpinan organisasi pada lingkungannya, dan stabilitas organisasi. Sedangkan pendekatan sumber adalah mengukur tingkat keberhasilan organisasi mendapatkan berbagai sumber yang dibutuhkan terutama untuk memelihara sistem organisasi. Ukuran pada pendekatan ini meliputi; kemampuan organisasi untuk memanfaatkan lingkungan untuk memperoleh berbagai jenis sumber yang bersifat langka dan nilainya tinggi, kemampuan para pengambil keputusan dalam organisasi untuk menginterpretasikan sifat-sifat lingkungan secara cepat, kemampuan organisasi untuk menghasilkan output tertentu dengan menggunakan sumber-sumber yang berhasil diperoleh, kemampuan organisasi dalam memelihara kegiatan opersionalnya sehari-hari, dan kemampuan organisasi untuk bereaksi dan menyesuaikan diri terhadap perubahan lingkungan.
Pendekatan Proses menganggap efektivitas sebagai efisiensi dan kondisi (kesehatan) dari organisasi internal. Indikator untuk mengukur pendekatan ini diantaranya, adalah; efisiensi, perhatian atasan terhadap karyawan, semangat, kerjasama dan loyalitas kelompok kerja, saling percaya dan komunikasi antara karyawan dengan pimpinan, desentralisasi dalam pengambilan keputusan, adanya komunikasi vertikal dan horisontal yang lancar dalam organisasi, adanya usaha dari setiap individu maupun keseluruhan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan, adanya sistem imbalan yang merangsang pimpinan untuk mengusahakan terciptanya kelompok-kelompok kerja yang efektif dalam organisasi dan bagian-bagian bekerjasama secara baik, dan konflik yang terjadi selalu diselesaikan dengan mengacu pada kepentingan bersama.
Sementara Gibson (1996), menggunakan pendekatan untuk mengukur kinerja organisasi melalui pendekatan dimensi periode waktu, yaitu tahap jangka pendek, tahap jangka menengah, dan tahap jangka panjang. Keseluruhan proses tahap tersebut adalah suatu sistem yang tak berpisah, bahkan periode waktu jangka pendek merupakan prasyarat untuk dapat memasuki periode waktu jangka menengah, demikian selanjutnya periode waktu jangka menengah merupakan prasyarat untuk memasuki tahap jangka panjang. Pada akhirnya organisasi yang tidak memiliki kinerja bagus pada periode waktu jangka pendek tak dapat survive untuk masa depan. Indikator untuk mengukur periode jangka pendek adalah produksi, mutu, efisiensi, fleksibelitas dan kepuasan masyarakat yang dilayani. Sedangkan Indikator untuk mengukur periode jangka menengah adalah persaingan, yaitu menggambarkan posisi organisasi dalam lingkungan termasuk nilai bargaining position, dan pengembangan, yaitu kemampuan organisasi menginventarisasi sumber daya untuk memenuhi permintaan lingkungan. Indikator periode jangka panjang adalah kelangsungan hidup organisasi, yaitu kemampuan organisasi untuk tetap bertahan dan hidup seiring dengan perubahan lingkungan yang berubah.
Analisis kinerja organisasi tak dapat dilepaskan dari kinerja individu. Terhadap hubungan yang sangat kuat antara kinerja individu dengan kinerja organisasi. Organisasi yang memiliki kinerja individunya tinggi akan memberi konstribusi besar terhadap kinerja organisasi. Studi ini lakukan oleh Thoha (1991) yang mengatakan bahwa kinerja individu sangat ditentukan oleh karakteristik-karakteristik individu seperti kemampuan, kebutuhan, kepercayaan, pengalaman, dan pengharapan. Sedangkan karakteristik organisasi birokrasi adalah hirarki, tugas-tugas, wewenang, tanggung jawab, sistem reward dan sistem kontrol. Interaksi antara karakteristik individu dan karakteristik organisasi akan melahirkan perilaku organisasi sekaligus kinerja organisasi.
F. Kualitas Individu dan Pembelajaran Organisasi
Seperti diketahui bahwa kualitas individu sangat menentukan kinerja organisasi, bahkan berkembangnya organisasi sangat terkait dengan kemampuan individu-individu yang mengelola organisasi. Ducan dalam Indrawijaya (1989) mengatakan bahwa prestasi (P) adalah fungsi perkalian dari motivasi dari (M) dengan kemampuan (K). Dengan demikian ada dua faktor pembentuk kualitas seseorang yaitu; kemampuannya yang menunjukkan potensi seseorang untuk melakukan tugasnya, dan kedua adalah faktor motivasi, yaitu merupakan proses psikologis yang mencerminkan interaksi antara sikap, kebutuhan, persepsi dan keputusan yang terjadi pada diri seseorang.
Gibson mengatakan ada tiga variabel yang mempengaruhi perilaku individu, yaitu variabel individu, variabel organisasi dan variabel psikologis. Variabel individu berkaitan dengan kemampuan dan keterampilan, latar belakang dan demografi. Sedangkan variabel organisasi berhubungan dengan sumber daya, kepemimpinan, imbalan, struktur, dan desain pekerjaan. Sementara variabel psikologis berkaitan dengan persepsi, sikap, kepribadian, belajar, dan motivasi.
Peter M. Senge (1997), mengajukan teori yang terbaru mengenai kualitas individu dan hubungannya dengan organisasi dalam menghadapi perubahan lingkungan. Sange mengemukakan Disiplin Kelima (Fifth Disiplin) dalam pembelajaran organisasi (Learning organization), yaitu system tingking, personal mastery, mental models, building shared vision dan team learning. Kedepan organisasi pembelajaran merupakan salah satu ciri organisasi abad 21, karena organisasi yang demikian itu mampu menjawab tantangan yang dihadapi dan sekaligus menjamin keberlangsungannya ditengah-tengah perubahan.
Systems thinking atau berfikir secara sistem merupakan tonggak konseptual (conceptual corner stone) yang mendasari semua pilar disiplin pembelajaran. Berfikir sistem sangat berkepentingan terhadap pergeseran pola fikir (shift of mind) dari cara pandang parsial menuju cara pandang yang holistik. Oleh karena itu berfikir sistem merupakan paradigma yang melihat pada superioritas kesatuan yang menyeluruh (a paradigma premised upon the primary of the whole). Berfikir sistem merupakan disiplin yang melihat fenomena secara keseluruhan sehingga lebih menekankan kepada kerangka pikir yang saling berkaitan (interconnectedness). Berfikir sistem juga merupakan cara pandang yang berfokus pada perubahan (pattern of change) sehingga tidak melihat suatu fenomena yang hanya didasarkan pada cara yang statis.
Personal mastery atau personal vision pada hakekatnya merupakan disiplin pribadi yang secara terus-menerus berusaha mencapai visi pribadi melalui focusing dan refocusing dengan melihat realitas secara obyektif agar pilihan-pilihan yang diambil mengakomodasikan visi pribadi dan realitas yang dihadapi dengan jalan menfokuskan energi dan mengembangkan kesabarannya. Meningkatkan penguasaan diri pribadi merupakan suatu hal penting dalam organisasi karena komitmen membangun pembelajaran diawali oleh komitmen individu. Organisasi akan lebih cepat mencapai tujuannya apabila setiap individu dalam organisasi memiliki tingkat kemampuan diri yang tinggi. Karakteristik Personal Mastery pada tingkat yang tinggi adalah; mempunyai komitmen yang tinggi, berinisiatif, kreatif, mempunyai visi pribadi yang jelas, memiliki kepercayaan diri yang dalam, mempunyai rasa tanggung jawab yang mendalam, selalu berusaha mengembangkan diri, mempunyai kemampuan untuk mencapai hasil yang diinginkan, dan mampu melihat realitas secara obyektif.
Mental model suatu kerangka untuk memandang sesuatu yang dianggap benar tetapi belum dibuktikan kebenarannya. Dengan demikian mental model merupakan jendela kaca dari mana seseorang melihat dan bagaimana mengadaptasikan diri dengan lingkungan yang berubah. Nilai seseorang sangat ditentukan oleh konstribusi mental model yang dimilikinya. Mental model yang baik memungkinkan pemiliknya menyesuaikan diri dengan perubahan lingkungannya.
Building Shared Vision (membangun visi bersama) salah satu disiplin pembelajaran yang berfungsi menyatupadukan potensi organisasi untuk meraih sukses bersama-sama. Visi bersama adalah visi yang dibentuk dari visi indvidu-individu, dengan tujuan agar visi organisasi dapat merupakan kepemilikan bersama karena seluruh anggota mempunyai andil dalam pembentukannya. Visi adalah gambaran atau imajinasi yang ingin diwujudkan. Visi menyatakan masa depan yang menjanjikan (attractive future), nyata (realistic) dan dapat dipercaya (credible).
Misi memberi jawaban atas pertanyaan apa yang individu / organisasi kerjakan. Misi bersifat menantang dan memberikan kekuatan (energizibng) kepada seseorang maupun organisasi. Menurut Osborne (1995) pemerintahan yang digerakkan oleh misi lebih efisien, lebih efektif, lebih inovatif, lebih fleksibel, dan mempunyai semangat yang tinggi ketimbang organisasi yang digerakkan oleh peraturan.
Nilai adalah sikap atau perilaku dalam mengejar visi; sikap terhadap orang dalam organisasi, sikap menghargai pelanggan, masyarakat sikap pelayanan dan batas-batas simbol tuntutan perilaku yang akan menolong orang bergerak menuju visi.
Team learning suatu proses pengembangan kapasitas suatu tim untuk menciptakan atau mencapai hasil yang sesungguhnya diinginkan oleh anggota-anggota tim. Bangunan dari team learning adalah saling percaya, saling menjunjung tinggi, anggota saling mengisi. Pembelajaran sebenarnya adalah kegiatan untuk meningkatkan kapasitas (knowledge skill) dan menerapkan dengan efektif (increasing one’s capacity to take efective action). Team learning memiliki tiga dimensi, yaitu: keharusan untuk berfikir jernih dan mendalam menghadapi issue yang pelik, kebutuhan untuk bertindak inovatif dan terkoordinasi, dan kesediaan anggota tim untuk berperan dalam tim-tim lain sehingga saling melengkapi dan saling menunjang.
G. Efisiensi, Efektivitas dan Kesehatan Organisasi Birokrasi
Menurut Riggs (1966) ukuran kinerja birokrasi, bukan hanya kinerja perorangan (personal perfomance) atau suatu unit, tetapi juga yang diukur adalah kinerja organisasi (social perfomance). Ada dua aspek penting dalam pengukuran kinerja menurut Riggs, yaitu aspek efektivitas dan efisiensi. Efektivitas berkaitan seberapa jauh sasaran telah dapat dicapai, dan efisiensi menunjukkan bagaimana mencapainya, yakni dibanding dengan usaha, biaya atau pengorbanan yang harus dikeluarkan.
Efektivitas dapat dinyatakan sebagai tingkat keberhasilan organisasi dalam usaha untuk mencapai tujuan atau sasaran. Dengan perkataan lain efektivitas adalah hasil guna yang dicapai oleh organisasi untuk mencapai sasaran atau tujuannya. Jadi, makna efektivitas memiliki konsep yang lebih luas dari pada konsep efisiensi. Efektivitas dapat berkaitan dengan variabel internal dan juga berkaitan dengan variabel eksternal organisasi. Sedangkan efisiensi hanya berkaitan dengan proses internal organisasi, yaitu perbandingan yang rasional atau terbaik antara Input dengan Output.
Efisiensi berkaitan dengan pencapaian Output. Sedangkan Output diakibatkan dari Input. Dengan demikian efisiensi adalah perbandingan terbaik antara hasil Output yang diperoleh dan kegiatan yang dilakukan serta sumber-sumber atau input yang dipergunakan dalam sumber-sumber tersebut tercakup tenaga kerja, biaya, material, alat-alat kerja, waktu dan sebagainya.
William M. Evan (dalam Martani), mengukur kinerja organisasi dengan menggunakan pendekatan proses, yaitu menghitung efisiensi, yaitu menghitung besarnya ongkos untuk pengadaan input (I), menghitung ongkos transformasi (T) serta menghitung nilai output (O) ketiga variabel ini dapat dikombinasikan untuk mengukur berbagai aspek tentang kinerja organisasi. Cara yang paling sering yang digunakan untuk mengukur efisiensi adalah dengan menggunakan rasio O/ I. Bagi Dinas Keberhasilan Rasio ini dapat diartikan Tingkat biaya yang dikeluarkan untuk mengangkut sampah M3/ hari perbulan. Dari perbandingan rasio tersebut dapat diketahui tingkat efisiensi Dinas Pendidikan dalam melaksanakan tugasnya.
Kondisi kesehatan organisasi, dilihat dari sudut pandang sasaran output merupakan proses, bukan hasil atau kinerja yang dihasilkan oleh organisasi. Akan tetapi dari sasaran sistem, adalah merupakan output dari proses itu sendiri. Dengan kata lain organisasi yang sehat merupakan output dari sasaran sistem, dimana organisasi mampu menciptakan suasana yang harmonis antara semua unsur yang terlibat dalam proses organisasi.
Kinerja organisasi yang sehat menurut Martani dicirikan oleh tingginya perhatian atasan terhadap bawahan, semangat, loyalitas dan kerjasama yang sangat dinamis, saling percaya dan komunikasi antara pegawai dengan pimpinan, tingginya otonomi dan desentralisasi dalam pengambilan keputusan, tumbuhnya komunikasi vertikal dan horisontal yang lancar dalam organisasi dan organisasi memiliki sistem imbalan yang merangsang setiap individu / kelompok berprestasi.
H. Kerangka Pikir
Berdasarkan pendekatan analisis kinerja organisasi menurut Huseini seperti yang diuraikan di atas bahwa ada tiga pendekatan yang dapat digunakan dalam menganalisis yaitu; (1) pendekatan sumber, pendekatan proses dan pendekatan sasaran. Sebagai acuan dalam penelitian ini menggunakan pendekatan prosas (internal process approach) dalam menganalisis kinerja organisasi. Pendekatan ini menganggap kinerja organisasi sebagai efisiensi dan kondisi (kesehatn) dari organisasi internal. Pada organisasi yang kinerjanya baik; proses internal berjalan dengan lancar, pegawai bekerja dengan kegembiraan dan kepuasan yang tinggi, kegiatan masing-masing bagian terkoordinasi dengan baik dengan produktivitas yang tinggi, tingginya perhatian atasan terhadap bawahan, semangat, kerjasama dan loyalitas kelompok kerja, saling percaya dan komunikasi antara pegawai dengan pimpinan, desentralisasi dalam pengambilan keputusan, komunikasi vertikal dan horizontal yang lancar, adanya usaha dari setiap individu maupun keseluruhan organisasi untuk mencapai tujuan yang telah direncanakan, sistem imbalan yang merangsang pimpinan untuk mengusahakan terciptanya kelompok-kelompok kerja yang efektif, organisasi dan bagian-bagian bekerjasama secara baik dan tumbuhnya yang tinggi serta konflik selalu diselesaikan dengan acuan kepentingan organisasi.
Sementara menurut Etzioni seperti yang diuraikan terdahulu kinerja organisasi dapat diukur melalui system model yang mencakup empat kriteria, yaitu adaptasi, integrasi, motivasi dan produktivitas. Dalam hubungan dengan pengukuran penelitian ini indikator motivasi menurut Etzioni adalah keterikatan dan hubungan antara perilaku organisasi dengan organisasinya dan kelengkapan sarana bagi pelaksanaan tugas pokok dan fungsi organisasi. Motivasi merupakan faktor penting untuk meningkatkan kinerja. Pegawai yang memiliki motivasi tinggi, akan memiliki kinerja tinggi.
Demikian pula Menurut Ducan dalam Indrawijaya, kinerja organisasi dapat diukur dengan indikator efisiensi, yaitu jumlah dan mutu dari hasil organisasi dibanding dengan masukan sumber dan keseimbangan antara susbsistem sosial dan antara personal. Hal senada pula dikemukakan Gibson sebelumnya bahwa indikator untuk mengukur kinerja organisasi dilihat dari pendekatan jangka pendek adalah efisiensi, mutu, fleksibilitas. Efisiensi adalah kunci utama agar organisasi itu dapat survive dan memasuki era persaingan. Demikian pula mutu hanya dapat dicapai melalui proses internal dengan menggunakan teknologi, sumber daya manusia yang trampil, berkemampuan tinggi, memiliki motivasi tinggi.
Berdasarkan teori motivasi dari Hezberg (Gibson, 1996) dapat dideteksi bahwa berasal dari faktor instrinsik, yaitu faktor-faktor atau situasi yang merupakan sumber yang antara lain terdiri dari keberhasilan, pengakuan, tanggung jawab dan pengembangan; dan faktor ekstrinsik, adalah faktor yang menjadi sumber ketidakpuasan antara lain terdiri dari supervisi, keamanan kerja, kondisi kerja kebijaksanaan organisasi dan gaji. Perbaikan dari faktor-faktor ini akan mengurangi atau menghilangkan ketidakpuasan, namun tidak menimbulkan kepuasan.
Kerjasama dalam tim merupakan potensi organisasi yang sangat besar dalam mencapai sasaran organisasi. Oleh karena itu kerjasama tim harus dikembangkan melalui proses pengembangan kapasitas tim (team learning). Menurut Senge seperti yang diuraikan di atas bahwa bangunan tim learning adalah saling percaya, saling menjunjung tinggi, dan anggota saling mengisi antara sesama tim, dengan begitu proses kerjasama tim akan tercipta.
Terciptanya hubungan pimpinan dan bawahan dalam organisasi yang harmonis, transparan, persuasif dapat mendorong meningkat kinerja organisasi secara keseluruhan. Pimpinan tak dapat bekerja dengan baik apabila tidak mendapat dukungan dari bawahan, demikian pula bawahan tak dapat mengekspresikan diri, mengaktulisasi segala potensi dan motivasinya tanpa dukungan pimpinan. Oleh karena itu antara keduanya harus saling percaya, terbuka, memberdayakan dan partisipastif.
Iklim organisasi merupakan suasana secara internal organisasi melakukan aktivitas. Menurut Gibson, iklim organisasi sangat potensial menciptakan organisasi yang sehat, terutama bagi kelangsungan interaksi anggota dan kelompok organisasi itu sendiri. Iklim organisasi yang baik dicirikan oleh otonomi dan fleksibilitas, menaruh kepercayaan dan keterbukaan, simpatik dan memberi dukungan dan pertumbuhan pribadi dalam organisasi tersebut.
Berdasarkan kerangka pemikiran diatas, maka model penelitian ini dapat disimplikasi menjadi (1) pendekatan analisis yang digunakan untuk mengukur kinerja organisasi adalah pendekatan proses (internal process approach) yang menekankan pada efisiensi dan kesehatan organisasi sebagai ukuran kinerja organisasi. Berdasarkan pendekatan tersebut, maka konsep kinerja organisasi dapat diukur melalui variabel-variabel: (1) efisiensi organisasi; (2) kerjasama tim; dan (3) hubungan pimpinan dengan bawahan.
KERANGKA PIKIR
BAB III
METODE PENELITIAN
A. Lokasi dan Jenis Penelitian
Penelitian ini dilakukan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone sebagai salah satu unit Birokrasi Pemerintah Kabupaten secara fungsional bertanggungjawab terhadap terwujudnya pembangunan pendidikan. Alasan pemilihan lokasi ini didasarkan pada : (1) Dinas Pendidikan merupakan unit organisasi birokrasi yang berhadapan langsung dengan masyarakat yang membutuhkan pelayanan bidang pendidikan,; (2) untuk memberi pelayanan bidang pendidikan, maka kinerja organisasi Dinas Pendidikan harus mendapat perhatian utama untuk ditingkatkan kapasitasnya terutama menyangkut sumber daya dan kelembagaan yang memungkinkan anggota organisasi mengaktualisasi kinerjanya; (3) fungsi Dinas Pendidikan sebagai institusi yang bergerak dalam pembangunan pendidikan, mencerdaskan bangsa, dilakukan bermitra dengan pemerintah, swasta dan kelembagaan masyarakat.
Berkaitan dengan tujuan penelitian adalah untuk menjelaskan tentang fenomena dan fakta sosial yang terjadi secara obyektif di lapangan, maka jenis penelitian yang cocok dengan tujuan penelitian itu adalah deskriptif, yaitu suatu penelitian yang mendeskripsikan tentang kinerja birokrasi pemerintah dilihat dari sudut pendekatan proses.
B. Variabel, Definisi Operasional, Indikator dan Pengukuran Variabel
Konsep kinerja birokrasi pemerintah dapat dijabarkan ke dalam beberapa variabel, yaitu:
1. Variabel Efisiensi Pelayanan Dinas adalah pebandingan antara input untuk menghasilkan output dalam pengelolaan dan pengembangan pendidikan.
Indikator yang diukur adalah:
1. Jumlah waktu yang digunakan
2. Jumlah biaya yang digunakan
3. Jumlah pegawai yang dipakai
4. Intentitas waktu dan kuantitas pelayanan
2. Kerjasama Tim adalah kemampuan bekerjasama dalam satu kelompok kerja melalui proses pembelajaran bersama untuk mencapai hasil yang diinginkan.
Indikator yang diukur adalah:
1. Saling percaya
2. Saling menjunjung tinggi
3. Anggota saling mengisi
3. Hubungan Pimpinan dengan Bawahan adalah jalinan komunikasi yang harmonis untuk bekerjasama berdasarkan fungsi tugas dan tanggung jawab masing-masing untuk mencapai tujuan organisasi.
Indikator yang diukur adalah:
1. Dukungan
2. Pemberdayaan
3. Partisipasi
4. Tanggung jawab
Ketiga variabel tersebut (Efisiensi organisasi, Kerjasama tim, dan Hubungan pimpinan dengan bawahan), pengukurannya menggunakan Skala Ordinal didasarkan dari jumlah skor yang dihasilkan dari penggabungan beberapa indikator variabel. Untuk mendapatkan kategori penilaian adalah dengan memberikan skor atau diindeks, yaitu yang tertinggi 5,4,3,2 dan yang terendah 1.
C. Populasi dan sampel
Keseluruhan obyek yang menjadi sumber data dalam penelitian ini adalah pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dan mendapat tugas pada saat dilaksanakannya peneltian ini. Berdasarkan ciri-ciri atau karakteristik di atas, ternyata jumlah populasi yang tersedia di lingkungan Kantor Dinas Pendidikan adalah 109 orang pegawai.
Karena jumlah populasi yang cukup banyak, maka dalam penelitian ini ditarik sampel dengan sistem acak, yakni sebanyak 49 orang diambil dari masing-masing 7 dari 7 sub bidang yang ada.
D. Jenis Data dan Teknik Pengumpulan Data
Jenis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah:
1. Data primer, yaitu data yang diperoleh dari responden dengan menggunakan kuesioner, wawancara dan observasi. Data ini berkaitan dengan Kinerja Birokrasi Pemerintah yang meliputi; efisiensi pelayanan birokrasi, Dinas Pendidikan , kerjasama tim, dan hubungan pimpinan-bawahan berdasarkan persepsi responden (individu) yang dituangkan dalam daftar pernyataan (statement) yang disusun secara sistematis berdasarkan variabel dan indikator.
2. Data sekunder, yaitu data yang dikumpulkan dari instansi/unit kerja Pemda Kabupaten Bone; Dinas Pendidikan, Bagian Keuangan, Bagian Kepegawaian. Jenis data sekunder yang dibutuhkan adalah:
a. Data pegawai; jenis pendidikan, pangkat/golongan, jenis diklat.
b. Data tentang peraturan dan kebijaksanaan yang dikeluarkan oleh pemerintah.
c. Jumlah dana untuk Dinas Pendidikan baik rutin maupun pembangunan.
d. Jumlah sarana dan prasarana yang ada.
E. Analisis Data
Tahapan pengolahan data setelah terkumpul dari responden adalah :
1. Editing, yaitu peneliti memeriksa seluruh kuesioner yang terkumpul dari responden untuk memastikan kecocokan pengisian sesuai dengan petunjuk pengisian, termasuk disini mengecek kembali ke responden bila ada jawaban yang belum jelas.
2. Pengkodean nomor responden untuk memudahkan tabulasi data pada tahap berikutnya.
3. tabulasi data, yaitu mencatat semua jawaban responden mulai dari responden pertama sampai responden terakhir. Dari hasil tabulasi data ini diperoleh skor berdasarkan Skala Likert berdasarkan variabel-variabel penelitian.
4. langkah selanjutnya adalah mencari Rata-rata, Variance dan Standar Deviasi dari pengukuran Skala Likert dengan rumus yang digunakan adalah:
a. Rata-rata X =
b. Variance S2 =
c. Standard Deviasi S =
5. Dari perhitungan tersebut di atas dapat disimpulkan sesuai dengan persepsi responden untuk masing-masing skala Likert, yaitu dengan memberi sebutan dari hasil indeks jawaban skala Likert dengan sebutan: Tinggi, Sedang, Rendah dan Rendah Sekali. Setiap kategori yang disimpulkan memiliki implikasi, antara lain berupa saran kongkrit untuk peningkatan kinerja birokrasi pemerintah Kabupaten Bone. Semua hasil pengolahan data tersebut selanjutnya dianalisis dengan analisis deskriptif kualitatif.
Pengkategorian nilai dalam bentuk skala likert sebagai berikut :
Variabel efesiensi pelayanan dinas
Interval Kategori
12 – 23 Sangat rendah
24 – 25 Rendah
36 – 47 Sedang
48 – 60 Tinggi
Variabel kerjasama tim
Interval Kategori
9 – 17 Sangat rendah
18 – 25 Rendah
26 – 34 Sedang
35 – 45 Tinggi
Variabel hubungan kerja
Interval Kategori
12 – 23 Sangat rendah
24 – 25 Rendah
36 – 47 Sedang
48 – 60 Tinggi
BAB IV
HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN
Sesuai dengan tujuan penelitian ini adalah untuk mengetahui kinerja birokrasi pemerintah, khususnya dalam kasus Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, maka pembahasan berikut ini akan dijelaskan variabel-variabel penelitian kinerja birokrasi; efisiensi organisasi, kerjasama tim, dan hubungan kerja pimpinan dengan bawahan. Uraian awal akan dideskripsikan terlebih dahulu tentang karakteristik responden dalam penelitian ini.
A. Karakteristik Responden
Subyek penelitian ini memiliki karateristik secara umum yakni pegawai di lingkungan Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, pada saat penelitian ini dilakukan berstatus sebagai pegawai aktif. Namun dari karateristik khusus yang secara terinci berbeda dari setiap responden. Karateristik yang dimaksud pada bagian ini meliputi, Jenis kelamin, Usia, dan Pendidikan terakhir responden.
1. Jenis kelamin
Responden dalam penelitian ini adalah pegawai di lingkungan Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bone. Untuk melihat karateristik responden berdasarkan jenis kelamin dapat dilihat pada Tabel 1.
Tabel 1
Distribusi Frekuensi Jenis Kelamin Pegawai
Kantor Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Jenis Kelamin Frekuensi Persentase (%)
Laki-laki
Perempuan
20
29
40,81
59,18
Total 49 100,00
Sumber data : Penelitian lapangan tahun 2007
Berdasarkan pada Tabel 1 di atas maka dapat disimpulkan bahwa jenis kelamin pegawai pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone lebih banyak perempuan daripada laki-laki. Kondisi ini memungkinkan dapat berpengaruh terhadap kinerja pegawai, karena tingkat ketelitian perempuan dalam bekerja lebih tinggi dibanding laki-laki.
2. Tingkat usia responden
Untuk melihat secara keseluruhan, tingkat usia rata-rata responden dapat dilihat pada tabel 2. Data tabel menggambarkan bahwa dari 49 responden, 1 orang berusia 20 sampai 29 tahun, 31 orang berusia antara 30 sampai 39 tahun, 12 orang berusia antara 40 sampai 49 tahun dan 5 orang berusia antara 50 sampai 59 tahun.
Tabel 2
Distribusi Frekuensi Responden Menurut Tingkat Umur
Pegawai Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Tingkat Umur Frekuensi Persentase
20 – 29
30 – 39
40 – 49
50 – 59 1
31
12
5 2.04
63,26
24,48
10,20
Total 49 100.00
Sumber data : Penelitian lapangan tahun 2007
Hal ini menunjukkan bahwa komposisi usia responden terkonsentrasi pada usia 30 sampai 49 tahun atau masih dalam kategori usia produktif. Usia merupakan salah satu indentitas yang dapat memberikan petunjuk untuk mengetahui kemampuan fisik dan kemampuan daya pikir seseorang. Semakin tua usia seseorang semakin tinggi tingkat kematangan berpikirnya dalam proses pencapaian tujuan yang hendak dicapai. Pada usia produktif sangat memungkinkan seseorang untuk mencapai Kinerja dan meningkatkan Kinerja kerja karena masih didukung oleh kekuatan fisik dan energi yang menunjang untuk menjalankan aktivitas pengajaran, dan pelatihan serta bimbingan terhadap warga belajar.
3. Tingkat pendidikan
Dalam jenjang pendidikan terakhir responden, penelitia dapat menguraikan pada tabel 3
Tabel 3
Distribusi Responden Menurut Jenjang Pendidikan
Tingkat Umur Frekuensi Persentase
Sarjana Muda/ D III
Sarjana (S1)
Magister (S2) 3
43
3 6,12
87,75
6,12
Total 35 100.00
Sumber data : Penelitian lapangan tahun 2007
Data tabel 3 di atas, menunjukkan bahwa dari 49 respondedn 3 orang adalah lulusan Sarjana Muda / D III, 43 orang lulusan Sarjana (S1) dan 3 orang lulusan Magister (S2).
Komposisi pendidikan terakhir responden yang terkonsentrasi pada jenjang pendidikan Sarjana (S1). Hal ini sangat menguntungkan karena tingkat pendidikan dapat mempengaruhi profesionalisme dan kualitas kerja pegawai.
B. Kinerja Dinas Pendidikan
Seperti yang telah diuraikan sebelumnya bahwa kinerja Birokrasi Pemerintah, khususnya Dinas Pendidikan diukur melalui pendekatan proses. Variabel untuk mengukur kinerja organisasi melalui pendekatan ini adalah (1) efisiensi pelayanan dinas; (2) kerjasama tim; dan (3) hubungan kerja pimpinan dengan bawahan.
Tabel 4
Persepsi Responden tentang Tingkat Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Variabel Kinerja n Total
Skor Total Rata-rata SD Variance
• Efisiensi Pelayanan Dinas 49 1764 36,00 3,01 9,05
• Kerjasama Tim 49 1680 34,29 2,14 4,58
• Hubungan kerja Pimpinan dengan bawahan 49 2007 40,96 2,10 4,41
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Variabel efisiensi organisasi, seperti yang diperagakan pada tabel 1 menunjukkan rata-rata skor Skala Likert sebesar 36,00 skor ini berada pada kategori ’setuju’ Skala Likert, SD 3,01. Hal ini menunjukkan bahwa variance nilai untuk efisiensi sangat kecil, lebih kecil dari nilai rata-rata. Indikasi ini menunjukkan bahwa pola efisiensi organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone cenderung sama, yaitu berada pada kategori ’setuju’. Kesimpulan yang diambil untuk variabel efisiensi organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone adalah bahwa tingkat efisiensi organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam taraf ’sedang’, yaitu dalam skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi.
Kerjasama Tim, berdasarkan hasil penelitian ini, rata-rata skor skala Likert mencapai 34,29 atau termasuk ’setuju’ dalam skala Likert dengan SD 2,14. Ini berarti bahwa tidak ada variance nilai yang berarti untuk variabel kerjasama tim. Artinya responden mempunyai persepsi yang sama tentang kerjasama tim, yaitu berada pada kategori ’setuju’. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kerjasama tim di Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’sedang’, dalam skala nilai 9 - 17 = sangat rendah, 18 - 25 = rendah, 26 - 34 = sedang, dan 35 – 45 = tinggi. Artinya kerjasama tim yang dibangun atau diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam melaksanakan misi organisasi kategori sedang, kerjasama tim yang ada belum dapat menjadi sumber daya organisasi yang efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
Hasil penelitian mengenai hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan berdasarkan rata-rata skor skala Likert mencapai rata-rata skor 40,96. Skor ini menurut hasil penelitian berada pada kategori ’sangat setuju’ dan SD 2,10. Ini berarti bahwa variance nilai untuk variabel ini sangat rendah, masih lebih kecil di bawah angka rata-rata skor skala Likert. Indikasi ini memberi pengertian bahwa terdapat kecenderungan yang sama menurut persepsi responden tentang hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, yaitu cenderung sangat setuju. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa tingkat kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menciptakan hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan bertaraf ’tinggi’ dengan skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi.
Salah satu teori yang dapat menjelaskan tentang rendahnya kinerja birokrasi pemerintah seperti hasil temuan penelitian ini adalah teori Osborne & Gaebler (1992) tentang transformasi birokrasi kearah mewirausahakan birokrasi. Teori ini menjelaskan bahwa organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efisien ketimbang organisasi yang digerakkan oleh prosedur, organisasi yang digerakkan oleh misi lebih efektif ketimbang organisasi hanya dapat ditingkatkan melalui perubahan visi, misi dan tujuan organisasi. Organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone adalah organisasi birokrasi yang digerakkan oleh kekuasaan/prosedur dengan pendekatan hubungan hirarki berdasarkan kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan.
1. Efisiensi Organisasi
Keberhasilan organisasi mengelola sumber daya yang dimiliki untuk mencapai misinya sangat ditentukan oleh tingkat efisiensi yang dicapainya. Bahkan efisiensi sangat menentukan tingkat kemampuan organisasi memenuhi harapan dan kepuasan pelanggannya.
Tingkat efisiensi organisasi adalah perbandingan antara faktor-faktor input; berupa sumber daya organisasi untuk menghasilkan satu-satuan output berupa barang atau jasa. Dalam hal ini yang dihasilkan oleh Dinas Pendidikan dapat berupa pelayanan dalam pembangunan pendidikan. Sedangkan sumber daya dapat berupa dana, tenaga manusia, peralatan, waktu yang digunakan untuk menghasilkan output.
Sesuai dengan indikator efisiensi dalam penelitian ini adalah jumlah waktu yang dipakai untuk dapat menjalankan program-program dalam bidang pendidikan, jumlah biaya yang dipakai dalam pelaksanaan pembangunan pendidikan.
Tabel 5
Persepsi Responden tentang Tingkat Efisiensi Organisasi
Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Indikator Efisiensi n Total
Skor Total Rata-rata SD Variance
• Waktu yang digunakan 49 495 10,10 1,50 2,26
• Biaya yang Dipakai 49 357 7,29 0,97 0,95
• Pegawai yang digunakan 49 491 10,02 1,31 1,72
• Intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan 49 421 8,59 0,76 0,58
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa tingkat efisiensi organisasi yang diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’baik’ dalam skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi. Oleh karena itu, untuk menjelaskan tentang fenomena tingkat efisiensi organisasi dapat dilihat pada masing-masing indikator yang dipakai seperti pada peraga tabel 2 di atas.
a. Indikator waktu yang digunakan dalam pelaksanaan program pembangunan pendidikan
Indikator waktu yang digunakan dianalisis dengan 3 item pertanyaan. Hasil penelitian berdasarkan rata-rata skor Likert berada pada skor 10,10 atau masuk kategori ’setuju’ dan SD 1,50. Dengan demikian bahwa indikator waktu yang digunakan dalam pembangunan pendidikan berdasarkan persepsi responden tidak memiliki variasi berarti. Hal ini menunjukkan bahwa terdapat kesamaan persepsi responden tentang waktu yang dipakai, yaitu’setuju’. Kesimpulan yang diambil untuk indikator ini adalah waktu yang ditetapkan untuk pelaksanaan program-program pembangunan pendidikan tingkat pencapaiannya berada pada taraf ’sedang’ dalam skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
b. Indikator biaya yang dipakai
Untuk mengukur indikator biaya yang dipakai untuk pelaksanaan program pendidikan dideteksi melalui 3 item pernyataan. Hasil penelitian menunjukkan bahwa skor rata-rata skala Likert sebesar 7,29 dan SD 0,97. Skor 7,29 berada pada kategori ragu-ragu’. Hasil ini memberi pengertian bahwa SD sangat kecil dan tidak memiliki variasi. Ini berarti bahwa responden memiliki pola jawaban yang sama bahwa biaya yang digunakan dinas pendidikan kabupaten Bone adalah rendah atau ’ragu-ragu’. Hasil penelitian ini dapat disimpulkan bahwa biaya yang digunakan untuk pelaksanaan program-program pendidikan kurang baik dalam skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
c. Indikator pegawai yang dipakai
Untuk mengukur indikator pegawai yang dipakai untuk melayani pendidikan dapat dipantau melalui 3 item pernyataan. Hasil penelitian indikator peralatan, skor skala Likert 10,02 atau termasuk kategori ’setuju’ dan SD 1,31. Hal ini menunjukkan bahwa variasi jawaban responden sangat kecil, lebih rendah dari angka rata-rata skor skala Likert. Ini berarti bahwa responden mempunyai pola jawaban yang sama bahwa pegawai yang tersedia saat ini sudah memadai atau dengan pernyataan ’setuju’. Kesimpulan adalah tingkat ketersediaan pegawai yang dipakai dalam taraf ’sedang’ yaitu skala antara : skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Dengan pengertian lain bahwa pegawai yang dimiliki oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone saat ini sudah memadai dibandingkan dengan kebutuhan dalam pembangunan pendidikan.
d. Indikator Intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan
Indikator intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dijaring melalui 3 item pernyataan. Temuan dalam penelitian ini menunjukkan bahwa intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan yang dapat dicapai oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berdasarkan skala Likert berada pada skor 8,59 atau termasuk kategori ’kurang setuju’ dan SD 0,76. Data ini berarti responden memiliki pola jawaban yang sama bahwa intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone tidak bervariasi. Artinya, dapat disimpulkan bahwa tingkat intensitas kuantitas dengan kualitas pelayanan yang dilakukan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf berkinerja ’rendah’, yaitu dalam skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
2. Kerjasama Tim
Salah satu sumber daya organisasi yang handal adalah adanya kerjasama Tim (team work) yang tangguh dan prima. Kerjasama tim harus dibangun dan dikembangkan secara terus menerus sesuai dengan tuntutan dan tantangan tugas-tugas yang dihadapi oleh organisasi. Oleh karena itu, dalah satu kinerja organisasi yang penting yang harus dicapai oleh organisasi adalah membangun kerjasama tim yang tangguh.
Organisasi dapat mencapai kinerja outputnya yang tinggi sangat ditentukan solidnya kerjasama tim untuk mengerjakan pekerjaan yang menjadi tanggungjawab organisasi. Untuk membangun kerjasama tim yang tangguh tidak hanya adanya pembagian tugas yang jelas antara masing-masing individu dan besarnya kewenangan yang dimiliki untuk mengerjakan pekerjaan. Tetapi yang lebih penting adalah sebuah tim yang tangguh harus saling percaya antara satu orang dengan orang lain terhadap integritas, motivasai, nilai dan segala atribut yang dimiliki oleh anggota tim.
Di samping anggota Tim saling percaya, juga harus saling menjunjung tinggi atas segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki oleh anggota tim yang lainnya. Saling menjunjung tinggi memberi dorongan kepada semua anggota tim untuk loyal dan memiliki motivasi yang tinggi untuk terlibat dalam proses kerjasama tim.
Indikator yang ketiga yang sangat penting tumbuhnya kapasitas kerjasama tim yang tangguh adalah saling mengisi antar anggota tim. Saling mengisi, menandaskan tim tersebut melakukan proses pembelajaran (learning process) yang secara terus-menerus, terutama dalam melakukan adaptasi terhadap perubahan lingkungan. Disinilah tim melakukan proses pemberdayaan anggota timnya dan proses pembangunan tim (team building) tumbuh dan berkembang. Pada akhirnya tak ada lagi yang dapat memisahkan diantara mereka, mereka diikat oleh visi dan misi tim yang sama, yaitu untuk mencapai tujuan yang ditetapkan secara bersama-sama.
Tabel 6
Persepsi Responden tentang Tingkat Kerjasama Tim
Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Indikator Kerjasama Tim n Total
Skor Total Rata-rata SD Variance
• Saling Percaya 49 532 10,86 1,39 1,95
• Saling menjunjung tinggi 49 565 11,35 0,89 0,79
• Saling mengisi 49 231 11,90 1,77 1,38
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Seperti yang diuraikan sebelumnya bahwa kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam membangun kerjasama tim berada dalam rata-rata skor skala Likert mencapai 34,29 atau termasuk setuju dalam skala Likert dengan SD 2,14. Ini berarti bahwa tidak ada variance nilai yang berarti untuk variabel kerjasama tim. Artinya responden mempunyai persepsi yang sama tentang kerjasama tim, yaitu berada pada kategori setuju. Hal ini dapat disimpulkan bahwa tingkat kerjasama tim di Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’sedang’, dalam skala nilai 9 - 17 = sangat rendah, 18 - 25 = rendah, 26-34 = sedang, dan 35 – 45 = tinggi. Artinya kerjasama tim yang dibangun atau diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam melaksanakan misi organisasi baik, kerjasama tim yang ada belum dapat menjadi menjadi sumber daya organisasi yang efektif dalam pencapaian tujuan organisasi.
Kerjasama tim yang ada hanya sebatas kerjasama yang secara jelas diatur selalui uraian tugas. Jadi, sebenarnya belum ada terbentuk kerjasama tim yang kompak yang bukan didasarkan hubungan atasan dan bawahan.
a. Indikator saling percaya
Indikator saling percaya semua unsur organisasi seperti yang diperagakan pada tabel 4 dijaring melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan hasil penelitian untuk indikator saling percaya antara anggota tim dalam organisasi berada dalam skor 10,86 skala Likert atau termasuk kategori setuju’ dan SD relatif kecil, yaitu hanya 1,39. Simpulan dalam penelitian ini adalah tingkat saling percaya antara semua unsur dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf ’sedang’ dalam skala nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Saling percaya antara sesama anggota organisasi/tim dalam hal tugas yang diberikan dan tanggungjawab yang diemban oleh masing-masing anggota tim.
b. Indikator saling menjunjung
Demikian pula untuk indikator saling menjunjung tinggi, dideteksi melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan kriteria tersebut maka dapat diketahui menurut hasil penelitian untuk indikator saling menjunjung tinggi antara semua unsur dan lapisan dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam skor 11,35 atau termasuk kategori ’setuju’ dan SD 0,89 lebih rendah nilai variance daripada skor rata-rata. Kesimpulan untuk indikator adalah saling menjunjung tinggi antara semua unsur dan lapisan dalam Dinas Pendidikan Kabupaten Bone ini berada dalam taraf yang masih ’sedang’ yaitu Skala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi.
c. Indikator saling mengisi
Hal serupa pengukuran indikator saling mengisi dilakukan melalui 3 item pernyataan, seperti pula pada indikator saling percaya, maka berdasarkan hasil penelitian seperti yang diperagakan pada tabel 4 di atas menunjukkan skor 11,90 atau termasuk kategori ’setuju’ dan SD 1,38 dengan kesimpulan bahwa tingkat saling mengisi dan menerima antara semua unsur dalam dinas ini berada dalam taraf ’sedang’ dalam Skala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Kinerja tim dalam hal saling mengisi antar sesama anggota tim ini terutama dalam hal saling mengajarkan atas hal-hal baru yang belum pernah diperoleh oleh anggota tim lainnya, memberi saran dan dukungan atas kekurangan anggota tim lainnya.
Kondisi ini cukup memenuhi syarat untuk menciptakan kerjasama tim yang prima karena antara pegawai/pekerja, pimpinan dan bawahan masih cukup transparan, saling percaya dan saling menghargai atas segala kelebihan dan kekurangan yang dimiliki. Pendapat responden tentang tingkat kepercayaan dan rasa saling menjunjung tinggi ini disebabkan : (1) ada sebagian pegawai mendapat tempat yang ’basah’, padahal pekerjaan yang dilakukan bukan pekerjaan pokok hanya pekerjaan penunjang; (2) belum seimbang pengabdian dengan imbalan yang diterima pegawai/pekerja sehingga keterlibatan secara total pegawai atas pekerjaannya masih rendah; (3) perlakukan/kebijakan Dinas Pendidikan Kabupaten Bone atas pekerja yang rajin, pintar dan yang mempunyai kemampuan sama saja; dan (4) tidak adanya penilaian kinerja yang jelas tingkat keberhasilan seorang pegawai dalam melakukan pekerjaannya, baik dalam tim/seksi/bagian maupun secara pribadi.
Fenomena yang dapat dijelaskan tentang rendahnya kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam membangun kerjasama tim adalah pola kerjasama yang terjalin cenderung berdasarkan pendekatan kewenangan dan kekuasaan, dimana hubungan kerjasama antara pegawai didasarkan atas pembagian tugas yang secara hirarkial sangat kaku dengan batasan tugas pokok dan fungsi yang telah ada. Prinsip ini dikenal dalam Tipe Ideal Birokrasi Weber, dimana salah satu Prinsip ideal birokrasi adalah adanya hubungan hirarkial-struktural dalam jaringan kerjasama. Pola dan pendekatan Birokrasi Weberian seperti ini tak mampu memciptakan kerjasama tim yang prima, kerjasama tim yang tangguh dan prima hanya dapat dilakukan atas dasar asas kesamaan dan kesederajatan, saling percaya, saling menjunjung tinggi dan saling mengisi antara satu dengan lainnya sehingga semua anggota organisasi ’tidak merasa’ diperintah dan ’tidak merasa’ ada yang memerintah.
3. Hubungan Kerja antara Pimpinan dengan Bawahan
Dalam organisasi birokrasi modern pola hubungan kerja pimpinan dengan bawahan sangat menentukan efektivitas dan efisiensi organisasi. Hubungan kerja yang terjalin dengan baik dan harmonis dapat memungkin pimpinan dan bersama bawahan untuk mendayagunakan sumber daya secara optimal, dapat menciptakan koordinasi, singkronisasi, simplikasi proses kegiatan organisasi secara efisien dan efektif.
Tabel 7
Persepsi Responden tentang Tingkat Hubungan Kerja
Antara Pimpinan dan Bawahan Pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Indikator Hubungan Kerja n Total
Skor Total Rata-rata SD Variance
• Dukungan 49 561 11,45 0,89 0,79
• Pemberdayaan 49 480 9,80 0,91 0,83
• Partisipasi 49 486 9,92 1,03 1,07
• Tanggung Jawab 49 480 9,80 1,08 1,66
Sumber : Hasil Penelitian, 2007
Hasil penelitian tentang tingkat kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menciptakan hubugan kerja antara Pimpinan dan Bawahan seperti yang telah diuraikan sebelumnya berada dalam rata-rata skor skala Likert mencapai rata-rata skor 40,96. Skor ini menurut hasil penelitian berada pada kategori ’sangat setuju’ dan SD 2,10. Ini berarti bahwa variance nilai untuk variabel ini sangat rendah, masih lebih kecil di bawah angka rata-rata skor skala Likert. Indikasi ini memberi pengertian bahwa terdapat kecenderungan yang sama menurut persepsi responden tentang hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, yaitu cenderung setuju. Kesimpulan yang dapat diambil adalah bahwa tingkat kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menciptakan hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan bertaraf ’sedang’ dengan skala, 12 - 23 = rendah sekali, 24 - 35 = rendah, 36 - 47 = sedang, dan 48 – 60 = tinggi.
Untuk menjelaskan fenomena hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan diuraikan melalui indikator penelitian berikut ini.
a. Indikator dukungan
Guna menjelaskan tentang indikator dukungan bawahan terhadap atasan dijaring melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan peraga tabel 4 di atas dapat diketahui skor rata-rata skala Likert untuk indikator dukungan bawahan terhadap pimpinan adalah 11,45, atau termasuk kategori ’setuju’, dengan SD lebih kecil dari angka rata-rata yaitu 0,89. Ini berarti responden memiliki persepsi yang sama tentang dukungan terhadap pimpinan yaitu cenderung ’sedang’. Skala dalam menarik kesimpulan berdasarkan indikator ini adalah : Skala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Dengan demikian kesimpulan yang dapat diambil adalah tingkat dukungan terhadap pimpinan berada dalam taraf ’sedang’. Berdasarkan hasil wawancara dengan responden bawahan, memberikan keterangan bahwa dukungan terhadap pimpinan terutama dalam menyelesaikan tugas diberikan, patuh dan taat terhadap perintah dan selalu mengikuti garis kebijakan yang ditetapkan oleh pimpinan karena pimpinan memiliki kewenangan untuk memerintah dan menjatuhkan sanksi atas bawahannya.
b. Pemberdayaan
Indikator pemberdayaan, dimana skor rata-rata skal Likert berada pada skor 9,80 yang dijaring melalui 3 item pernyataan. Skor 9,80 ini berada pada kategori ’setuju’ dengan kesimpulan adalah pemberdayaan bawahan oleh pimpinan berada dalam taraf ’baik’ kala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Hasil wawancara dengan responden pimpinan adalah, wujud dari pemberdayaan bawahan adalah (1) memberi telaahan atas tugas pokok dan fungsinya dalam batas-batas kewenangan yang dimilikinya; (2) mendorong untuk bekerja keras; (3) mendorong untuk mengembangkan diri dalam rangka meningkatkan kemampuan dan kinerjanya.
c. Indikator partisipasi
Untuk menjelaskan indikator partisipasi bawahan dijaring melalui 3 pernyataan. Seperti hasil penelitian yang diperagakan pada tabel 5 menunjukkan bahwa rata-rata skor skala Likert untuk indikator partisipasi menunjukkan skor 9,92 atau termasuk kategori ’setuju’ dan SD 1,03 atau variance lebih rendah daripada angka rata-rata skor skala Likert. Kesimpulannya adalah bahwa tingkat pertisipasi bawahan dalam melaksanakan perintah pimpinan berada dalam taraf ’sedang’ yaitu dalam kala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Bentuk partisipasi bawahan ini adalah melaksanakan tugas pokok dan fungsi sesuai dengan garis perintah, mendukung atas setiap kebijakan pimpinan dan menjalankan taat terhadap peraturan dan ketentuan yang berlaku yang diperintahkan oleh pimpinan.
d. Indikator tanggung jawab
Untuk menjelaskan tentang indikator tanggung jawab bawahan atas tugas yang dilimpahkan oleh pimpinan dilakukan melalui 3 item pernyataan. Berdasarkan hasil penelitian rata-rata total skor untuk indikator tanggung jawab adalah 9,80 termasuk kategori ’setuju’, SD 1,08 atau lebih rendah variance terhadap skor rata-rata skala Likert. Untuk menarik kesimpulan mengenai tingkat tanggung jawab bawahan menggunakan kala Nilai 3 - 6 = sangat rendah, 7 - 9 = rendah, 10 - 12 = sedang dan 13 – 15 = tinggi. Dengan demikian tanggung jawab bawahan dalam melaksanakan tugas yang diberikan oleh pimpinan berada dalam taraf ’sedang’. Artinya pegawai memilih tanggung jawab yang tinggi atas tugas yang diberikan oleh pimpinannya.
Walaupun hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan berada dalam taraf yang ’baik’ atau dengan perkataan lain tingkat kinerja hubungan pimpinan dengan bawahan berada dalam kategori baik, akan tetapi dalam penelitian ini tidak mempunyai hubungan erat dengan tingkat keterlibatan, partisipasi, rasa kebertanggung jawaban jajaran dinas ini terhadap pencapaian tugas pokok dan fungsi dinas, khususnya pada pelaksanaan kegiatan operasional.
Hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan dapat dijelaskan pula oleh informasi menurut informan, bahwa semua pegawai/staf Dinas Pendidikan Kabupaten Bone harus tunduk dan taat segala perintah pimpinan karena pimpinan memiliki wewenan untuk memerintah, mengelola sumber daya dinas, mengawasi atas semua tingkah laku bawahan. Keberhasilan Dinas ini melaksanakan fungsi dan tugas pokoknya sangat tergantung dari pimpinan. Oleh karena itu pula apabila tugas pokok dan fungsi dinas tercapai dengan efisien, efektif, dapat memuaskan pegawai maupun masyarakat maka orang yang pertama merasa sukses adalah pimpinan.
Dengan demikian kesimpulan penting yang dapat dikemukakan dari hasil penelitian berdasarkan wawancara respondendan informan tentang variabel hubungan kerja antara pimpinan dan bawahan dalam organisasi birokrasi adalah (1) hubungan yang terjalin didasarkan atas hubungan hirarkial, bukan atas dasar kerjasama tim; (2) pemberdayaan bawahan oleh pimpinan dalam konteks hirarkis, yaitu berdasarkan kekuasaan yang dimiliki oleh atasan; (3) dukungan yang diberikan oleh bawahan kepada pimpinan atas dasar bahwa pimpinan memliki kewenangan untuk memerintah dan bawahan wajib memberi dukungan dan harus loyal atas setiap perintah atasan; (4) partisipasi bawahan didasarkan atas perintah dan ketentuan yang ditetapkan oleh pimpinan.
C. Faktor Pendukung dan Penghambat Kinerja Birokrasi Pemerintah Kasus pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Seperti yang telah dijelaskan pada bab sebelumnya bahwa kinerja birokrasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone merupakan aktivitas dari seorang pegawai Dinas Pendidikan Kabupaten Bone setelah menerapkan semua persyaratan atau tugas sesuai dengan kompetensinya. Adapun hal-hal yang dinilai dalam penelitian ini untuk mengukur kinerja birokrasi pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone adalah meliputi, efesiensi organisasi, kepuasan kerja, kerjasama tim, dan hubungan antara pimpinan dengan bawahan.
1. Faktor Pendukung Kinerja Birokrasi Pemerintah pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Berdasarkan hasil observasi dan wawancara terhadap responden, ditemukan berbagai faktor pendukung dan penghambat dalam upaya peningkatkan kinerja birokrasi di Dinas Pendidikan Kabupaten Bone. Faktor-faktor ini dapat terjadi baik secara internal maupun eksternal organisasi. Faktor internal meliputi unsur-unsur yang terdapat dalam tubuh organisasi, yakni Dinas Pendidikan Kabupaten Bone. Kemudian faktor eksternal aspek yang bersumber dari luar Dinas Pendidikan Kabupaten Bone, seperti pemerintah, instansi yang relevan dan masyarakat.
Dalam hal efesiensi organisasi, terdapat faktor pendukung dan penghambat. Berdasarkan hasil wawancara ditemukan faktor-faktor tersebut. Faktor pendukung efesiensi organisasai meliputi ; (1) adanya kesadaran dari pegawai dalam menjalankan peran dan fungsinya dengan waktu yang sebaik-baiknya, (2) penggunaan anggaran yang sesuai dengan kebutuhan pembangunan pendidikan cukup tepat sasaran, (3) penggunaan pegawai dalam job description yang tepat dan profesional dikembangkan dalam dinas, (4) keterpaduan antara jumlah program dengan kualitas yang diinginkan. Selain faktor tersebut, indikator lain yang dapat diukur dari faktor pendukung adalah; (1) dukungan dan kerjasama dari pegawai yang cukup solid, (2) hubungan baik vertikal maupun horizontal berjalan baik dalam tubuh organisasi sehingga tercipta suasana harmonis, (3) pembagian kerja yang cukup profesional, (4) dukungan pemerintah Kabupaten Bone yang baik, (5) partisipasi masyarakat yang cukup baik.
2. Faktor Penghambat Kinerja Birokrasi Pemerintah pada Dinas Pendidikan Kabupaten Bone
Apabila dikonfirmasi dengan data hasil wawancara dengan informan dapat diketahui bahwa tingkat kinerja birokrasi mendapat hambatan utamanya: (1) alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai relatif rendah; (2) kurangnya inisiatif dari dinas untuk menyusun program pengembangan pegawai; (3) pola pengembangan pegawai saat ini masih sangat sentralistik; (4) inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri masih rendah; (5) jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan jumlah pegawai yang dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan di wilayah-wilayah terpencil.
Kemudian faktor penghambat ditemukan berdasarkan hasil wawancara adalah (1) sangat padatnya program pendidikan yang kadang kala tumpang tindih sehingga sangat menyita waktu dan perhatian pegawai. Intensitas pekerjaan yang tinggi tentunya berpengaruh pada kualitas kinerjanya, (2) anggaran yang diberikan dari pemerintah daerah masih minim dibanding dengan kebutuhan pendidikan yang sebenarnya, (3) jumlah pegawai yang relatif sedikit dibanding kebutuhan kerja, sehingga mempengaruhi efesiensi kerja, utamanya dalam mengejar kualitas kerja.
Dinas Pendidikan Kabupaten Bone melalui kebijakan pimpinan mengeluarkan serangkankain kebijakan dalam rangka meningkatkan faktor pendukung efesiensi dan berusaha mengeliminir faktor penghambat tersebut. Usaha yang dilakukan meliputi; (1) melakukan koordinasi setiap elemen dalam birokrasi, (2) mengusahakan membangian anggaran dalam setiap program secara profesional, (3) mengadakan studi mendalam tentang program-program apa saja yang dapat dilakukan dalam upaya meningkatkan pembangunan pendidikan, dan (4) mengusahakan kerjasama dari instansi lain yang relevan dengan program pendidikan.
KESIMPULAN DAN SARAN
A. Kesimpulan
Berdasarkan hasil penelitian ini, dapat disimpulkan beberapa hal mengenai Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berdasarkan pendekatan proses.
1. Tingkat Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam melaksanakan fungsi berada dalam taraf berkinerja sedang.
2. Efisiensi organisasi Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam mencapai fungsi pengelolaan pendidikan berada dalam taraf baik. Dilihat dari indikator waktu yang digunakan dalam pelaksanaan pelayanan dalam bidang pendidikan. Dilihat dari indikator biaya yang dipakai yang tergolong masih rendah dibanding dengan kebutuhan yang ada. Demikian pula pegawai yang dipakai untuk pelaksanaan pelayanan pembangunan pendidikan kurang memadai dibandingkan dengan kebutuhan yang diperlukan.
3. Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam membangun kerjasama tim yang prima untuk melaksanakan tugas pokok dan fungsi dinas terbentuk berdasarkan atas dasar saling percaya, saling menjunjung tinggi dan saling mengisi diantara semua unsur dan lapisan dinas. Hal ini dapat dilihat dari hasil penelitian yang menunjukkan kerjasama tim yang diciptakan oleh Dinas Pendidikan Kabupaten Bone berada dalam taraf sedang. Proses kerjasama yang terjadi dalam menciptakan kerjasama tim bersifat berdasarkan pendekatan kewenangan yang tertulis dan secara psikologis pegawai terikat dalam satu kerjasama tim (teamwork) yang utuh.
4. Kinerja Dinas Pendidikan Kabupaten Bone dalam menciptakan hubungan kerja antara pimpinan dengan bawahan berada dalam taraf tinggi, yaitu melalui dukungan, pemberdayaan, partisipasi dan tanggung jawab dalam batasan kewenangan yang dimiliki. Hubungan yang terjalin diidasarkan atas kekuasaan sehingga bawahan harus tunduk kepada kewenangan yang dimiliki oleh pimpinan untuk melakukan perintah dan mengambil keputusan serta memberi sanksi.
5. Faktor pendukung kinerja organisasi adalah antara lain; (1) dukungan dan kerjasama dari pegawai yang cukup solid, (2) hubungan baik vertikal maupun horizontal berjalan baik dalam tubuh organisasi sehingga tercipta suasana harmonis, (3) pembagian kerja yang cukup profesional, (4) dukungan pemerintah Kabupaten Bone yang baik, (5) partisipasi masyarakat yang cukup baik. Kinerja birokrasi mendapat hambatan utamanya : (1) alokasi anggaran untuk pengembangan pegawai relatif rendah; (2) kurangnya inisiatif dari dinas untuk menyusun program pengembangan pegawai; (3) pola pengembangan pegawai saat ini masih sangat sentralistik; (4) inisiatif pegawai untuk mengembangkan diri masih rendah; (5) jangkauan wilayah kerja dinas yang luas dibandingkan dengan jumlah pegawai yang dimiliki, sehingga mempersulit pengontrolan di wilayah-wilayah terpencil.
B. Saran
Berdasarkan kesimpulan penelitian, maka penulis merekomendasikan berupa saran-saran sebagai berikut :
1. Untuk meningkatkan efisiensi Dinas dalam pelayanan pendidikan perlu rasionalisasi pegawai dan penataan kembali struktur organisasi dinas yang ada sekarang yang disesuaikan berdasarkan tuntutan kebutuhan tugas dinas.
2. Pengelolaan organisasi birokrasi yang hanya menekankan pada pendekatan prosedur harus disempurnakan melalui perubahan visi, misi, pendekatan, strategi dan kegiatan operasional agar dapat tercipta kepuasa kerja, kerjasama tim yang prima, hubungan kerja berdasarkan pendekatan partisipasi dan kelompok kerja (teamwork) guna dapat mencapai misi organisasi yang efisiensi, efektif dan berkeadilan kearah yang lebih baik
3. Penelitian ini belum komprehensif, karena hanya melihat kinerja organisasi dari segi pendekatan proses, maka untuk kebutuhan penelitian berikutnya bagi yang berminat meneliti kinerja organisasi birokrasi dapat menggunakan pendekatan output, yaitu mengukur produk barang atau jasa yang dihasilkan oleh birokrasi pemerintah berdasarkan tingkat kepuasaan dan ekspektasi masyarakat yang dilayani.
DAFTAR PUSTAKA
Abdullah, Syukur, M., Aspek Kepemimpinan Dalam Birokrasi (Pengembangan Kemampuan Administrasi Dalam Menunjang Pembangunan Nasional, Persadi, Ujung Pandang, 1984.
Ahmad, Baddu, Suatu Analisis tentang Prestasi Kerja dan Hubungannya dengan Kepuasaan dan Semangat Kerja pada Kantor Setwilda Tk. I Sulsel, Tesis S2 Unhas, Ujung Pandang, 1994.
Albrow, Martin, Birokrasi, PT. Tiara Wacana Yogya, Yogyakarta, 1989.
Armstrong Michael and Angela Baron, Performance Management the New Realities, Isntitute of Personnel and Development, London, 1998.
Creech, Bill, Lima Pilar Manajeme Mutu Terpadu (Cara membuat Total Qualitty Manajemen Bekerja Bagi Anda), Binarupa Aksara, Jakarta, 1996.
Dajan, Anton, Pengantar Metode Statistik, LP3ES, Jilid I, Jakarta, 1993.
Drucker, Peter, F., Managing In a Time of Great Change (Manajemen di Tengah Perubahan Besar), Efek Media Komputelindo, Jakarta, 1997.
Frederickson, H., George, Administrasi Negara Baru, LP3ES, Jakarta, 1984.
Fisipol UGM, Peranan Bappeda Dalam Perencanaan Pembangunan Daerah di Indonesia, 1991
Gaspersz, Vincent, Manajemen Kualitas (Penerapan Konsep-konsep Kualitas Dalam Manajemen Bisnis Total), Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, 1997.
Gibson, dkk., Organisasi: Perilaku, Struktu dan Proses,Binarupa Aksara, Jilid I & II, Jakarta, 1996.
Haselbein, Frances, Marshall Goldsmith, Ricard Beckhard, The Organization of The Future (Organisasi MAsa Depan), PT Elex Media Komputindi, Jakarta, 1997.
Henry, Nicholas, Administrasi Negara dan Masalah-masalah Publik, Rajawali Press, Jakarta 1995.
Kartaningsih, Elis, Gagasan Penilaian Kinerja Pelayanan Umum:Institusi Mekanisme dan Instrumen Penilaian, Jurnal Wacana Kinerja, No. 4 Thn 1, LAN Jawa Barat, 1999.
Kartasasmita, Ginanjar, Administrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1997.
__________, Pembangunan untuk Rakyat (Memadukan Pertumbuhan dan Pemerataan), CIDES, Jakarta, 1996.
Kerlinger, Fred, N, Asas-asas Penelitian Behavioral, Gadjah Mada University Press, Yogyakarta, 1995.
Korten, Frances, F., Robert Y., Siy, Jr., 1998, Transforming a Bureaucracy (the Experience of the Philipine National Irrigation Administration), Ateneo De Manila University Press.
Kristiadi, J.B, Persfektif Administrassi Publik Menghadapi Tantangan Abad 21, Jurnal Administrasi dan Pembangunan, Edisi, Khusus, Volume I No. 2, 1997.
___________, Administrasi/Manajemen Pembangunan, LAN, Jakarta, 1994.
LAN Perwakilan Jawa Barat, 1998, Pelayanan Kebersihan Kota (Hasil Penelitian).
LAN, Pengetahuan Tentang Visi dan Misi, Jakarta, 1998.
___________, Strategi Pelayanan Prima, Jakarta, 1999.
___________, Konsep Pengembangan Tentang Pelayanan Prima, Jakarta, 1998.
Lubis, Hari, S.B, Martini Huseini, Teori Organisasi )suatu Pendekatan Makro), PusatAntar Universitas Ilmu-ilmu Sosial – UI.
M., M, Tahir, Suatu Analisis tentang Faktor-faktor yang Berpengaruh terhadap Kepuasan Kerja Pegawai pada Kantor Kopertis Wilayah IX,Tesis S2 Unhas, Ujung Pandang, 1997.
Makmur H, M.Si, Filsafat Administrasi, Bumi Aksara, Jakarta, Februari 2006
Mallo, Manase, Sri Trisnoningtias, Metode Penelitian Masyarakat, Pusat Antar Universitas Ilmu-ilmu Sosial – Universitas Indonesia.
Muhammad Arif Tiro, Instrumen Penelitian Sosial-Keagamaan, Andira Publisher, Makassar, Januari 2005
Muhammad Arif Tiro, Metode Penelitia Sosial-Keagamaan, Andira Publisher, Makassar, Januari 2005
Muhammad Arif Tiro, Masalah dan Hipotesis Penelitian Sosial-Keagamaan, Andira Publisher, Makassar, Mei 2005
Murtir Jeddawi, Hukum Pemerintahan Daerah, UII Pres Yogyakarta, Watampone, 2006
Mustopadidjaja, AR & Bintoro, Tjokroamodjojo, Administrasi Negara, Demokrasi dan Masyarakat Madani, LAN, Jakarta, 1999.
__________, Format Pemerintahan Menghadapi Abad 21, Jurnal, Administrasi & Pembangunan, Edisi Khusus, Vol. I No. 2, LP3ES, Jakarta, 1997.
Nazir, Moh., Metode Penelitian, Ghalia Indonesia, Jakarta, 1985.
Nisjar, Karhi, S., Beberapa Catatan Tentang Good Governance, Jurnal Administrasi & Pembangunan, Edisi Khusus, Vol. I, No. 2, LP3ES, Jakarta 1997.
PERSADI, Pembangunan Administrasi di Indonesia, Jakarta, 1985.
Prawirosentono, Suyadi, Kebijaksanaan Kinerja Karyawan (Kiat Membangun Organisasi Kompetitif Menjalang Perdagangan Bebas Dunia), BPFE, Yogyakarta, 1999.
Quigley, V., Joseph, Vision (How Leaders Develop It, Share It, and Sustain It, Quigley and Associates, Inc, New York, 1993.
Rasyid, Ryaas, Pembangunan Pemerintahan Indonesia Memasuki Abad 21, Jurnal Adminsitrasi & Pembangunan, Edisi Khusus, Vol. I, No. 2, LP3ES, Jakarta, 1997.
Robbins, Stephen, Perilaku Organisasi (Konsep, Kontroversi, Aplikasi), Prenhalinde, Jakarta, 1996.
Savas, E. S., Privatization : The Key to Better Government, Chatham House Publisher, Inn., New Jersey, 1987.
Senge, Peter, M., The Fifth Dicipline (The Art and Practice of the Learning Organization), Doubleday Dell Publishing Group, 1997.
STIA Prima Sengkang, Pedoman Penyusunan Tesis Program Pascasarjana, Sengkang, September 2004
Sugiyono, Metode Penelitian Administrasi, Alfabeta, Bandung, 1987.
Syamsiah Badaruddin, Pembangunan Nasional & Pembangunan Regional, Lukman al-Hakim, Watampone, 2006
Tjokroamidjojo, Bintoro, Pengantar Adminsitrasi Pembangunan, LP3ES, Jakarta, 1985.
Thoha, Miftah, Perspektif Perilaku Birokrasi (Dimensi-Dimensi Prima Ilmu Administrasi Negara), jilid II, Rajawali Press, Jakarta, 1987.
___________, Pokok-pokok pikiran Tentang Pemerintahan yang Bersih dan Berwibawa, Jurnal Administrasi dan PembangunanVol. I No. 2, LP3ES, Jakarta, 1997.
Osborne, David, Ted, Gaebler, Mewirausahakan Birokrasi: Mentransformasikan Semangat Wirausaha ke Dalam Sektor Publik, PT. Pustaka Binaman Pressindo, Jakarta, 1992.
Osborne, David and Plastrik, Peter, Banishing Bureaucracy (The Five Strategic For Reinventing Government) Eddision Wesley Publishing Company, Inc., 1998.
Williams, S., Richard, Performance Management: Perspectives on Employee Performance, International Thomson Business Press, London, 1998.
Langganan:
Postingan (Atom)