Minggu, 29 November 2009

Dari W.R. Supratman sampai Red Flag;Tercipta Mars, Hymne, Ballada, Rock dan Reggae. Bernyanyi.. Berjuang untuk Akhiri Penindasan

industri musik komersil tanah air 2-3 tahun terakhir ini terkejut oleh band-band muda macam; Sheila On 7, Peter Pan, Radja. Kenapa? Sebab band-band tersebut mampu menggelembungkan penghasilan; baik bagi produser, label dimana mereka bernaung dan si musisi itu sendiri. Hingga julukan sebagai ‘Band Sejuta Copy’ tersemat di 3 band tersebut. Kita melihat upaya maksimal dan kerja keras pihak label untuk menuju kesana; seperti (salah satunya) dengan promosi gila-gilaan saat launcing album Peter Pan (Alexandria). Musica Record selaku label harus perlu menayangkannya secara LIVE dan serentak di 6 stasiun televisi nasional. Hmm.. kita tentu merasa kagum, terkejut dsb atau malah biasa-biasa saja tapi tanpa sadar menyenandungkan lagu-lagu mereka. Atau juga merasa muak, bosan (atau senang bahkan) karena telinga kita tiap saat - dimana tempat digempur lagu Ada Apa Denganmu (Peter Pan), Jujur (Radja); dalam angkot, di bis kota saat diamenin pengamen, di mall, di stasiun kereta, di tongkrongan gitar-gitaran anak muda ujung gang, di pedagang kaset/CD kaki lima. Pokoknya benar-benar terkepung!
Tapi saya tidak akan membahas banyak hal tentang grup-grup diatas. Saya akan membahas dan coba sedikit meresensi tentang serbuan grup-grup musik perlawanan/pembebasan yang kehadirannya lamat-lamat terdengar tapi nyata mereka ada dan terus menghasilkan karya.
***
Ditengah situasi semakin massifnya perampasan hak-hak kesejahteraaan rakyat oleh imperialis lewat perusahaan-perusahaan multi nasionalnya; Exxon, Caltex, British Petroleum, Shell, Rio Tinto, Borken Hill Proprietary Company Ltd, Newmont Mining Corporation, Newcrest Mining Ltd, Inco Ltd, Freeport Mc Moran Copper & Gold Inc. Maka semakin akut/parahlah kondisi kesejahteraan rakyat indonesia. Betapa kini ratusan juta rakyat kita harus lahir-tumbuh-besar dalam kondisi miskin; tentu berdampak sekali terhadap kwalitas hidup yang buruk; makanan minim gizi, minim vitamin, gampang sakit, bodoh, tak bisa sekolah tinggi, biaya berobat ke rumah sakit yang mahal; maka kalau jatuh sakit tak tersembuhkan, banyak rakyat mati di rumah kontrakannya (seperti pernah dipotret seorang Widji Thukul dalam bait-bait puisinya), atau digeletakkan di bawah jembatan Fly Over seperti yang terjadi belum lama ini di Jakarta.
Perubahan yang diharapkan-diimpikan oleh rakyat dari pergantian kekuasaan politik lewat pemilu 2004 yang lalu nyatanya hanya impian kosong rakyat dan malah menemukan kekecewaan terhadap kekuasaan Pemerintahan SBY-Kalla. Ternyata kegagahan, kegantengan, simpatik dan kebaikan yang ditampilkan pemerintah tak bisa – tak cukup - tak mampu menyelamatkan ratusan juta rakyat indonesia dari kenistaan hidup karena terus-terusan dijajah kaum imperialis asing. Habis sudah kekayaan alam kita dijarah - dikuasai oleh industri-industri asing yang beroperasi di indonesia. Emas bergunung-gunung di Papua tandas digasak PT Freeport, gas alam di bumi sumatera dikuasai bulat-bulat, kandungan minyak bumi yang ada di blok Cepu pada akhirnya jadi milik Exxon Mobil Oil. BUMN-BUMN kita perlahan tapi pasti semuanya akan bukan jadi milik kita lagi, akan tidak dikuasai oleh negara lagi, tidak akan bisa dimanfaatkan secara murah untuk kepentingan mensejahterakan rakyat banyak. Lalu bagaimana? Terus rakyat harus bagaimana? Dan rakyat harus berbuat apa untuk kondisi seperti sekarang ini? Jawaban akan jalan keluar dari krisis kesejahteraan tentu tidak bisa diserahkan begitu saja kepada elit-elit politik yang ada sekarang. Bagaimana dengan kepada wakil-wakil rakyat yang ada?
Keterbukaan politik seperti sekarang ini dari hasil penjatuhan rezim otoriter Soeharto telah melahirkan banyak gerakan rakyat. Organisasi-organisasi rakyat progressif lahir-tumbuh-jatuh bangun berjuang demi menuntaskan agenda-agenda reformasi yang tertunda-tunda. Buruh, petani, mahasiswa, kaum miskin kota membangun wadah-wadah perjuangannya. Perjuangan sudah tidak bisa lagi dilakukan sendiri-sendiri lagi, perjuangan sudah masuk dalam tahap untuk bersatu membangun kekuatan rakyat yang kuat antar sektor. Bahkan dalam waktu tidak lama lagi akan terwujud dalam satu front gerakan rakyat, nyata dan siap merespon situasi nasional apapun.
Di seni budaya, khusus sektor musik. Serbuan grup-grup musik/komunitas kesenian progressif telah menghasilkan karya-karya yang turut mengiringi, menyemangati perjuangan rakyat lewat lagu-lagu perlawanan/pembebasan. Mereka datang menyeruak pekatnya belantara hegemoni grup-grup populer yang besar dibawah raksasa-raksasa industri musik; Musica, EMI, Sony BMG, Aquarius Music dan melahirkan Sheila On 7, Radja, Peter Pan, Dewa 19, Samsons, Nidji, ADA Band tapi melulu ngomong asmara sampe muntah-muntah disepanjang album mereka.
Grup-grup musik progressif, walau berada dalam kondisi serba terbatas; minim dalam hal ekonomi, latar belakang pendidikan musik, fasilitas berkesenian dsb, toh tak menyurutkan semangat untuk tetap berkarya - berjuang menyebarluaskan fikiran-fikiran maju. Lirik-liirik lagunya menggedor kesadaran minim rakyat tentang adanya penindasan. Tentang adanya penjajahan yang masih terus terjadi di bumi indonesia. Tak luput juga ketidakadilan sosial yang dirasakan rakyat banyak menjadi tema sentral di lagu-lagu mereka. Bernyanyi menyuarakan perlawanan, mencipta mars perjuangan, memberitahu bahayannya militerisme, memperkenalkan musuh-musuh penindas rakyat, bahkan hingga cita-cita sosialisme dikabarkan dengan lagu sebagai jalan keluar menuju kesejahteraaan rakyat yang sejati.
Berikutnya saya akan coba menjentrengkan grup-grup/komunitas seni/individu progressif berikut album karya mereka yang telah ada. (Maaf bila kurang lengkap dan ada yang terlewat, sebab saya masih terus mengumpulkan data). Kita mulai saja dari:
Ismail Marzuki (1914-1958). Di dalam lagu-lagu ciptaannya, agaknya Ismail Marzuki begitu jeli memilih kisah perjuangan dengan kisah kehidupan sehari-hari terutama percintaan, serta memadukan kisah-kisah percintaan diantara lagu-lagu perjuangan. Inilah yang terasa menjadi ciri khas pada lagu-lagu ciptaanya. Lagu itu sendiri menjadi lebih hidup serta terasa segar disepanjang masa. Dipandang dari nafas lagu-lagu dan syair ciptaannya, Ismail Marzuki merupakan seorang nasionalis yang setia pada cita-cita perjuangan kemerdekaan, pada kehidupan rakyat dan pada ibu pertiwi. Dan karya-karyanya yang berjumlah lebih dari 200 buah, sarat dengan nilai-nilai perjuangan. Pada tahun 1931 ia mulai menciptakan lagu "O Sarinah'' yang menggambarkan suatu kondisi kehidupan bangsa yang tertindas. Lagu-lagu ciptaannya antara lain Rayuan Pulau Kelapa yang dicipta tahun 1944, Gugur Bunga (1945), Halo-Halo Bandung (1946), Selendang Sutera (1946), Sepasang Mata Bola (1946), dan Melati di Tapal Batas (1947). Komponis pelopor yang wafat 25 Mei 1958, ini telah melahirkan lagu-lagu kepahlawanan, yang menggugah jiwa nasionalisme. (Dari Katalog Ismail Marzuki; Komponis Pejuang 1985 & TokohIndonesia.com).
H.Mutahar. Pencipta lagu Syukur dan Hari Merdeka ini lahir di Semarang 5 Agustus 1916. Lagu Syukur merupakan lagu yang ia ciptakan jauh saat republik Indonesia masih dalam cengkraman penjajah, lewat lagu itu ia sebarkan impiannya tentang kemerdekaan Indonesia. H.Mutahar wafat 10 Juni 2004 di Jakarta.
Ibu Sud adalah salah seorang pencipta lagu anak-anak. Karirnya ini sudah dimulai bahkan jauh sebelum kemerdekaan Indonesia. Menurutnya ia sangat tergerak karena dulu anak-anak Indonesia kurang berbahagia. Alangkah indahnya kalau mereka dapat menyanyikan lagu berbahasa Indonesia. Ia sendiri kesal karena harus mengajarkan murid-murid Indonesia, lagu berbahasa Belanda. Kemudian terlintaslah gagasan untuk membuat lagu-lagu untuk mereka. Tujuannya tidak lain ialah untuk memberikan kegembiraan kepada anak-anak, kemampuan berimajinasi, sehingga pada akhirnya dapat mencipta dan bekerja. Lagu-lagu Ibu Sud, menurut Pak Kasur, mempunyai semangat patriotisme yang tinggi. Sebagai contoh patriotisme tampak dalam lagunya yang berjudul Berkibarlah Benderaku. Lagu itu diciptakan beliau ketika melihat kegigihan Yusuf Ronodipuro, seorang pimpinan RRI pada tahun-tahun pertama Indonesia yang menolak menurunkan Sang Saka Merah Putih yang sedang berkibar di kantornya, walaupun dalam ancaman senjata api. Beberapa lagu lainnya antara lain: "Hai Becak", "Burung Ketilang, dan Kupu-Kupu. Ketika genting rumah sewaannya dulu, di Jalan Kramat, Jakarta, bocor, ia membuat lagu Tik Tik Bunyi Hujan. Ibu Sud turut mengiringi Indonesia Raya melalui biola saat lagu itu pertama kali dikumandangkan di Gedung Pemuda, tanggal 28 Oktober 1928. Waktu itu ia sudah menjadi Nyonya Bintang Soedibio (almarhum, meninggal 1954). Di tahun-tahun perjuangan, Ibu Soed juga bersahabat dengan Cornel Simanjuntak, Ismail Marzuki, Kusbini, dan tokoh nasionalis lain. (Dari hal web:http://id.wikipedia.org/wiki/Ibu Sud).
W.R. Supratman (1903-1938). Pencipta lagu kebangsaan Indonesia Raya ini lahir pada hari Selasa 9 Maret 1903 di Dusun Trembelang Kabupaten Purworejo. Setelah ibunya meninggal Supratman mengikuti kakaknya yang menikah dengan seorang tentara KNIL –Koninklijk Nederlands Indisch Leger– ke Makassar. Di sana ia meneruskan sekolahnya di Normaal School hingga selesai, dan untuk keperluan administratif namanya menjadi Wage Rudolf Supratman. Selama di Makassar Supratman diajari musik dan biola oleh kakaknya hingga benar-benar tertarik dengan musik, selain juga senang dalam bidang sastra. Rasa tidak senangnya terhadap penjajahan Belanda pernah dituangkannya dalam bukunya yang berjudul “Perawan Desa”. Buku yang mengandung nilai-nilai nasionalisme Indonesia dan menyinggung pemerintahan Belanda itu akhirnya disita dan dilarang beredar. Selepas bekerja di Makassar bidang jurnalistik membawa dirinya dalam gejolak pergerakan Indonesia, karena minatnya ini Supratman memutuskan pindah ke Bandung dan bekerja sebagai pembantu di harian Kaoem Moeda. Setahun kemudian berpindah ke harian Kaum Kita, sebagai pimpinan redaksi. Pekerjaan tersebut tetap dilakukannya sewaktu ia pindah kembali ke Jakarta sebagai wartawan Sin-Po, harian Tionghoa-Melayu. Di Jakarta itulah, ia banyak bergaul dengan tokoh-tokoh pergerakan, hingga ia mulai menulis lagu. Tahun 1924 Supratman menulis lagu Indonesia Raya atas anjuran dari H. Agus Salim yang ditulis di harian Fajar Asia agar komponis Indonesia membuat lagu kebangsaan. Selain lagu kebangsaan tersebut ia menciptakan lagu lain seperti “Ibu Kita Kartini”, “Di Timur Matahari” dan “Bendera Kita”. Pada malam penutupan Konggres Pemuda II, tanggal 28 Oktober 1928, Supratman memperdengarkan lagu ciptaannya secara instrumental dengan biola di depan peserta umum. Pada saat itulah untuk pertama kalinya lagu Indonesia Raya dikumandangkan di depan umum. Semua yang hadir terpukau mendengarnya. Dengan cepat lagu itu terkenal di kalangan pergerakan nasional. Apabila partai-partai politik mengadakan konggres, maka lagu Indonesia Raya selalu dinyanyikan. Lagu itu merupakan perwujudan rasa persatuan dan kehendak untuk merdeka. Sesudah Indonesia merdeka, lagu Indonesia Raya dijadikan lagu kebangsaan, lambang persatuan bangsa. Tetapi, pencipta lagu itu, Wage Rudolf Supratman, tidak sempat menikmati hidup dalam suasana kemerdekaan. Akibat menciptakan lagu Indonesia Raya, ia selalu diburu oleh polisi Hindia Belanda, sampai jatuh sakit di Surabaya. Karena lagu ciptaannya yang terakhir "Matahari Terbit" pada awal Agustus 1938, ia ditangkap ketika menyiarkan lagu tersebut bersama pandu-pandu di NIROM jalan Embong Malang - Surabaya dan ditahan di penjara Kalisosok-Surabaya. Ia meninggal pada tanggal 17 Agustus 1938 karena sakit. (Dari berbagai Sumber).
Cornell Simanjuntak. Ini dia komponis yang menciptakan Indonesia Tetap Merdeka, Pada Pahlawan. Dimasa mudanya aktif berjuang dan bergabung dengan tentara pelajar, dan pernah tertembak dalam sebuah pertempuran sengit melawan militer belanda. Belanda terus memburu dan menyisir basis/markas gerakan pejuang-pejuang kita waktu itu, hingga seorang Cornell Simanjuntak yang menderita luka harus menjalani pengobatan dengan berpindah-pindah tempat. Dalam masa penyembuhan, dan bayang ancaman tentara belanda yang sewaktu-waktu datang menyerang, seorang Coernell Simanjuntak terus saja menunjukkan semangatnya yang luar biasa dan tak surut, kondisi luka yang harusnya ia gunakan buat istirihat agar cepat sehat dan pulih tapi malah ia habiskan waktunya dengan mengutak-atik penggalan karya-karya yang belum selesai, hingga terciptalah sebuah mars yang begitu menggelora dan kerap kita lagukan hingga saat ini, yaitu Mars Maju Tak Gentar. Dibawah tirani Soeharto juga melahirkan seniman/musisi berpikiran maju. Protes terhadap ketimpangan, ketidakadilan kekuasaan Orde Baru Soeharto (yang membangun kebijakan ekonomi-politiknya dengan membuka pintu lebar-lebar kepada modal asing, budaya spekulasi, KKN)
Iwan Fals. Musisi ini banyak melahirkan karya sarat dengan tema-tema sosial. Mulai dari Oemar Bakri, Sore Tugu Pancoran, Kontrasmu Bisu, Sugali, Terminal, Wakil Rakyat, Ethiopia, 1910, Sarjana Muda dan banyak lagi. Masa tahun 80an – 90an hingga sekarang tak ada yang tak kenal Iwan Fals. Lagunya jadi lagu wajib bagi pengamen dan anak muda yang pada nongkrong di ujung gang. 23 album telah dihasilkan, baik saat solo maupun bergabung dalam grup Swami, Dalbo & Kantata Takwa.
Franky Sahilatua. Musisi ballada yang pernah beken berduet dengan adik kandungnya Jane di era 80-an silam ini pernah berujar; “Jangan minder menjadi penyanyi balada, karena musisi balada itu punya peran penting dalam perubahan”. “Yah sekarang tugas penyanyi balada seperti saya ini, untuk menjadi the real ballad tak cuma menjadi penyanyi balada etalase," tegasnya. "Saya bosan jadi penyanyi balada etalase. Saya ingin turun ke jalan, ke lumpur, dan bergaul dengan debu.
Kelompok (Bram) Kampungan. Grup musik yang pernah menjadi semacam simpul sikap perlawanan di kalangan anak-anak muda dan mahasiswa pada tahun 1970-an. PADA zamannya, Bram Makahekum dan teman-temannya dalam Kelompok Kampungan, diam- diam menjadi "pahlawan" beberapa anak muda dan mahasiswa. Kelompok Kampungan, yang dibentuk oleh Bram dan teman-temannya yang sebagian besar adalah awak Bengkel Teater Rendra pada tahun 1975, di tengah kesumpekan suasana pada masa itu, dengan lantang menyerukan gugatan. misal dalam lagu Berkata Indonesia. Mereka berkeliling dari kampus ke kampus, berpentas di panggung yang selalu mengandung kemungkinan untuk "diberhentikan" oleh tentara dari rezim militer Orba kala itu. Hanya dengan satu album yang terdiri dari lagu-lagu seperti Bung Karno, Mereka Mencari Tuhan, Ratna, Berkata Indonesia dari Yogyakarta, Drama, Kalau, dan Wanita. Kenangan atas Kelompok Kampungan identik dengan kenangan atas masa tahun 1970-an, termasuk “romantisme" kehidupan anak-anak muda di Yogyakarta kala itu-sebuah kota yang menyimpan elan vital perjuangan-. Musik mereka sebenarnya tidaklah "kampungan", bahkan terkesan modern. Apalagi, kalau dibandingkan dengan konsep di balik musik yang digemari di Jawa Tengah seperti campursari. Organisasi bunyi pada musik Kelompok Kampungan adalah organisasi bunyi modern, dengan struktur yang bisa ditemui pada musik-musik Barat. Melodi lagu-lagu mereka rata-rata bagus, dengan lirik yang puitis dan gagah; "Orang-orang harus dibangunkan/Kesaksian harus diberikan/Agar kehidupan tetap terjaga"-bait lagu Aku Mendengar Suara. (Sumber: BRE)
John Tobing. Menciptakan lagu Darah Juang sebagai lagu perjuangan mahasiswa Indonesia yang lahir di era reformasi sejak menjelang jatuhnya Orde Baru. Johnsony Marhasak Lumbantobing lengkapnya; Ketua KM UGM pertama mahasiswa Fakultas Filsafat UGM Yogyakarta (sekitar tahun 1990) mulai mencipta lagu sejak tahun 1977. Telah mencipta 100-an lagu jenis pop, pop ballada, anak-anak, rock, dan perjuangan. Dalam penulisan lirik bekerja sama dengan Andi Munajat, FX Rudy Gunawan, Rahardjo Waluyo Djati, Yayan Sofyan, Chaidir, Webby Warrouw dll.
Yayak ‘Kencrit’ Yatmaka. Seniman serba bisa ini selain banyak menghasilkan karya seni rupa juga mencipta lagu-lagu perjuangan. Karya lagunya antara lain; Bumi Badega, Ke Selatan, Anak Merdeka, Di Bawah Topi Jerami, Rakyat Bersatu.
Syaffei. Tak banyak yang tahu kalau pria inilah yang menciptakan Mars Revolusi dan Mars Buruh Tani, 2 lagu wajib bagi semua aksi massa turun ke jalan, hingga saking populernya 2 lagu tersebut banyak dibawakan band-band punk dalam aransement musik bertempo cepat. Juga pernah digubah syairnya menjadi lagu penyemangat suporter klub sepakbola.
Widji Thukul. Kita lebih mengenalnya sebagai seorang penyair revolusioner, puisi-puisinya begitu mengerikan bagi rezim orde baru kala itu. Saat semua mulut bisu dibungkam ketakutan Widji lantang berteriak; LAWAN! lewat puisinya. Saat semua orang berbondong-bondong ke kotak suara untuk coblosan pemilu (dibawah orde baru kala itu) Widji malah masuk kamar mandi dan membacakan puisinya keras-keras; “Pemilu ohh..Pilu!..Pilu!” Tak hanya berpuisi, Widji Thukul yang juga salah seorang pendiri Jaker dan aktivis Partai Rakyat Demokratik (PRD) juga menciptakan lagu-lagu satir khas karyanya. Apa Guna, Sungguh Enak Hidup Di Televisi yang biasa ia bawakan sebelum membaca puisi.
LONTAR Band. Akhir 1994 adalah tiga orang yang membentuk kelompok musik kecil, yakni BimPet (nama panggilan Bimo Petrus) dan Babe (nama panggilan David Kris) memainkan gitar, lalu Jaka Sadewa sebagai penyanyinya. Kelompok musik tanpa nama ini lambat laun mulai membuat lagu, diantaranya; Anak Bangsa, Pasti Menang, Simarsi (nah..), Karna aku Cinta, Indonesia (C) Emas dan Mana Buku dan Guruku. Maret 1995 pemberian nama pun diilhami dari nama sebuah bulletin KSM UNAIR yakni LONTAR. Nama LONTAR tak hanya bermakna pelontaran gagasan atau ide semata, namun dipahami sebagai daun siwalan yang konon berfungsi menjadi kertas tulis untuk menuangkan berbagai filosofi kehidupan manusia di masa lalu. Teks-teks LONTAR sarat akan tema kritis tentang hak asasi manusia, anti kekerasan/ diskriminasi/ rasisme, ajakan untuk perubahan menuju kehidupan bersama yang lebih baik. Motivasi dan idealisme melalui kebebasan berekspresi dalam bermusik inilah merupakan pula bentuk kontra kultura yang dimunculkan LONTAR di masyarakat, sehingga sarat dengan lirik kritis. Telah 10 kali berganti formasi, menghasilkan 3 album (Marah, Setengah Tiang untuk Demokrasi, Indonesia, Siapa Yang Punya..?). Malang melintang dan dikenal luas oleh khalayak musik (rock) Surabaya. Lontar Band hingga kini masih tetap eksis bermusik dibawah Rights Management. (Sumber dari Larik_Balik_LONTAR).
Sanggar Satu Bumi. Didirikan di Jakarta pada tanggal 27 Februari 2003 oleh beberapa seniman yang berminat pada seni musik dan puisi; Andrian Romico, AJ Susmana, Winarso, Dompak, Kuncoro Adi Broto & Tejo. Telah mendokumentasi 2 album lagu perjuangan demokratik; Tidur.. Jangan! & Nyanyian Akar Rumput.
MARJINAL. Sebuah grup musik beraliran punk-rock yang cukup terkenal dan berasal dari Jakarta. Kelompok musik ini sebelumnya bernama Anti Military. Melalui lirik-lirik lagunya, Marjinal dapat dikategorikan sebagai kelompok musik berhaluan anarko-punk, karena liriknya banyak memuat tema-tema politik, dan semangat perubahan sosial. Beberapa lagu yang diciptakan oleh mereka banyak dinyanyikan oleh para aktivis yang sedang berdemonstrasi. Sejak berdirinya, kelompok ini telah menghasilkan beberapa album, diantaranya adalah: Anti Military,Termarjinalkan & Double Album; Predator. Band yang bermarkas di Depok ini eksis membangun komunitas musiknya. Penggemar fanatik Marjinal kerap melakukan koor sembari moshing saat lagu Hukum & Marsinah digeber di atas panggung.
Kepal-SPI. Berawal dari organisasi pengamen progressif yang berkarya dengan tema-tema sosial politik lalu ada niatan untuk membakukan karya-karya mereka ke dalam bentuk kaset/CD, biar juga nilai-nilai baik di lagu-lagu mereka tersebar luas dan bisa didengar banyak orang, maka di awal tahun 2006 keluarlah album pertama mereka; Turun Ke Jalan. Anak-anak Kepal-SPI memang senang guyon, nyeleneh plus tingkah polah lain yang kerap mengundang tawa, tapi saat bermusik mereka cukup serius. Dari beberapa kali pengamatanku melihat aksi panggung mereka, I Bob si vocalis sangat komunikatif dengan penonton. Tidak hanya (melulu) agitatif tapi mampu membuat tanpa jarak dengan penonton; mengajak bernyanyi bareng, memberi tebakan berhadiah pin/sticker, memperkenalkan album mereka, hingga penonton betah menyaksikan dan bertahan hingga bubar.
Tari Adinda. Perawakannya kecil saja, tapi siapa sangka kalau gadis itu punya kemampuan besar karena telah menciptakan puluhan lagu. Keterlibatannya dalam organisasi buruh (FNPBI) sedikit banyak telah merubah pemahamannya tentang banyak hal; sosial, politik maupun tentang pentingnya membangun organisasi. Seringnya berinteraksi dalam kerja-kerja revolusioner; diskusi, ikut pendidikan, aksi massa juga telah merubah kandungan bagi lyrik-lyrik lagu yang diciptakannya. Kalau dulu lyriknya hanya berkutat pada masalah/tema-tema asmara antara pria dan wanita maka sekarang mulai merambah pada tema kehidupan buruh; soal gajian, soal makanan yang dikonsumsi di pabrik, soal sistem kontrak, dan memang lagu-lagu Tari Adinda (yang balada itu) seperti mengingatkan kita pada Iwan Fals dan Franky Sahilatua. Begitu mudah dihafal - cepat akrab ditelinga. Lagu-lagu Tari Adinda terekam dalam album Buruh Kontrak yang awal Juni lalu telah beredar dan diproduksi oleh Sanggar KAPUAS Cakung.
GESTAPU. Grup dangdut progressif asal Yogyakarta ini punya tehnik bermusik yang ciamik. Aransement lagu-lagu mereka tidak kalah dengan band-band papan atas naungan mayor lebel. Kamu bisa dengar bagaimana mantapnya anak-anak Gestapu membesut reportoar macam; Goyang Merdeka, Mundur!!, Cuma-Cuma, Kepada YTH, Khayalan dsb. Seluruh event musik seantero Jogja sudah mereka jelajahi, wawancara-wawancara di radio juga sudah mereka lakoni. “Pernah ada yang mau promosikan kami agar bisa berkiprah lebih jauh dan bisa berpropaganda lebih luas ke massa lewat musik. Cuma kami terbentur nama” Demikan ungkap Marwan, salah satu awak Gestapu satu ketika. Yah, nama Gestapu memang sepertinya sedikit jadi masalah. Beberapa surat kabar di Jogja sering mempermasalahkan perihal nama tersebut. Padahal menurut Marwan Gestapu bisa kependekan dari Gerakan September Putus Cinta. Jadi tak ada hubungannya dengan peristiwa tahun 1965 yang dipermasalahkan orang-orang itu. Hingga kawan-kawan kita ini perlu mengganti nama Gestapu menjadi GASTAVO.
Red Flag. Band Reggae dari Lampung ini seperti hendak mengembalikan semangat/roh musik reggae yang anti penindasan itu. Begitu banyak komunitas musik reggae yang ada tapi hanya sedikit sekali yang menjadikan reggae sebagai alat pembebasan kaum buruh yang diperlakukan tak adil oleh elit-elit kekuasaan --seperti lagu-lagu milik icon reggae dunia Bob Marley--. Red Flag, satu dari sekian banyak grup reggae itu coba mengembalikan semangat pembebasan reggae ke rel yang sejatinya. Maka tanpa ragu mereka melantunkan Buruh Tani, Fighf For Socialism, G/28/S/TNI dsb pada album ‘One Song One Struggle’. Red Flag sepertinya ingin bilang bahwa reggae tak hanya gaya rambut dreadlock/gimbal, tak sekedar atribut merah-kuning-hijau. Tapi reggae adalah pesan-pesan untuk membangkitkan semangat pembebasan. Seperti semangat pada lirik lagu Bob Marley "emancipate yourself from mental slavery, none but ourselves can free our minds" dari lagu Redemption Song yang merupakan ajakan untuk meninggalkan mental budak dari diri manusia.
Demikian rentetannya, masih banyak yang terlewat memang, karena minimnya data, tapi bolehlah saya menyebut nama mereka di akhir tulisan ini, karena mereka juga punya semangat dan cita-cita yang sama dengan grup-grup yang telah disebut diatas. Dan lain waktu tentu kita akan kupas habis tentang mereka; baik karya maupun profile dari; TehnoShit, Segorames, Jeruji, Mukti Mukti, Comerade, GerigI, Male Oii.
Kurun waktu pasca kemerdekaan dibawah Soekarno juga melahirkan para pemusik/musisi dengan corak karya yang anti imperialis, anti terhadap penjajahan asing, karena setelah lepas dari belanda, republik kembali siap ‘disantap’ oleh amerika dan sekutu-sekutunya. Soekarno yang pro rakyat tak bosan-bosan berteriak bahwa revolusi belum selesai!, seluruh sektor massarakyat harus menghalau setiap ancaman yang datang, yang akan masuk lewat modal, lewat kebudayaan dsb. Bahwa republik harus mandiri dalam 3 hal, yakni mandiri dalam hal politik, mandiri dalam hal ekonomi serta mandiri dalam hal kebudayaan, itulah yang selalu ditekankan seorang Soekarno kala itu. Kurun waktu itu tercipta karya-karya seperti; Awas Inggris Amerika, RESOPIM (Revolusi Sosialis Pimpinan), Nasakom Bersatu dll. Salah satu nama untuk salah satu karyanya diatas, yakni Soebronto K Admodjo dengan RESOPIMnya. Maka sambutlah serbuan musik perlawanan – musik pembebasan dari grup-grup yang bemusik, bernyanyi dan berjuang untuk mengakhiri penindasan.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar